Tuesday, November 29, 2011

Hukum CADAR dalM Bahtsul Masail NU

Teks arab dan terjemahnya saya memakai yang terdapat dalam buku Ahkam al Fuqaha’ fi Muqarrati Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’, Kumpulan Masalah2 Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dan Penerbit CV Toha Putra Semarang.
Buku ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais Syuriah NU.
Seluruh fatwa yang ada di buku tersebut sudah dikoreksi oleh tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama antara lain J. M (Yang Mulia-ed) Rois Aam, Kj H Abdul Wahab Khasbullah, J.M. KH Bisyri Syamsuri, al Ustadz R Muhammad al Kariem Surakarta, KH Zubair Umar, Djailani Salatiga, al Ustadz Adlan Ali, KH Chalil Jombong dan alm KH Sujuthi Abdul Aziez Rembang.
Pada buku di atas tepatnya pada juz kedua yang berisi hasil keputusan Muktamar NU kedelapan yang diadakan di Batavia (Jakarta) pada tanggal 12 Muharram 1352 H atau 7 Mei 1933 H pasnya pada halaman 8-9 tercantum fatwa yang merupakan jawaban pertanyaan yang berasal dari Surabaya sebagai berikut:
135: ما حكم خروج المرأة لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين والرجلين هل هو حرام أو لا؟ وإن قلتم بالحرمة فهل هناك قول بجوازه لأنه من الضرورة أو لا؟ (سورابايا)
135 Soal: Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau makruh?
Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat ataukah tidak? (Surabaya).
ج: يحرح خروجها لذلك بتلك الحالة على المعتمد والثاني يجوز خروجها لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين إلى الكوعين. وعند الحنفية يجوز ذلك بل مع كشف الرجلين إلى الكوعين إذا أمنت الفتنة.
Jawab.: Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang mu’tamad, menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai mata kaki-ed) apabila tidak ada fitnah.
Keterangan dari kitab Maraqhil-Falah Syarh Nurul-Idhah dan Kitab Bajuri Hasyiah Fatkhul Qarib J. II Bab Nikah.
Catatan:
Terjemah dan huruf besar adalah sebagaimana yang terdapat dalam buku di atas.
Dalam fatwa resmi NU di atas, para ulama NU mengakui adanya perselisihan dalam Mazhab Syafii tentang batasan aurat yang boleh dinampakkan oleh seorang wanita ketika keluar rumah. Pendapat yang benar (baca:mu’tamad) dalam Mazhab Syafii –ditimbang oleh kaedah-kaedah mazhab- adalah pendapat yang mengatakan bahwa seluruh badan muslimah itu wajib ditutupi ketika hendak keluar rumah. Pendapat inilah yang dipilih dan difatwakan oleh NU. Sedangkan pendapat yang membolehkan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi muslimah adalah pendapat yang lemah dalam Mazhab Syafii.
Anehnya saat ini pendapat yang mu’tamad dalam mazhab berubah seakan-akan pendapat yang lemah dalam mazhab. Lebih parah lagi ketika ada orang yang mengamalkan pendapat yang mu’tamad dalam Mazhab Syafii malah dituduh dengan berbagai tuduhan keji.
Untuk melengkapi fatwa di atas saya kutipkan fatwa no 265 yang ada di juz kedua hal 132 yang merupakan keputusan Muktamar NU yang ke-15:
265: هل يجوز لنا أن نستدل بقولهم: الضرورة تبيح المحظورات أو قولهم: وإذا ضاق الأمر اتسع في جواز خروج النساء كاشفات عوراتهن عند الأجانب لما عمت البلوي في إندونيسيا أو لا؟ (فاكر عالم)
265, Soal: Apakah boleh kita mengambil dalil dengan Qoidah: dharurat itu memperbolehkan mengerjakan larangan atau Qoidah: apabila urusan itu sempit maka menjadi longgar untuk memperbolehkan keluarnya perempuan dengan membuka auratnya di samping lelaki lain karena telah menjadi biasa di Indonesia ataukah tidak? (Pagaralam)
ج: لا يجوز ذلك لأن ستر العورة للنساء في إندونيسيا وقت الخروج لا يؤدي إلى الهلاك أو ما يقاربه لأن الضرورة التي تبيح المحظورات هي التي أدت إلى الهلاك أو قارب. كما في الأشباه و النظائر و نصه:فالضرورة بلوغه حدا إن لم يتناول الممنوع هلك أو قارب أهـ.
