Tuesday, October 2, 2012

Jumlah Dzikir dan Penggunaan Tasbih Untuk Menghitung



Dalam beberapa hadits disebutkan tentang berapa jumlah dzikir yang dianjurkan untuk dibaca di dalam shalat, setelah shalat atau di luar shalat. Mulai dari bacaan 1 kali, 3 kali, 7 kali, 10 kali, 33 kali dan lainnya. Berikut ini akan disebutkan jumlah-jumlah yang secara jelas dianjurkan dalam beberapa hadits untuk dibaca lebih dari seratus kali. Sekaligus ini sebagai bantahan atas sebagian orang di masayarakat kita yang “mengharamkan” membaca dzikir dengan hitungan-hitungan tertentu.


Yang sangat ironis adalah bahwa di antara mereka yang “mengharamkan” membaca dzikir dengan hitungan-hitungan tertentu ada yang mengaku dirinya sebagai ahli hadits, lalu ia mengatakan bahwa jumlah bilangan terbanyak untuk dzikir yang disebutkan dalam sunnah adalah seratus kali saja. Karena itu, menurutnya, jika seseorang membaca dzikir tertentu dengan hitungan lebih dari seratus kali maka hukumnya haram. Hasbunallah
  1. al-Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr bahwa Rasulullah bersabda:

    مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَتَيْ مَرَّةٍ فِيْ يَوْمٍ لَمْ يَسْبِقْهُ أَحَدٌ كَانَ قَبْلَهُ وَلاَ يُدْرِكُهُ أَحَدٌ بَعْدَهُ إِلاَّ بِأَفْضَلَ مِنْ عَمَلِهِ" قَالَ الْحَافِظُ الْهَيْثَمِيُّ: رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ: فِيْ كُلِّ يَوْمٍ" وَرِجَالُ أَحْمَدَ ثِقَاتٌ.


    “Barang siapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak dua ratus kali dalam sehari, maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak ada seorang-pun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan amal yang lebih afdlal darinya”. (Al-Hafizh al-Haytsami berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabarani. Hanya saja dalam riwayat ath-Thabarani lafazhnya adalah “Fi Kulli Yaum…”. Dan perawi-perawi riwayat Ahmad adalah orang-orang tsiqat (Orang-orang terpercaya).
  2. al-Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah bahwa Rasulullah bersabda:

    مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَةَ مَرَّةٍ إِذَا أَصْبَحَ وَمِائَةَ مَرَّةٍ إِذَا أَمْسَى لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِنْه إِلاَّ مَنْ قَالَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ.


    “Barangsiapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak seratus kali di pagi hari, dan seratus kali di sore hari, maka tidak ada seorangpun yang bisa mengunggulinya, kecuali orang yang membaca lebih afdlal darinya”.
  3. Dalam riwayat lainnya dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah, al-Imam an-Nasa-i juga meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

    مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَتي مَرَّةٍ لَمْ يُدْرِكْهُ أَحَدٌ بَعْدَهُ إِلاَّ مَنْ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ أَفْضَلَ.


    “Barangsiapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak sebanyak dua ratus kali, maka tidak ada seorangpun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang membaca sama dengan yang dibacanya atau yang lebih afdlal darinya”.
  4. Dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah al-Imam an-Nasa-i juga meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

    مَنْ قَالَ فِيْ يَوْمٍ مِائَتَيْ مَرَّةٍ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ لَمْ يَسْبِقْهُ أَحَدٌ كَانَ قَبْلَهُ وَلاَ يُدْرِكُهُ أَحَدٌ كَانَ بَعْدَهُ إِلاَّ مَنْ عَمِلَ أَفْضَلَ مِنْ عَمَلِهِ.


    “Barangsiapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak sebanyak dua ratus kali dalam sehari, maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak ada seorang-pun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan amal yang lebih afdlal dari amalnya”.
  5. al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

    مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ وَحِيْنَ يُمْسِيْ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ، لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)


    “Barangsiapa membaca di pagi dan sore hari: “Subhanallah Wa Bihamdih” sebanyak seratus kali, maka tidak ada seorangpun di hari kiamat nanti yang bisa mengunggulinya kecuali orang yang membaca seperti yang dibacanya atau lebih banyak darinya”. (HR. Muslim)
  6. al-Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dari Ummu Hani’ binti Abu Thalib, bahwa ia (Ummu Hani’) berkata: 

    “Suatu ketika aku bertemu dengan Rasulullah. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku ini sudah tua dan mulai lemah, karenanya perintahkan aku dengan suatu amalan yang bisa aku kerjakan sambil duduk”. Kemudian Rasulullah berkata: 


