Thursday, September 13, 2012

Menumbuhkan INNER BEAUTY dengan RASA MALU

Ada sebuah pepatah jawa yang memiliki nilai yang luhur dan sangat baik untuk direnungkan bersama: "Ajining diri dumunung ono ing lathi, ajining rogo dumunung ono ing busono" artinya: Harga diri (martabat) seseorang terletak pada ucapannya dan kehormatan raga seseorang terletak pada busananya. 

Nampaknya, sebagai orang yang memiliki adat "ketimuran" pepatah ini sangatlah relevan dalam kehidupan kita dimanapun dan kapanpun kita berada. Bahwa sangat penting dalam menjaga harga diri (martabat) dengan kata-kata yang baik, santun dan bersahabat. Serta menjaga kehormatan raganya melalui busana, yakni busana yang memiliki karakter mulia sebagai seorang muslim atau muslimah.

Begitu serius agama Islam memperhatikan perkara lisan atau ucapan ini. Allah SWT dalam Alqur'anul karim memerintahkan agar kita berkata yang benar dan jujur atau tidak berdusta. Sekalipun kita mengajak pada kebaikan dan kebenaran kitapun harus mengajak dengan perkataan yang baik (bilhikmah wal mau'idhotun hasanah) bahkan ketika harus berdebatpun juga harus berdebat dengan cara yang baik pula (wa jaadilhum billatii hiya ahsan). 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahl:125)

Demikian pula Allah SWT melarang kita untuk saling mengejek, menghina, mencari-cari kesalahan orang, menggunjing, ghibah dan sebagainya (QS Hujuraat: 11-12). Bahkan meski menghina Berhala orang-orang musyrik sekalipun dilarang dalam ajaran agama Islam.

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan". (QS Al-An'am:108)

Dan jika kita tidak mampu untuk berkata baik, maka diam adalah pilihan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sabdanya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
(HR Bukhari 6018, Muslim 47)

Demikian halnya dengan perhatian Islam terhadap busana. Islam sangat menekankan pentingnya menggunakan pakaian muslim/muslimah, yakni pakaian yang menutup aurot sebagai pakaian kehormatan sekaligus sebagai pakaian yang mencerminkan karakter yang agung dan agar memiliki kekhasan sehingga mudah dikenal. Khususnya bagi wanita, Alqur'an memberikan peringatan mengenai pakaian wanita terutama yang bernama Jilbab. Bahkan ini disebut secara khusus didalam Alqur'anulkariim. 
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Ahzab:59)
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..." (QS An-Nuur:31)

Kalau kita perhatikan dengan seksama, sebenarnya agama Islam mengatur bagaimana seharusnya kita menjaga lisan dan aurot ini tidak lain adalah untuk menjaga kehormatan (iffah) sebagai pribadi muslim/muslimah dan harga diri (izzah) ummat Islam, yang salah satunya adalah rasa malu. Malu untuk berkata tidak baik, malu berkata dusta, malu berbuat maksiat dan malu untuk mengumbar aurot. Dengan Malu tersebut seseorang akan mampu menampilkan "inner beauty" (kecantikan dari dalam) atau dalam terminologi Islam disebut Akhlaqul Karimah

Dan kalau kita cermati lagi, pepatah diatas sebenarnya merupakan "pengejawantahan" dari hadist Rasulullah SAW:
Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari, 3483)

Bisa kita bayangkan, andai kata manusia sudah tidak punya rasa malu. Maka tidak akan ada lagi norma susila dipakai sebagai pedoman, orang akan berbuat bebas sesuka hatinya. Jika demikian, lisan atau ucapan yang baik dan busana yang mencerminkan dan menjaga kehormatan tidak lagi akan menjadi sebuah nilai yang diagungkan, terjual-lah harga diri ini, terobral-lah aurot ini dengan harga yang murah dan bahkan tanpa ada nilainya sama sekali, maka mencuri, korupsi, saling memaki, saling sikut dan menjatuhkan martabat saudara, mengumbar aurot dan melakukan berbagai tindak kemaksiatan akan menjadi hal yang lumrah dan biasa saja dan bahkan kemungkaran akan dilakukan dengan terang-terangan, persis seperti binatang, Naudzubillahi mindzalik.

Malu adalah filter hati dan cerminan/bagian dari keimanan seseorang (Al-haya’u minal iman: Malu adalah sebagian dari Iman). Ketika seseorang sudah tidak punya rasa malu lagi maka tercabutlah keimanan dalam hatinya. Sebab, ia akan melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa memperhatikan keimanan dan tanpa filter rasa malu.

Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR. Bukhari 8 dan Muslim 50)

Dengan rasa malu, justru akan memicu seseorang untuk senantiasa berbuat baik sebagaimana Sabda Nabi SAW “Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.”(HR. Bukhari 6117 dan Muslim 37)

Ada kisah menarik yang digambarkan dalam hadist shahih Bukhori dibawah ini bahwa ada seorang Anshor yang memiliki saudara dengan sifat pemalu, ia malu untuk menuntut haknya, lalu sahabat Anshor ini mencela saudaranya karena malu untuk menuntut haknya:

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.' (HR. Shahih Bukhori 24).

Demikian pula kisah seorang sahabat yang bernama Sa’labah yang malu telah melihat tanpa sengaja aurot wanita yang bukan mahramnya disebuah rumah yang pintunya terbuka saat beliau sedang berjalan karena mendapat tugas dari Rasulullah SAW. Seketika beliau berlari sekencang-kencangnya. Tanpa dirasa telah jauh melampaui kampung halamanya. Hari berganti-hari, minggu berganti minggu, bahkan hingga hampir sebulan ia meninggalkan kampung halamannya karena malu dan takut bila dosanya tidak diampuni oleh ALLAH SWT. Sampai-sampai Rasulullah mencari-carinya karena tidak kunjung kembali dari menjalankan tugasnya. Akhirnya, setelah beliau dijemput oleh sahabat yang lain dan menghadap kepada Rasulullah SAW, beliau menceritakan kisah yang dialaminya, namun beliau masih merasa takut dan malu telah melihat aurot yang bukan haknya untuk dilihat. Digambarkan rasa takut dan malunya itu menyebabkan tubuhnya seperti  dikerumuni dan disengat oleh ribuan semut. Bahkan diakhir kisah itu, sahabat Sa’labah jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Semoga bermanfaat. Wallahu a'lamu bish-showab.

No comments:

Post a Comment