Sunday, March 25, 2012

Kemudahan yang Berlimpah....


فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا  (سورة الشرح: 5-6)

"Maka sesungguhnya, bersama setiap kesulitan terdapat kemudahan. Sesungguhnya bersama setiap kesulitan terdapat kemudahan." (QS. Asy-Syarh: 5-6)

Berdasarkan ayat ini, dikenal sebuah ungkapan;
لَنْ يَغْلِبَ  عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
"Satu kesulitan tak kan dapat mengalahkan dua kemudahan."

Ibnu Masud radhiallahu anhu berkata,
لَوْ كَانَ العُسْرُ فِي حُجْرٍ لَطَلَبَهُ الْيُسْرُ حَتَّى يَدْخُلَ، إِنَّهُ لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

"Seandainya kesulitan berada di sebuah lobang, niscaya kemudahan akan mengejarnya hingga masuk ke lobangi itu. Sesungguhnya, satu kesulitan tak kan dapat mengalahkan dua kemudahan."  

Para ahli tafsir berkata, "Makna 'satu kesulitan tak kan dapat mengalahkan dua kemudahan'. Karena Allah Ta'ala mengulangi kata (العسر) yang berarti kesulitan dalam bentuk ma'rifah (definitif, biasanya didahului ال), sedangkan Dia mengulangi kata (يسرا) yang berarti kemudahan dalam bentuk nakirah (non definitif, biasanya tidak didahului ال dan diakhiri tanwin). Kebiasaan masyaraat Arab adalah, jika menyebutkan kata dalam bentuk ma'rifah, lalu diulang utk kedua kalinya, maka kata yang kedua adalah sama dengan yang dimaksud dengan kata pertama. Adapun jika menyebut kata dalam bentuk nakirah dan kemudian diulang, maka disana ada dua macam. Maka (العسر) yang diulang dalam ayat di atas pada hakekatnya satu kesulitan, sedangkan (يسرا) yang diulang pada ayat di atas pada hakekatnya adalah dua kemudahan. Maka ayat tersebut maknanya adalah; Sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan, dan bersama kesulitan (yang sama) terdapat kemudahan yang lain.

Imam Syafii rahimahullah berkata;
صَبرا جَميلا ما أقرَبَ الفَرَجَا         مَن رَاقَب الله في الأُمُورِ نَجَا
Bersabarlah dengan teguh, kemudahan sudah sangat dekat
Siapa yang selalu dekat dengan Allah dalam setiap perkara, akan selamat.

مَنْ صَدَق الله لَم يَنَلْه أذَى     وَمَن رَجَاه يَكون حَيثُ رَجَا ...
Siapa yang jujur keimanannya kepada Allah, tak kan mendapat bahaya
Siapa yang berharap kepada-Nya, kan Dia penuhi harapannya.

(Sumber: [Du'at] Harapan Itu Bukan Hanya Masih Ada, Tapi Berlimpah……Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Baghawi)

Saturday, March 24, 2012

Jika otakmu penuh dengan harapan yang melangit, maka tak kan sempat memikirkan hal yang tak berguna...

Berikut saya copas taujih ustadz Anis Mata yang cukup menggugah...hingga patut kita renungkan agar kita tidak disibukkan oleh hal-hal kecil yang seharusnya tidak cukup bermutu untuk menggoyahkan prinsip hidup kita meraih SURGA-NYA...


Enteng benar Ummu Salamah menjawab pertanyaan Anas bin Malik. Pembantu Rasulullah SAW ini diam-diam mengamati sebuah kebiasaan Sang Rasul yang rada berbeda ketika beliau menemui Ummu Salamah dan ketika beliau menemui Aisyah.

Rasulullah SAW selalu secara langsung dan refleks mencium Aisyah setiap kali menemuinya, termasuk di bulan Ramadhan. Tapi, tidak begitu kebiasaan beliau saat bertemu Ummu Salamah. Nah, kebiasaan itulah yang ditanyakan Anas bin Malik kepada Ummu Salamah, yang kemudian dijawab begini: “Rasulullah SAW tidak dapat menahan diri ketika melihat Aisyah.”