    سَبِّحِيْ اللهَ مِائَةَ تَسْبِيْحَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ رَقَبَةٍ تُعْتِقِيْنَهَا مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاحْمَدِيْ اللهَ مِائَةَ تَحْمِيْدَةٍ تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ فَرَسٍ مُسَرَّجَةً مُلْجَمَةً تَحْمِلِيْنَ عَلَيْهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَكَبِّرِيْ اللهَ مِائَةَ تَكْبِيْرَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ بَدَنَةٍ مُقَلَّدَةً مُتَقَبَّلَةً، وَهَلِّلِيْ اللهَ مِائَةَ تَهْلِيْلَةٍ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، وَلاَ يُرْفَعُ يَوْمَئِذٍ لأَحَدٍ عَمَلٌ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِ مَا أَتَيْتِ بِهِ (حسّن إسنادَه الحافظ الهيثميّ والحافظ المنذريّ في الترغيب والترهيب)



    “Bacalah tasbih seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus budak yang engkau merdekakan dari anak keturunan Nabi Isma’il. Bacalah hamdalah seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus ekor kuda berpelana dan dikekang yang membawa perbekalan perang di jalan Allah. Bacalah takbir seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus unta yang engkau sedekahkan dan diterima oleh Allah. Dan bacalah tahlil seratus kali, maka ia akan memenuhi antara langit dan bumi. Dan pada hari itu tidak ada amal seorang-pun yang diunggulkan atas kamu kecuali orang yang melakukan seperti yang engkau lakukan”. (Hadits ini dihasankan oleh al-Hafizh al-Haitsami dan al-Hafizh al-Mundziri dalam kitabnya at-Targhib Wa at-Tarhib).


    Faedah Hadits:
    Hadits-hadits ini menunjukkan adanya beberapa jumlah untuk dzikir-dzikir tertentu; seratus atau dua ratus kali, tanpa melarang jika dilebihkan, bahkan menganjurkan. Karena di akhir hadits-hadits tersebut disebutkan bahwa yang bisa menyamai orang-orang yang berdzikir dengan bilangan-bilangan tersebut adalah orang yang berdzikir dengan jumlah yang sama atau lebih banyak dari pada itu. Ini artinya dianjurkan untuk berdzikir dengan jumlah yang lebih banyak dari yang disebutkan. Oleh karenanya para ulama kita yang merupakan Ahl al-‘Ilm Wa al-Fahm berkata: “Adanya hadits-hadits yang menganjurkan untuk membaca dzikir tertentu dengan bilangan tertentu tidak berarti haram jika berdzikir kurang dari bilangan tersebut atau lebih darinya. Karena yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut adalah untuk menunjukkan keutamaan tertentu, bagi dzikir tertentu, dengan jumlah tertentu tersebut. Sementara itu di sisi lain banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara mutlak menganjurkan untuk berdzikir tanpa menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu. Bahkan banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan anjuran untuk berdzikir sebanyak-banyaknya”.

Dengan demikian berdzikir dengan jumlah berapapun adalah hal yang diperbolehkan, karena anjuran untuk memperbanyak dzikir bersifat umum tanpa dibatasi dengan bilangan tertentu. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا، وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (الأحزاب: 41-42)

“Wahai orang-orang beriman, berdzikirlah kalian (menyebut nama Allah), denagn dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (QS. al-Ahzab: 41-42)

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الأحزاب: 35)

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. al-Ahzab: 35)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

أَكْثِرْ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (رواه ابن أبي شيبة وحسّن إسناده الحافظ ابن حجر)

“Perbanyaklah membaca “La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. (HR. Ibn Abi Syaibah dan dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

اِسْتَكْثِرُوْا مِنَ البَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ ، قيل :وَمَا هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: التَّكْبِيْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَالتَّحْمِيْدُ وَالتَّسْبِيْحُ وَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (رواه ابن حبان والحاكم وصحّحاه وأحمد وأبو يعلى وإسناده حسن)

“Perbanyaklah oleh kalian dari al-Baqiyat ash-Shalihat! Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah: Apakah al-Baqiyat ash-Shalihat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Takbir, Tahlil, Tahmid, Tasbih dan La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. (HR. Ibn Hibban, al-Hakim dan keduanya menyatakan Shahih. Juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad yang Hasan)

Kedua ayat dan kedua hadits tersebut menganjurkan untuk memperbanyak dzikir tanpa dibatasi dengan batasan bilangan tertentu. Melainkan dengan sebanyak apapun yang diinginkan. Banyak bisa berarti ratusan atau ribuan. Dengan demikian boleh bagi seseorang untuk merutinkan dzikir tertentu dengan bilangan tertentu, baik ratusan, ribuan, lebih dari pada itu, atau kurang dari pada itu. Bukankah amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan meskipun sedikit. Rasulullah bersabda:

وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ (أخرجه مسلم في صحيحه)

“Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus dirutinkan meskipun sedikit”. (HR. Muslim)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam berdzikir boleh dengan bilangan tertentu seperti bilangan-bilangan yang disebutkan dalam hadits. Juga boleh berdzikir dengan bilangan yang ia tentukan sendiri, yang ia rutinkannya. Boleh juga berdzikir sebanyak-banyaknya berapapun jumlahnya tanpa batas tertentu, atau bahkan tanpa dihitung sekalipun.