Jawab.: Tidak boleh menggunakan dalil tersebut karena menutup aurat waktu keluar (rumah-ed) itu tidak membahayakan diri karena dlarurat yang memperbolehkan menjalankan larangan itu apabila tidak mengerjakan larangan dapat membahayakan diri atau mendekati bahaya.
Keterangan dari Kitab Asybah wan Nazair.
Cadar dalam Kitab-Kitab NU
Yang dimaksud dengan kitab-kitab NU di sini adalah kitab-kitab yang sering dikaji oleh saudara-saudara kita yang berafiliasi kepada NU.
Di antara buku yang terkenal di kalangan NU adalah kitab Safinatun Najah yang maknanya adalah perahu keselamatan.
Buku adalah buku pemula bagi orang yang hendak belajar fikih Syafii. Buku ini ditulis oleh Salim bin Sumir al Hadhrami-berasal dari Hadramaut Yaman- namun beliau meninggal di Jakarta.
Ketika membahas tentang aurat, penulis mengatakan:
فصل: العورات أربع: الرجل مطلقا والأمة في الصلاة ما بين السرة والركبة.
“Fasal (tentang aurat)
Aurat itu ada empat macam:
Pertama, aurat laki-laki dalam semua keadaan dan aurat budak perempuan adalah bagian badan antara pusar dan lutut.
وعورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوي الوجه والكفين.
Kedua, aurat perempuan merdeka (baca:bukan budak) ketika shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
وعورة الحرة والأمة عند الأجانب جميع البدن.
Ketigaaurat perempuan merdeka dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki ajnabi (bukan mahrom) adalah seluruh anggota badannya.
وعند محارمهما والنساء ما بين السرة والركبة.
Keempat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki yang berstatus mahrom dengannya adalah bagian badan antara pusar dan lutut” (Safinatun Najah yang dicetak Nurud Duja-terjemah Safinatun Najah dalam bahasa Jawa- hal 58-59, terbitan Menara Kudus tanpa tahun).
Tegas dalam kutipan di atas bahwa menurut penulis Safinatun Najah seorang perempuan merdeka harus menutupi seluruh tubuhnya (termasuk mata) tanpa terkecuali ketika bertemu dengan laki-laki ajnabi baik di rumah, di warung, di pasar ataupun di sekolah.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kyai Asrar bin Ahmad bin Khalil Wonosari Magelang dalam Nurud Duja fi Tarjamah Safinatun Najah. Terjemah Safinatun Najah dalam bahasa ini diberi kata pengantar oleh penerjemahnya pada tanggal 17 Sya’ban 1380 H atau 1 Januari 1961 M dan diberi kata sambutan oleh Kyai Muhammad Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1380 H atau 16 Desember 1960 M dan Kyai Bisri Mushthofa Rembang pada 28 Jumadil Akhir 1380 H atau 17 Desember 1960 M.
Di halaman 59, Kyai Asrar pada komentar no 3 mengatakan, “Nomer telu: aurate wadon merdeka lan amah naliko sandingan karo wong lanang liya yo iku sekabehane badan”.
Yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Macam aurat nomer ketiga adalah aurat perempuan merdeka dan budak perempuan ketika berada di dekat laki-laki ajnabi adalah seluruh badannya”.
Penjelasan penulis Safinatun Najah dan Kyai Asror dari Wonosari Magelang tersebut tidaklah bisa dipraktekkan kecuali jika para perempuan memakai burqoh atau cadar yang menutupi seluruh badan termasuk mata. Kalau sekedar cadar yang masih menampakkan kedua mata masih dinilai kurang sesuai dengan penjelasan di atas.