Jawabannya Cuma begitu.
Penjelasannya sesederhana itu.
Datar. Yah, datar saja.

Seperti hendak menyatakan sebuah fakta tanpa pretensi. Sebuah fakta yang diterima sebagai suatu kewajaran tanpa syarat. Tanpa penjelasan.

Sudah begitu keadaannya, kenapa tidak?
Atau apa yang salah dengan fakta itu?
Apa yang harus dicomplain dari kebiasaan itu?

Itu sama sekali tidak berhubungan dengan harga diri yang harus membuat ia marah. Atau menjadi keberatan yang melahirkan cemburu. Mati rasakah ia? Hah? Tapi siapa berani bilang begitu?

Terlalu banyak masalah kecil yang menyedot energi kita. Termasuk banyak pertengkaran dalam keluarga. Sebab kita tidak punya agenda-agenda besar dalam hidup. Atau punya tapi fokus kita tidak ke situ. Jadi kaidahnya sederhana: kalau energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita segera tercurah kepada masalah-masalah kecil.

Karena mereka punya agenda besar dalam hidup, maka mereka tidak membiarkan energi mereka terkuras oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, kecuali untuk semacam “pelepasan emosi” yang wajar dan berguna untuk kesehatan mental.

Kehidupan mereka berpusat pada penuntasan misi kenabian di mana mereka menjadi bagian dari tim kehidupan Sang Nabi. Jadi masalah kecil begini lewat begitu saja. Tanpa punya bekas yang mengganggu mereka. Fokus mereka pada misi besar itu telah memberi mereka toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil berlalu dengan santai.

Fokus pada misi besar itu dimungkinkan oleh karena sejak awal akad kebersamaan mereka adalah janji amal. Sebuah komitmen kerja. Bukan sebuah romansa kosong dan rapuh. Mereka selalu mengukur keberhasilan mereka pada kinerja dan pertumbuhan kolektif mereka yang berkesinambungan sebagai sebuah tim.

Persoalan-persoalan mereka tidak terletak di dalam, tapi di luar. Mereka bergerak bersama dari dalam ke luar. Seperti sebuah sungai yang mengalir menuju muara besar: masyarakat. Mereka adalah sekumpulan riak yang menyatu membentuk gelombang, lalu misi kenabian datang bagai angin yang meniup gelombang itu: maka jadilah mereka badai kebajikan dalam sejarah kemanusiaan.

Cinta memenuhi rongga dada mereka.

Dan semua kesederhanaan, bahkan kadang kepapaan, dalam hidup mereka tidak pernah sanggup mengganggu laju aliran sungai mereka menuju muara masyarakat.

Mereka bergerak. Terus bergerak. Dan terus bergerak.

Dan romansa cinta mereka tumbuh kembang di sepanjang jalan perjuangan itu.

Kalau bukan kita siapa lagi ..??

Setahun yang lalu saya pernah bertanya kepada imam masjid LongGang, Chungli. Disaat yang berbeda pertanyaan yang sama saya lontarkan kepada imam masjid Kaohshiung. "Bagaimana perkembangan Islam di negeri FORMOSA ini?". Jawaban yang sama saya dapatkan dari beliau. Alih-alih mengalami perkembangan, malah justru mengalami penurunan. Dulu, 50 tahun yang lalu ada kurang-lebih 50.000 muslim taiwan. namun sekarang (2011) terjadi penurunan yang signifikan, total tinggal kurang lebih 2000 orang. Hah?? what a matter??. Alasan yang sama dilontarkan beliau-beliau ini...Apakah gerangan???
DAKWAH did not do or even left.
Saudaraku, yah... begitulah perjalanan Dakwah yang seharusnya tetap digelorakan dimuka bumi ini.
Memang, menghidupkan dakwah tidaklah mudah, butuh pengorbanan. Dan pengorbanannya tidak saja, harta, kesempatan, bahkan jiwa dan raga ini harusnya menyambut seruan dakwah.