Berdzikir Menggunakan Tasbih


Al-Muhaddits asy-Syekh as-Sayyid ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan sebagai berikut:

وَالسُّبْحَةُ تَضْبِطُ الأَعْدَادَ الْمَأْثُوْرَةَ، وَلِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ، فَالسُّبْحَةُ مَشْرُوْعَةٌ.


“Tasbih bisa menghitung jumlah-jumlah dzikir yang dianjurkan dalam sunnah. Dan karena alat-alat untuk ibadah memiliki hukum yang sama dengan tujuannya itu sendiri; yaitu ibadah, maka berarti tasbih juga disyari’atkan (Artinya, karena dzikir disyari’atkan maka alat untuk berdzikir-pun disyari’atkan)” [Itqan ash-Shun’ah, h. 45].


Para ulama menyatakan bahwa berdzikir dengan menggunakan tasbih hukumnya boleh berdasarkan hadits-hadits berikut:

  1. Hadits riwayat Sa’d ibn Abi Waqqash bahwa dia bersama Rasulullah melihat seorang perempuan sedang berdzikir. Di depan perempuan tersebut terdapat biji-bijian atau kerikil yang ia digunakan untuk menghitung dzikirnya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya:

    أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذلِكَ وَالْحَمْدُ لله مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلَ ذلِكَ (رواه الترمذي وحسّنه وصحّحه ابن حبّان والحاكم وحسّنه الحافظ ابن حجر في تخريج الأذكار)


    “Aku beritahu kamu cara yang lebih mudah dari ini atau lebih afdlal. Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi as-Sama’, Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi al-Ardl, Subhanallah ‘Adada Ma Baina Dzalika, Subhanallah ‘Adada Ma Huwa Khaliq”, (Subhanallah -maha suci Allah- sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di langit, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di bumi, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di antara langit dan bumi, Subhanallah sebanyak semua makhluk yang Dia ciptakan). Kemudian baca “Allahu Akbar” seperti itu. Lalu baca “Alhamdulillah” seperti itu. Dan baca “La Ilaha Illallah” seperti itu. Serta baca “La Hawla Wala Quwwata Illa Billah” seperti itu. (HR. at-Tirmidzi dan dinilainya Hasan. Dinyatakan Shahih oleh Ibn Hibban dan al-Hakim. Serta dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar).
  2. Hadits diriwayatkan dari Umm al-Mukminin, salah seorang istri Rasulullah, bernama Shafiyyah. Bahwa beliau (Shafiyyah) berkata:

    دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلاَفِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، فَقَالَ: لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذَا؟ أَلاَ أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ؟ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِيْ، فَقَالَ: قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ مِنْ شَىْءٍ (رواه الترمذي والحاكم والطبرانيّ وغيرهم وحسّنه الحافظ ابن حجر في تخريج الأذكار)


    “Suatu ketika Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku empat ribu biji-bijian yang aku gunakan untuk berdzikir. Lalu Rasulullah berkata: Kamu telah bertasbih dengan biji-bijian ini?! Maukah kamu aku ajari yang lebih banyak dari ini? Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda: “Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Min Sya’i” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya, dan dihasankan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab Nata-ij al-Afkar Fi Takhrij al-Adzkar)


    Faedah Hadits:
    Dalam dua hadits ini Rasulullah mendiamkan, artinya menyetujui (iqrar), dan tidak mengingkari sahabat yang berdzikir dengan biji-bijian dan kerikil-kerikil tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada yang lebih afdlal dari menghitung dzikir dengan biji-bijian atau kerikil. Dan ketika Rasulullah menunjukkan kepada sesuatu yang lebih afdlal (al-afdlal), hal ini bukan berarti untuk menafikan yang sudah ada (al-mafdlul). Artinya, yang sudah adapun (al-mafdlul) boleh dilakukan.

    Dari iqrar Rasulullah ini dapat diambil dalil bahwa bertasbih dengan kerikil atau biji-bijian ada keutamaan atau faedah pahalanya. Karena seandainya tidak ada keutamaannya, berarti Rasulullah menyetujui ibadah yang sia-sia, yang tidak berpahala, dan jelas hal ini tidak mungkin terjadi. Rasulullah tidak akan mendiamkan sesuatu yang tidak ada gunanya.

    Syekh Mulla ‘Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits Sa’d ibn Abi Waqqash di atas, dalam kitab Syarh al-Misykat, menuliskan sebagai berikut:

    وَهذَا أَصْلٌ صَحِيْحٌ لِتَجْوِيْزِ السُّبْحَةِ بِتَقْرِيْرِهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَإِنَّهُ فِيْ مَعْنَاهَا، إِذْ لاَ فَرْقَ بَيْنَ الْمَنْظُوْمَةِ وَالْمَنْثُوْرَةِ فِيْمَا يُعَدُّ بِهِ.


    “Ini adalah dasar yang shahih untuk membolehkan penggunaan tasbih, karena tasbih ini semakna dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Karena tidak ada bedanya antara yang tersusun rapi (diuntai dengan tali) atau yang terpencar (tidak teruntai) bahwa setiap itu semua adalah alat untuk menghitung dzikir” [Syarh al-Misykat, j. 3, h. 54].