Yang sangat disayangkan mengapa belum pernah saya jumpai saudara-saudara kita para mbah romo kyai NU yang menerapkan aturan ini pada istrinya (baca:bu nyai) atau pada anak-anaknya. Belum pernah juga saya jumpai warga nahdhiyyin yang menerapkan kandungan kitab Safinatun Najah ini padahal mereka sangat sering mengkaji kitab ini.
Mengapa realita berlainan dengan teori di kitab? Adakah belajar agama itu sekedar wawasan bukan untuk diamalkan?
Moga Allah selalu menuntun langkah-langkah kita menuju ilmu manfaat dan amal shalih yang berlandaskan ilmu yang benar.
Syarh ‘Uqud al Lajjiin fi Bayan Huquq al Jauzain karya Syarh Muhammad bin Umar Nawawi al Jawi adalah buku wajib santri NU yang ingin mewujudkan keluarga sakinah dalam rumah tangganya. Di dalamnya terdapat beragam nasihat untuk suami dan istri sehingga buku ini “wajib” dikaji oleh santri atau santriwati yang hendak menikah.
Sebatas pengetahuan saya penulis matan Uqud al Lajjiin yang bermakna untaian perak adalah anonim alias tidak diketahui secara pasti.
Di antara yang menarik di buku ini adalah bahasan tentang aurat wanita muslimah menurut penulis matan dan pen-syarah-nya.
Di halaman ke-3 baris ke-7 dari atas menurut cetakan dari penerbit Syarikah an Nur Asia (tanpa dicantumkan tahun terbit dan alamat penerbit) disebutkan sebagai berikut:
(الفصل الثاني في) بيان (حقوق الزوج) الواجبة (على الزوجة) و هي طاعة الزوج في غير معصية وحسن المعاشرة وتسليم نفسها إليه وملازمة البيت وصيانة نفسها من أن توطيء فراشه غيره و الاحتجاب عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها وكفيها إذ النظر إليهما حرام ولو مع اتفاء الشهوة والفتنة …
“(Fasal kedua itu berisi) penjelasan (mengenai hak-hak suami) yang menjadi kewajiban (istri). Hak-hak tersebut adalah:
1. mentaati suami selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat
2. memperlakukan suami dengan baik
3. menyerahkan dirinya kepada suami (jika suami mengajak untuk berhubungan badan, pent)
4. betah di rumah
5. menjaga diri jangan sampai ada laki-laki selain suaminya berada di tempat tidur suaminya
6. berhijab sehingga tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terlihat oleh laki-laki ajnabi termasuk di antaranya adalah wajah dan kedua telapak tangannya karena adalah haram hukumnya seorang laki-laki melihat wajah dan telapak tangannya meski pandangan tersebut tanpa diiringi syahwat dan tidak dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang tergoda…”
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkataan penulis matan. Sedangkan yang diluar dalam kurung adalah perkataan Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Bantani, pensyarah matan Uqud al Lajjiin.
Di halaman 17 baris ke-9 dari bawah penulis matan berkata sebagaimana berikut ini:
(فيجب علي المرأة إذا أرادت الخروج أن تستر جميع بدنها ويديها من أعين الناظرين)
“Wajib atas perempuan muslimah jika hendak keluar rumah untuk menutupi semua badannya termasuk kedua telapak tangannya agar tidak terlihat mata para laki-laki yang melihat dirinya”.
Berdasarkan dua kutipan di atas jelaslah bahwa wajibnya seorang muslimah menutup seluruh badannya ketika bertemu lelaki ajnabi adalah pendapat penulis matan Uqud al Lajjain sebagaimana dalam kutipan kedua, sekaligus pendapat Syaikh Muhammad bin Umar al Jawi sebagaimana dalam kutipan pertama.