Saya teringat taujih almarhum Rahmad Abdullah, dang Murobbi...
begini....
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.

Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.

Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi.

Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda
dibandingkan jihad yang begitu cantik.

Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi
kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya
besar.

Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… Mengajak kita untuk terus berlari…

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Kalau iman dan syetan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya
harus mengalah.

FHUHHHH!!!! Subhanallah....
NAH, KALAU TIDAK KITA yang memulai, SIAPA LAGI ???

Salam Ukhuwah...

Sunday, March 11, 2012

DEFENISI QADHA DAN QADAR SERTA KAITAN DI ANTARA KEDUANYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
PERTAMA : QADAR
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). [1]
Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai’ aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” [2]
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah: Qadha’ (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha’ (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara
.
Takdir adalah: Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. [3]
Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. [4]
Atau: Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya. [5]
Atau: Ilmu Allah, catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.
KEDUA : QADHA’
Qadha’, menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan.
Asal (makna)nya adalah: Memutuskan, memisahkan, menen-tukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyele-saikannya. Maknanya adalah mencipta. [6]
Kaitan Antara Qadha’ dan Qadar
1. Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit… .” [Fushshilat: 12]
Yakni, menciptakan semua itu.
Qadha’ dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha’. Barangsiapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. [7]
2. Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha’ ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. [8]
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.’” [9]
3. Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam (pengertian)nya.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnu Atsir, (IV/22).
[2]. Mu’jam Maqaayiisil Lughah, (V/62) dan lihat an-Nihaayah, (IV/23).
[3]. Lihat, Lisaanul ‘Arab, (V/72) dan al-Qaamuus al-Muhiith, hal. 591, bab qaaf - daal - raa’.
[4]. Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37.
[5]. Lawaami’ul Anwaar al-Bahiyyah, as-Safarani, (I/348).
[6]. Lihat, Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, hal. 441-442. Lihat pula, Lisaanul ‘Arab, (XV/186), al-Qaamuus, hal. 1708 bab qadhaa’, dan lihat, Maqaa-yiisil Lughah, (V/99).
[7]. Lisaanul ‘Arab, (XV/186) dan an-Nihaayah, (IV/78).
[8]. Al-Qadhaa’ wal Qadar, Syaikh Dr. ‘Umar al-Asyqar, hal. 27.
[9]. Fat-hul Baari, (XI/486).
[10]. Lihat, ad-Durarus Sunniyyah, (I/512-513).
Courtesy of almanhaj.or.id

Saturday, March 10, 2012

create a HPGL File for prototype

1.Open Pro-Eng
2.New è Part è OK
3.Click Extrude Tool
4.Click Placement è Define (to select pattern plane) è Click Front (on drawing area) è click sketch
5.Start to Draw, click rectangle/circle è click and hold center of axis than drag the mouse (to start drawing)
6.Click MIDDLE BUTTON of mouse è define the size
7.Click check button (on right bottom side of tools)
8.Define height
9.To see drawing in 3D, click and hold the middle button of mouse then drag it.
10. If everything is OK, click check button (green color) on top right side
11. File è Save a copy, Type of file is *.stl è OK
12.Click ASCII format, chord height=0 (will automatically set to minimum value) è ENTER
13.Click Apply è OK
14.Close Pro-Eng.
15.OPEN AUTO EDIT exe
16.Load new object è choose the *.STL  file (as we save it at step 11)
17.Click Edit Layer (L) menu è Slice Parameter (Cut pitch = 0.1 mean each layer will 0.1 mm) è ENTER
18.Click Edit Layer (L) menu è Slice Start
19.File è Save slice File (H) è Name of file è ENTER