  3. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda:

    نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ (رواه الديلميّ في مسند الفردوس)
    “Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah tasbih” (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus)


    Faedah Hadits:
    Hadits ini adalah hadits Dla’if. Hadits ini bukan Maudlu’ (palsu) seperti dikatakan oleh Nashiruddin al-Albani. Hadits ini mendukung dua hadits shahih di atas yang membolehkan bertasbih dengan tasbih. Maka hadits ini boleh dimaknai: bahwa “Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah alat dzikir yang dinamakan tasbih”.

    Al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam risalahnya berjudul at-Ta’aqqub al-Hatsits ‘Ala Man Tha’ana Fima Shahha Min al-Hadits, menuliskan sebagai berikut:

    ثُمَّ حَاصِلُ بَحْثِنَا أَنَّ الَّذِيْ تُعْطِيْهِ الْقَوَاعِدُ الْحَدِيْثِيَّةُ أَنَّ حَدِيْثَ: نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ ضَعِيْفٌ بِهذَا السَّنَدِ لَكِنَّهُ لاَ يُمْنَعُ الْعَمَلُ بِهِ، وَإِنَّمَا يُمْنَعُ الْعَمَلُ بِالضَّعِيْفِ – سِوَى الْمَوْضُوْعِ- إِذَا كَانَ شَدِيْدَ الضَّعْفِ وَهُوَ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِهِ كَذَّابٌ، أَوْ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ، أَوْ مَنْ فَحُشَ غَلَطُهُ، فَهذَا السَّنَدُ لاَ يُعْلَمُ فِيْهِ أَحَدٌ مِنْ هؤُلاَءِ، وَلاَ نَصَّ أَحَدٌ مِنَ الْحُفَّاظِ بِهذَا التَّفَرُّدِ فِيْهِ، وَيَنْطَبِقُ عَلَيْهِ الشَّرْطُ الآخَرُ وَهُوَ الدُّخُوْلُ تَحْتَ أَصْلٍ عَامٍّ. وَالأَصْلُ العَامُّ هُنَا مَا يُؤْخَذُ مِنْ حَدِيْثِ التَّسْبِيْحِ بِالْحَصَى مِنْ صِحَّةِ الاسْتِعَانَةِ عَلَى الضَّبْطِ لِلْعَدَدِ بِكُلِّ مَا هُوَ فِيْ مَعْنَاهَا، فَلاَ مَانِعَ مِنْ جِهَةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الْعَمَلِ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ جَوَّزَ الْعَمَلَ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مِنْ غَيْرِ قَيْدٍ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ كَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَأَبِيْ دَاوُدَ وَابْنِ مَهْدِيٍّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ كَمَا فِيْ التَّدْرِيْبِ وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ الاصْطِلاَحِ.


    “Kemudian kesimpulan pembahasan kita sesuai kaedah-kaedah ilmu hadits, bahwa hadits “Ni’ma al-Mudzkkir as-Subhah” adalah Dla’if dengan sanad ini. Tetapi tidaklah dilarang mengamalkan hadits ini. Melainkan yang dilarang adalah mengamalkan hadits dla'if -selain maudlu’ (palsu)- apa bila hadits tersebut sangat lemah (Syadid adl-Dla’f). Hadits yang sangat lemah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang kadzdzab (pendusta), atau dituduh berdusta atau sangat parah kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Sedangkan dalam sanad hadits ini tidak terdapat perawi-perawi seperti itu, dan tidak ada seorang ahli hadits-pun yang menyatakan adanya tafarrud di dalamnya (hanya diriwayatkan oleh perawi dengan sifat-sifat yang disebutkan). Dalam hadits ini juga terdapat syarat lain (untuk dibolehkan mengamalkan hadits Dla’if yang bukan Maudlu’ dan bukan Syadid adl-Dla'f), yaitu masuk dalam dalil umum. Dan dalil umum dalam masalah ini diambil dari hadits bertasbih dengan kerikil dari sisi bahwa dibenarkan menggunakan alat untuk menghitung jumlah dzikir dengan apapun yang semakna dengan kerikil. Jadi jika dilihat kondisi hadits ini, tidak ada larangan untuk mengamalkannya. Apalagi ada sebagian ahli hadits seperti al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, Ibn Mahdi, Ibn al-Mubarak yang membolehkan mengamalkan hadits Dla’if tanpa syarat atau ketentuan apapun seperti disebutkan dalam Tadrib ar-Rawi dan buku-buku ilmu Musthalah al-Hadits yang lain” [at-Ta’qqub al-Hatsits, h. 64-65].