Bahkan di halaman 18 baris ke-9 dari bawah an Nawawi al Jawi al Bantani mengklaim adanya ijma’ amali (kesepakatan secara praktek nyata) bahwa muslimah itu bercadar ketika berada di luar rumah. Beliau mengatakan,
إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن متنقبات
“Tidak henti-henti sepanjang zaman (umat Islam, pent) bahwa laki-laki itu keluar rumah dalam keadaan tidak bercadar sedangkan kaum wanita itu bercadar jika mereka keluar dari rumah”.
Jadi umat Islam tidak pernah mengenal dan tidak pernah tercatat dalam sejarah umat Islam sampai masa Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Jawi al Bantani adanya seorang wanita muslimah yang bukan budak keluar rumah dalam keadaan wajahnya terbuka.
Sungguh sangat aneh jika ada kaum nahdhiyyin yang lupa bahwa bercadar bagi wanita adalah ajaran resminahdhiyyin sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab dasar yang diajarkan kepada santri pemula dan orang-orang awam. Bahkan beranggapan bahwa cadar bagi muslimah hanya sekedar budaya Arab Saudi dan tidak ada dalam ajaran Islam. Memang benar, ilmu itu akan terjaga jika di amalkan bukan hanya sekedar diteorikan.
Di antara kitab dasar untuk belajar fiqh Syafii adalah Matan al Taqrib atau Matan Abi Syuja’ karya Ahmad bin al Husain yang terkenal dengan sebutan Abu Syuja’. Syarh ringkas untuk matan Abi Syuja’ yang umum dipakai dan dipegang oleh para ustadz atau kyai NU adalah buku yang berjudul Fath al Qorib al Mujib karya Syaikh Muhammad bin Qasim al Ghazzi.
Ketika membahas syarat-syarat sah shalat dalam Fath al Qorib al Mujib hal 13 disebutkan sebagai berikut:
(و)الثاني (ستر) لون (العورة) عند القدرة ولو كان الشخص خاليا أو في ظلمة فإن عجز عن سترها صلى عاريا ولا يومئ بالركوع والسجود بل يتمهما ولا إعادة عليه.
(Dan) syarat sah shalat yang kedua adalah (menutupi) warna kulit dari (aurat) ketika memungkinkan meski sendirian atau pun shalat dikerjakan di dalam kegelapan. Jika seorang itu tidak mampu menutupi auratnya ketika hendak shalat hendaknya dia tetap shalat meski dalam kondisi telanjang. Ruku dan sujud ketika shalat dalam kondisi telanjang tidaklah dilakukan dengan isyarat namun dikerjakan secara sempurna sebagaimana dalam kondisi normal. Shalat yang dikerjakan dalam kondisi telanjang karena tidak memungkinkan itu sah sehingga tidak perlu diulangi ketika kondisi normal.
ويكون ستر العورة (بلباس طاهر)
Pakaian yang dipergunakan untuk menutup aurat haruslah (pakaian yang suci).
ويجب سترها أيضا في غير الصلاة عن الناس وفي الخلوة إلا لحاجة من اغتسال ونحوه.
Wajib hukumnya menutupi aurat meski di luar shalat dari pandangan orang. Demikian pula wajib menutupi aurat meski sendirian kecuali ketika ada keperluan semisal mandi.
وأما سترها عن نفسه فلا يجب لكنه يكره نظره إليها.
Adapun menutupi aurat sehingga tidak terlihat oleh diri sendiri itu tidak wajib namun makruh hukumnya memandangi aurat sendiri.
وعورة الذكر ما بين سرته وركبته وكذا الأمة.
Aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut. Demikian pula aurat budak perempuan.
وعورة الحرة في الصلاة ما سوي وجهها وكفيها ظاهرا وباطنا إلى الكوعين.
Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan baik bagian atas ataupun bagian dalam telapak tangan hingga pergelangan tangan.
وأما عورة الحرة خارج الصلاة فجميع بدنها.
Sedangkan aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh badannya.
وعورتها في الخلوة كالذكر.
Aurat perempuan merdeka ketika sendirian adalah sebagaimana aurat laki-laki.
والعورة لغة النقص
Dalam bahasa Arab, aurat artinya adalah kekurangan.
وتطلق شرعا على ما يجب ستره وهو المراد هنا وعلى ما يحرم نظره وذكره الأصحاب في كتاب النكاح.
Sedangkan secara syariat memiliki dua pengertian a) bagian tubuh yang wajib ditutupi dan itulah yang dimaksud dengan aurat dalam topik bahasan ini b) bagian tubuh yang haram dipandangi oleh orang lain. Aurat dengan makna kedua ini disebutkan oleh para ahli fikih dalam bab nikah.
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkatan penulis matan Abi Syuja’. Sedangkan yang berada di luar tanda kurung adalah perkataan penulis Fath al Qorib al Mujib.
Jelaslah dari kutipan di atas bahwa penulis kitab Fath al Qorib al Mujib yang merupakan syarah ringkas untuk Matan Abi Syuja’ berpendapat bahwa muslimah itu wajib bercadar secara sempurna sehingga matanya sekalipun tidak terlihat. Demikian pula telapak kaki adalah aurat yang wajib ditutupi. Namun mengapa kita tidak pernah melihat ibu-ibu atau mbak-mbak dari Muslimat NU yang memakai kaos kaki atau cadar –misalnya- dalam rangka menutupi aurat.
Dalam kutipan di atas juga terdapat pelajaran penting tentang syarat pakaian muslim dan muslimah. Syarat sebuah pakaian adalah bisa menutupi warna kulit orang yang memakainya alias tidak tembus pandang (baca:transparan).
Sehingga pakaian yang ‘nrawang’ sehingga terlihat dan diketahui apa warna kulit pemakainya misal kuning atau sawo matang, bukanlah pakaian yang memenuhi kriteria.

Tuesday, November 22, 2011

Larangan Meminta-minta dan Haram Hukumnya Bagi yang Berkecukupan

Allah SWT berfirman, "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengatahui," (Al-Baqarah: 273).
Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya seseorang terus meminta-minta hingga ia akan datang nanti pada hari Kiamat tanpa ada sepotong daging pun di wajahnya'," (HR Bukhari [1474] dan Muslim [1040]).
Dari Mu'awiyah r.a, ia berkata, Rasululullah saw. bersabda, "Janganlah banyak meminta-minta, demi Allah tidaklah seseorang meminta sesuatu kepadaku lalu permintaannya itu aku penuhi sementara aku tidak rela memberikannya melainkan apa yang aku berikan itu tidak akan ada berkah baginya," (HR Muslim [1038]).
Dari 'Auf bin Malik al-Asyja'i r.a, ia berkata, "Suatu ketika kami berada di dekat Rasulullah saw, kira-kira sembilan, delapan atau tujuh orang. Beliau berkata, 'Tidakkah kalian membai'at Rasulullah?' Saat itu kami baru saja berbai'at. Kami menjawab, 'Kami sudah membai'atmu wahai Rasulullah!' Kemudian beliau berkata lagi, 'Tidakkah kalian membai'at Rasulullah?' Kami menjawab, 'Kami sudah membai'atmu wahai Rasulullah!' Belaiu berkata lagi, 'Tidakkah kalian membai'at Rasulullah?' Maka kami pun mengulurkan tangan dan berkata, 'Kami akan membai'atmu wahai Rasulullah, atas apakah kami membai'atmu?' Rasulullah berkata,'Untuk menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, menegakkan shalat lima waktu, tetap taat dan -beliau melirihkan suara sambil berkata- janganlah kalian meminta-minta kepada manusia.' Sungguh aku lihat sebagian dari mereka yang jatuh cambuknya namun ia tidak meminta tolong kepada seorang pun untuk mengambilkannya," (HR Muslim [1043]).