    Bahkan al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, hlm. 45-46, menegaskan bahwa ketika orang berdzikir menggunakan biji-bijian, kerikil atau tasbih, sesungguhnya dia menghitung dzikir dengan jari-jari tangannya juga, karena dia menggunakan jari-jarinya untuk mengambil dan memegang biji-bijian atau kerikil tersebut, ia juga menggunakan jari-jarinya untuk menggerakkan dan memutar tasbih tersebut. Berarti ia memperoleh pahala seperti halnya bila dia hanya menggunakan jari-jarinya untuk menghitung dzikirnya tersebut. Dengan demikian menghitung dzikir dengan biji-bijian, kerikil atau tasbih, berarti masuk dalam kesunnahan berdzikir dengan menggunakan jari-jari tangan yang disebutkan dalam hadits Yusairah [Itqan ash-Shun’ah, h. 45-46]. Dalam hadits Yusairah ini Rasulullah bersabda:

    عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّقْدِيْسِ، وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ، وَاعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذيّ)

    “Bacalah oleh kalian Tasbih, Tahlil dan Taqdis, dan jangan lupa memohon rahmat Allah, dan hitunglah dengan jari-jari tangan karena nanti di akhirat jari-jari tersebut akan ditanya dan nantinya akan berbicara dan menjawab”. (HR. Ibn Abi Syaibah, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
  4. Antara Menghitung Dzikir Dengan Jari Atau Tasbih

    Dzikir yang dibaca oleh seseorang jika dihitung dengan jari-jari tangan kanan itu lebih afdlal. Karena hal itu yang dianjurkan oleh Rasulullah (Warid) dengan perkataan dan dengan perbuatannya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa Rasulullah ketika bertasbih beliau menghitungnya dengan jari-jari tangan kanannya (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya).
    Namun demikian, hal ini bukan berarti menghitung dzikir dengan sesuatu yang lain tidak boleh, walaupun memang yang lebih afdlal menghitung dengan jari-jari tangan. Dengan dalil bahwa suatu ketika Rasulullah mendapati salah seorang istrinya yang bernama Shafiyyah meletakkan empat ribu biji kurma dihadapannya yang ia gunakan untuk menghitung tasbihnya (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya). Dalam hadits ini Rasulullah tidak melarang, serta tidak mengingkari perbuatan Shafiyyah tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada Shafiyyah terhadap yang lebih mudah dan lebih afdlal, seperti yang telah kita kemukakan di atas dengan dalil-dalilnya.
    Demikian juga ada beberapa sahabat lain yang menghitung bacaan dzikirnya dengan biji kurma, kerikil atau benang yang disimpulkan. Di antaranya sahabat Abu Shafiyyah; salah seorang bekas budak Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan kitab al-Jami’ fi al-‘Ilal wa Ma’rifat ar-Rijal. Juga seperti yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah. Termasuk di antaranya sahabat Sa’d ibn Abi Waqqash, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, dan Ibn Sa’d dalam kitab ath-Thabaqaat. Juga di antaranya sahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawaa-id az-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Auliya’, serta diriwayatkan adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’. Kemudian pula di antaranya sahabat Abu ad-Darda’, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan lainnya.
    Dari sini para ulama menyimpulkan bahwa hukum menghitung dzikir dengan tasbih atau semacamnya adalah boleh, tidak haram, walaupun yang lebih baik (afdlal) menghitungnya dengan jari tangan kanan. Hukum yang serupa dengan ini adalah tentang shalat Rawatib al-Faraidl (Qabliyyah dan Ba’diyyah). Bahwa yang lebih afdlal shalat sunnah Rawatib tersebut dilaksanakan di rumah, namun bukan berarti haram jika shalat sunnah tersebut dilakukan di masjid.
    Bahkan al-Faqih al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, menuliskan bahwa sebagian ulama telah merinci tentang keutamaan berdzikir antara dengan jari-jari atau dengan untaian tasbih. Beliau menuliskan sebagai berikut:
    إِنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ الْغَلَطَ كَانَ عَقْدُهُ بِالأَنَامِلِ أَفْضَلَ، وَإِلاَّ فَالسُّبْحَةُ أَفْضَلُ.
    “Jika orang yang berdzikir tidak khawatir salah hitung maka menghitung dzikir dengan jari-jari tangan hukumnya lebih afdlal. Namun jika ia khawatir salah hitung maka menghitung dengan tasbih lebih afdlal” [al-Fatwa al-Kubra, j. 1, h. 152].