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya ia telah meminta bara api, silahkan ia mau menyedikitkannya atau memperbanyaknya'!" (HR Muslim [1041])
Dari Samurah bin Jundud r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya meminta-minta itu adalah bekas cakaran, seseorang mencakar wajahnya sendiri dengan meminta-minta. Kecuali seseorang meminta kepada sultan sesuatu yang harus ia minta'," (Shahih, HR Abu Dawud [1639], at-Tirmidzi [681], an-Nasa'i [V/100], Ahmad [V/10], al-Baghawi [1624], Ibnu Abi Syaibah [III/208] dan Ibnu Hibban [3386 dan 3397]).
Dari 'Imran bin Hushain r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Orang kaya (berkecukupan) yang meminta-minta akan menjadi cacat di wajahnya pada hari Kiamat nanti," (Shahih, HR Ahmad [IV/426 dan 436], ath-Thabrani [18/356, 362 dan 400] dan al-Bazzar [922])
Dari Jabir bin 'Abdillah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepadaku untuk meminta sesuatu lalu aku memberinya kemudian ia pergi. Tidaklah ia memikul di pundaknya kecuali api Neraka," (Shahih, HR Ibnu Hibban [3392]).
Kandungan Bab:
  1. Haram hukumnya meminta-minta tanpa ada kebutuhan atau hanya untuk memperbanyak harta. 
  2. Meminta-minta kepada orang tanpa ada kebutuhan akan mendatangkan kehinaan di dunia dan adzab di akhirat. 
  3. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan kaya yang tidak boleh meminta-minta:
    1. Barangsiapa memiliki lima puluh dirham atau emas seharga itu, maka ia tidak boleh meminta-minta. Para ulama berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits 'Abdullah bin Mas'ud r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa meminta-minta kepada manusia sementara ia memiliki kecukupan, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan bekas cakaran atau bekas garukan di wajahnya." Ada yang bertanya, "Apakah batasan kecukupan itu wahai Rasulullah?" beliau berkata, "Lima puluh dirham atau emas yang seharga dengan itu," (Shahih, HR Abu Dawud [1626], at-Tirmidzi [650], an-Nasa'i [V/97], Ibnu Majah [1840], Ahmad [I/388 dan 441], ad-Darimi [I/386], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [1600]).
      At-Tirmidzi (III/41), "Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian rekan kami. Dan juga pendapat yang dipilih oleh ats-Tsauri, 'Abdullah bin al-Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka berkata, 'Jika seseorang memiliki lima puluh dirham, maka tidak halal baginya shadaqah'." 
    2. Sebagian ulama berpendapat, barangsiapa memiliki uqiyyah seharga empat puluh dirham, maka ia tidak boleh meminta-minta. Mereka berdalil dengan riwayat seorang laki-laki dari Bani Asad, ia bercerita, "Aku dan keluargaku singgah di Baqi' Gharqad. Keluargaku berkata kepadaku, 'Pergilah kepada Rasulullah dan mintalah sesuatu kepada beliau untuk dapat kita makan.' Maka mereka pun menyebutkan beberapa kebutuhan mereka. Aku pun pergi menemui Rasulullah saw. dan aku dapati seorang laki-laki sedang meminta kepada beliau. Rasulullah berkata, 'Aku tidak punya sesuatu untuk kuberikan padamu!' Laki-laki itu pun pergi sambil menggerutu dan berkata, 'Demi Allah, engkau hanya memberi orang yang engkau kehendaki.' Rasulullah berkata, 'Dia marah kepadaku karena aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan padanya. Barangsiapa dari kalian meminta-minta sementara ia memiliki uqiyyah atau yang seharga dengannya berarti ia telah melakukan ilhaf (adalah terus menerus meminta hingga diberi)'."
      Al-Asadi (yakni laki-laki dari Bani Asad) berkata, 'Sungguh, seekor unta milik kami lebih baik daripada satu uqiyyah -Imam Malik berkata, 'Satu uqiyyah sama dengan empat puluh dirham'- Lalu ia berkata, 'Aku pun kembali dan tidak jadi meminta.' Kemudian setelah itu Rasulullah saw. kepada kami hingga akhirnya Allah SWT memberi kecukupan kepada kami," (Shahih, HR Malik [II/999], Abu Dawud [1627], an-Nasa'i [V/98-99], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [1601]). 