    Amaliah Para Ulama Salaf Dan Khalaf

    Berikut ini sebagian para ulama Salaf dan para ulama Khalaf yang berdzikir menggunakan kerikil, biji kurma, atau semacam ikatan yang disimpulkan menjadi untaian tasbih. Di antaranya ialah:
    1. Shafiyyah. Beliau adalah Umm al-Mu’minin, salah seorang istri Rasulullah. Dalam menghitung dzikir beliau menggunakan biji-biji kurma atau kerikil-kerikil seperti yang telah kita sebutkan di atas. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, dan ath-Thabarani.
    2. Abu Shafiyyah. Beliau adalah salah seorang bekas budak Rasulullah. Dalam menghitung dzikirnya beliau menggunakan kerikil-kerikil atau biji-biji kurma. Hadits ini dituturkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah, al-Hafizh Ibn ‘Asa-kir dalam kitab Tarikh Dimasyq, al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd dan kitab al-Jami’ Fi al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, al-Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh al-Kabir, al-Imam Ibn Abi Hatim dalam kitab al-Jarh Wa at-Ta’dil, Ibn Sayyid an-Nas dalamkitab ‘Uyun al-Atsar, al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah.
    3. Sa’ad ibn Abi Waqqash. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka. Dalam berdzikir beliau menggunakan kerikil dan biji-biji kurma. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, dan Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
    4. Abu Hurairah. Sahabat Rasulullah terkemuka ini memiliki benang dengan simpulannya sebanyak dua ribu bundelan. Sebelum tidur beliau berdzikir dengan menggunakan alat ini hingga selesai. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliya’, ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawa-id az-Zuhd, adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan Siyar A’lam an-Nubala’. Juga diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berdzikir dengan mempergunakan biji kurma atau kerikil sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan, dan Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad.
    5. Abu ad-Darda’. Sahabat Rasulullah ini berdzikir dengan biji kurma ‘Ajwah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd.
    6. Abu Sa’id al-Khudri. Sahabat Rasulullah ini berdzikir dengan biji-bijian seperti yang dituturkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
    7. Abu Muslim al-Khaulani, sebagaimana dituturkan oleh Abu al-Qasim ath-Thabari.
    8. Al-Imam al-Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah pemimpin kaum sufi (Sayyid ath-Tha’ifah ash-Shufiyyah). Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, dan al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab al-Ghun-yah --Fahrasah Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl--).
    9. Al-Hafizh al-Muhaddits al-Mujtahid Yahya ibn Sa’id al-Qaththan. Belaiu adalah ulama terkemuka yang telah mencapai derajat mujtahid mutlak. (w 198 H). dalam berdzikir selalu mempergunakan untaian tasbih, seperti yang dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’.
    10. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani. Ahli hadits terkemuka, yang digelar dengan “Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits”. Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana diituturkan oleh muridnya sendiri, yaitu al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Jawahir Wa ad-Durar.
    11. Abu Sa’id ‘Abd as-Salam ibn Sa’id ibn Hubaib al-Maliki (w 240 H) yang lebih dikenal dengan nama Sahnun. Beliau mengalungkan tasbih di lehernya dan berdzikir dengannya, seperti dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’.
    12. Al-Kharsyi al-Maliki (w 1101 H). Penulis Hasyiyah ‘Ala Mukhtashar Khalil, atau yang di sebut dengan Hasyiyah al-Kharsyi.
    13. Dan masih banyak para ulama lainnya.
    14. Perkataan Sebagian Ulama Tentang Tasbih
      1. Perkataan al-Junaid al-Baghdadi. Al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab al-Ghun-yah, (Fahrasat Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl). (Kitab berisi tentang guru-guru al-Qadli ‘Iyadl sendiri), meriwayatkan dari salah seorang gurunya, bahwa guru al-Qadli ‘Iyadl ini berkata:

        سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْحَبَّالَ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا الْحَسَنِ بْنَ الْمُرْتَفِقَ الصُّوْفِيَّ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرِو بْنَ عَلْوَانَ وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ يَدِهِ سُبْحَةً فَقُلْتُ: يَا أُسْتَاذُ مَعَ عَظِيْمِ إِشَارَتِكَ وَسَنِيِّ عِبَارَتِكَ وَأَنْتَ مَعَ السُّبْحَةِ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ الْجُنَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ بِشْرَ بْنَ الْحَارِثِ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ عَامِرَ بْنَ شُعَيْبٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ الْحَسَنَ بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ الْبِصْرِيَّ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: يَا بُنَيَّ، هذَا شَىْءٌ كُنَّا اسْتَعْمَلْنَاهُ فِيْ الْبِدَايَاتِ مَا كُنَّا بِالَّذِيْ نَتْرُكُهُ فِيْ النِّهَايَاتِ، أُحِبُّ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ تَعَالَى بِقَلْبِيْ وَيَدِيْ وَلِسَانِيْ.


        “Aku mendengar Abu Ishaq al-Habbal berkata: Aku mendengar Abu al-Hasan ibn al-Murtafiq ash-Shufi berkata: Aku mendengar Abu ‘Amr ibn ‘Alwan berkata ketika aku melihat tasbih di tangannya dan aku berkata kepadanya: “Wahai Guru-ku, dengan keagungan isyaratmu dan ketinggian tutur katamu masih juga-kah engkau menggunakan tasbih?!”. Beliau berkata kepadaku: “Demikian ini aku melihat al-Junaid ibn Muhammad dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka al-Junaid berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku Bisyr ibn al-Harits dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka Bisyr berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat ‘Amir ibn Syu’aib dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka ‘Amir berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku; al-Hasan ibn Abu al-Hasan al-Bashri dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka al-Hasan berkata kepadaku: “Wahai anak-ku, tasbih ini adalah alat yang kita pakai saat kita memulai mujahadah kita, dan kita tidak akan pernah meninggalkannya di saat kita telah sampai pada puncak tingkatan kita sekarang. Aku ingin berdzikir; menyebut Allah dengan hati, tangan dan lidahku” [al-Ghunyah, h. 180-181].
      2. al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitab Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, menuliskan sebagai berikut:

        وَالسُّبْحَةُ بِضَمِّ السَّيْنِ وَإِسْكَانِ الْبَاءِ خَرَزٌ مَنْظُوْمَةٌ يُسَبَّحُ بِهَا مَعْرُوْفَةٌ تَعْتَادُهَا أَهْلُ الْخَيْرِ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ التَّسْبِيْحِ.


        “Subhah -dengan harakat dlammah pada huruf sin dan ba’ yang di-sukun-kan- adalah sesuatu yang dirangkai dan digunakan untuk berdzikir, umum diketahui dan biasa digunakan oleh Ahl al-Khair. Subhah diambil dari kata Tasbih” [Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, j. 3, h. 143-144].


        Mari kita renungkan perkataan al-Imam an-Nawawi: “Ta’taduha Ahl al-Khair”, artinya; Tasbih adalah alat yang biasa digunakan oleh Ahl al-Khair, yakni biasa digunakan oleh para Atqiya’, orang-orang yang mulia dan orang-orang saleh, serta lainnya. Demikian juga para wali Allah menggunakannya. Apakah pantas bila kemudian ada orang berkata: “Menggunakan tasbih adalah kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang musyrik?!”. Hasbunallah.
      3. al-‘Allamah asy-Syaikh Ibn ‘Allan dalam Syarh al-Adzkar, menuliskan sebagai:

        وَحَاصِلُ ذلِكَ أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا فِيْ أَعْدَادِ الأَذْكَارِ الْكَثِيْرَةِ -الَّتِيْ يُلْهِيْ الاشْتِغَالُ بِهَا عَنْ التَّوَجُّهِ لِلذِّكْرِ- أَفْضَلُ مِنَ الْعَقْدِ بِالأَنَامِلِ وَنَحْوِهِ، وَالْعَقْدُ بِالأَنَامِلِ فِيْمَا لاَ يَحْصُلُ فِيْهِ ذلِكَ سِيَّمَا الأَذْكَارُ عَقِبَ الصَّلاَةِ وَنَحْوُهَا أََفْضَلُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.


        “Kesimpulannya, bahwa menggunakan tasbih dalam bilangan atau jumlah dzikir yang banyak -yang jika seseorang sibuk dengan bilangan yang banyak tersebut hingga ia tidak dapat konsentrasi dalam dzikir- hal itu lebih afdlal daripada menghitung dengan jari-jari tangan dan semacamnya. Sedangkan menghitung dengan jari-jari tangan dalam dzikir-dzikir yang tidak mengganggu konsentrasinya, apalagi seperti dzikir seusai shalat dan semacamnya, maka itu lebih afdlal (dari pada menghitung dengan tasbih)” [Syarah al-Adzkar, j. 1, h. 252].