    3. Sebagian ulama berpendapat bahwa barangsiapa memiliki makanan untuk makan siang atau makan malam, maka ia tidak boleh meminta-minta. Mereka berdalil dengan hadits Sahal bin Hanzhaliyah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa meminta-minta sementara ia memiliki kecukupan, maka sesungguhnya ia sedang memperbanyak bagian dari api Neraka." Ia bertanya, "Apakah batasan kecukupan itu wahai Rasulullah?" Rasul berkata, "Sekadar kecukupan untuk makan siang dan makan malam," (Shahih, HR Abu Dawud [1629], Ahmad [IV/180-181]).
  4. Sebagian ahli ilmu berusaha menggabungkan antara hadits-hadits di atas sebagai berikut:
    1. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa hadits Sahal bin al-Hanzhaliyah mansukh (telah dihapus hukumnya). 
    2. Sebagian ahli ilmu berpendapat hadits Sahal bin al-Hanzhaliyah berlaku atas orang yang tidak dibolehkan meminta-minta. Barangsiapa memiliki kebutuhan pokok sehari-hari maka ia tidak boleh meminta-minta. Dan mereka membolehkan memberi shadaqah kepada orang yang tidak memiliki harta mencapai nishab, meskipun ia seorang yang sehat dan punya usaha. cSebagian ulama berpendapat, hadits sahal bin al-Hanzhaliyah berlaku atas orang yang secara kontinyu memiliki kebutuhan pokok yang mencukupi.
      Saya katakan, "Klaim hadits Sahal ini mansukh tidaklah benar karena tidak ada indikasi yang menguatkan bagi hadits ini mansukh tidaklah benar karena tidak ada indikasi yang menguatkan bagi hadits ini atas yang lainnya. Sementara proses penggabungan masih bisa dilakukan. Barangsiapa memiliki kebutuhan pokok sehari-hari secara kontinyu, maka ia tidak halal menerima zakat. Barangsiapa tidak punya harta yang mencapai nishab sementara ia memiliki tanggungan keluarga, maka ia boleh diberi shadaqah tanpa memintanya. Karena syari'at memerintahkan agar menerima zakat dari orang-orang kaya untuk diserahkan kepada kaum fakir. Jadi jelaslah, barangsiapa tidak punya harta yang mencapai nishab, maka ia tergolong fakir, wallaahu a'lam.
  5. Tidak boleh meminta-minta kecuali orang yang menanggung hutang atau orang yang tertimpa musibah yang meludeskan hartanya atau orang yang ditimpa kemelaratan yang sangat. Berdasarkan hadits Qabishah bin al-Mukhariq al-Hilali r.a, ia berkata, "Aku menanggung hamaalah lalu aku menemui Rasulullah saw. meminta bantuan kepada belaiu. Rasulullah saw. bersabda, "Tunggulah di sini, apabila datang harta zakat, kami akan memberikan bagian untukmu." Kemudian beliau bersabda, "Hai Qabishah, meminta-minta tidaklah dihalalkan kecuali bagi tiga orang: Pertama, seorang yang memikul tanggungan hutang (hamalah), maka ia boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya kemudian berhenti meminta. Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang meludeskan seluruh hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat menutupi kebutuhan pokoknya. Atau hingga ia dapat mencukupi kebutuhan pokoknya. Ketiga, seorang yang ditimpa melaratan hingga tiga orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian: 'Si fulan telah ditimpa kemelaratan', maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat menutupi kebutuhannya. Selain dari tiga macam itu hai Qabishah, hanyalah merupakan barang haram yang dimakan oleh si peminta-minta sebagai barang haram," (HR Muslim [1044]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/601-602.
Oleh: Fani