        Karenanya banyak dari para ulama kita yang memfatwakan kebolehan berdzikir dengan mempergunakan tasbih. Bahkan banyak pula di antara mereka yang menulis karangan khusus tentang kebolehan berdzikir dengan tasbih ini. Di antaranya adalah: al-Hafizh as-Suyuthi yang telah menulis risalah berjudul al-Minhah Fi as-Subhah, al-Hafizh Ibn Thulun menulis al-Mulhah Fima Warada Fi Ashl as-Subhah, Ibn Hamdun dalam Hasyiyah-nya, Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, al-Muhaddits Muhammad Ibn ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i dalam I-qad al-Mashabih Li Masyru’iyyah Ittikhadz al-Masabih, Muhammad Amin ibn ‘Umar yang lebih dikenal dengan nama Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, al-Muhaddits Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq MA’na al-Bid’ah, al-Hafizh al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam at-Ta’aqqub al-Hatsits dan Nushrah at-Ta’aqqub, serta masih banyak para ulama lainnya.
      Kerancuan Kalangan Yang Membid’ahkan Dan Mengharamkan Tasbih
      Sebagian kalangan yang mengharamkan mempergunakan tasbih secara membabi buta karena kebodohannya berkata: “Memakai tasbih adalah kebiasaan dan lambang orang-orang Nasrani”..
      Jawab:
      Hasbunallah. Pernyataan seperti ini sangat gegabah dan sangat berlebih-lebihan. Tidak pernah ada seorang ulama-pun yang mengatakan seperti ini. Bahkan orang Islam awam sekali-pun tidak mengatakan demikian. Sebaliknya, seluruh ulama Salaf dan ulama Khalaf mengatakan boleh berdzikir dengan mempergunakan tasbih, dan karenanya banyak di antara mereka yang mengamalkan hal itu.
      Para ulama dari empat madzhab, para ulama hadits, para Sufi dan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, semuanya sepakat membolehkan penggunaan tasbih dalam hitungan dzikir. Adapun golongan yang menyempal, seperti Wahhabiyyah, yang mengharamkan penggunaan tasbih dalam berdzikir dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat, adalah faham ekstrim yang baru datang belakangan. Jelas, faham semacam ini menyalahi apa yang telah diyakini oleh mayoritas umat Islam. [Lihat klaim “ahli bid’ah” terhadap orang-orang yang mempergunakan tasbih, diungkapkan oleh salah seorang pemuka Wahhabiyyah, bernama ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Wahhab, dalam buku berjudul al-Hadiyyah as-Saniyyah, h. 47]
      Padahal al-Imam as-Suyuthi dalam risalah al-Minhah Fi as-Subhah menuliskan sebagai berikut:
      وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ سَادَاتٌ يُشَارُ إِلَيْهِمْ وَيُؤْخَذُ عَنْهُمْ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ كَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَكَانَ لاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيْحَةٍ، قَالَهُ عِكْرِمَةُ. وَفِيْ مَوْضِعٍ ءَاخَرَ: وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلاَ مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ، بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّوْنَهُ بِهَا وَلاَ يَرَوْنَ ذلِكَ مَكْرُوْهًا.
      “Tasbih ini telah dipakai oleh para panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu dan sandaran ummat, seperti sahabat Abu Hurairah. Beliau punya benang yang memiliki dua ribu bundelan. Beliau tidak beranjak tidur hingga berdzikir dengannya sebanyak dua belas ribu kali, seperti diriwayatkan oleh ‘Ikrimah”.
      Di halaman lain as-Suyuthi berkata: 
      “Tidak pernah dinukil dari seorang-pun, dari ulama Salaf dan ulama Khalaf yang melarang menghitung dzikir dengan tasbih. Melainkan kebanyakan ulama justru menghitung dzikir dengan menggunakan tasbih, dan mereka tidak mengganggap hal itu sebagai perkara makruh”.
      Dengan demikian, para panutan kita terdahulu seperti yang disinggung oleh al-Imam as-Suyuthi di atas, baik dari kalangan sahabat Nabi, para tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka, yang di antara mereka adalah para ulama atqiya’ dan shalihin, mereka semua banyak yang mempergunakan tasbih dalam menghitung bilangan dzikirnya.
      Dari sini kita katakan kepada mereka yang mengharamkan penggunaan tasbih:
      “Apakah kalian akan mengatakan bahwa jajaran para ulama Salaf dan para ulama Khalaf tersebut sebagai orang-orang yang menyerupakan diri dengan kaum Nasrani dan menghidupkan lambang-lambang mereka?! Tidakkah kalian punya rasa malu?! Siapakah diri kalian hingga kalian berani berkata seperti itu?! Apakah menurut kalian bahwa para ulama yang membolehkan dan mempergunakan tasbih, seperti al-Hasan al-Bashri, al-Junaid al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, as-Suyuthi, Ibn Hajar al-Haitami dan lainnya, bahwa mereka semua tidak memahami agama?! Apakah menurut kalian bahwa mereka tidak mengetahui hadits mana yang shahih dan hadits mana yang dla’if?! Apakah menurut kalian bahwa mereka semua tidak bisa membedakan antara sunnah dan bid’ah?! Seharusnya kalian menyadari bahwa sebenarnya kalian sendiri yang pantas disebut sebagai “Ahli Bid’ah”.

Sa’ad Bin Abi Waqqash, lelaki penghuni surga di antara dua pilihan


Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.

Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa’ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa’ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa’ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa’ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.
Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa’ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : “Sa’ad, apakah yang sedang kau lakukan ?” Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu’ sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. “Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : “Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut”. “Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia,” jawab Sa’ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa’ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak”. Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi Saw, turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. Luqman: 14-15).
Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila Sa’ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan doanya.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : “Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga”. Mendengar ucapan Rasulullah saw, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah saw dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda Nabi Saw, dalam perang Uhud :”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.
Doa Sa’ad bin Abi Waqqash yang senantiasa dikabulkan
Diriwayatkan dari Qais, bahwa Sa’ad menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,“Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”
Manakala beliau didoakan seperti itu oleh Nabi saw, maka setiap doanya senantiasa dikabulkan oleh Allah. Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, dia berkata,“Suatu ketika penduduk Mekah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, ‘Aku mengerjakan shalat sesuai dengan shalatnya Rasulullah saw. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan dengan ringkas.’ Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq.’ Dia kemudian mengutus beberapa orang untuk bertanya tentang dirinya di Kufah, ternyata ketika mereka mendatangi masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata, ‘Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam. Setelah itu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ‘Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya.’”
Abdul Malik berkata,“Pada saat itu aku melihat Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa Sa’ad.”(HR. Muttafaq ‘Alaihi).
Diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib, bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad menegurnya,“Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku.’ Tetapi pria itu tidak mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, ‘Selamat kamu wahai Abu Ishaq, doamu terkabulkan.’”
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan puluh tahun. Dalam keadaan sakit Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya, agar ia dikafani dengan Jubah yang digunakannya dalam perang Badar, sebagai perang kemenangan pertama untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.