Friday, September 30, 2011

AGAR ANDA BAHAGIA DENGAN SUAMI ANDA



Majdi Fathi Sayyid
1. Jangan membiarkan suami anda memandang dalam keadaan anda tidak
menggembirakannya. Wanita yang paling baik adalah wanita yang selalu
membuat suaminya bahagia.
2. Hendaklah senyum itu senatiasa menghiasi bibirmu setiap anda dipandang oleh
sang suami.
3. Perbanyaklah mencari keridhan suami dengan mentaatinya, sejauh mana
ketaatan anda kepada suami, sejauh itu pulalah dia merasakan cintamu
kepadanya dan dia akan segera menuju keridhaanmu.
4. Pilihlah waktu ynag tepat untuk meluruskan kesalahan suami.
5. Jadilah anda orang yang lapang dada, janganlah sekali-kali menyebut-nyebut
kekurangan suami anda kepada orang lain.
6. Perbaikilah kesalahan suami dengan segala kemampuan dan kecintaan yang
anda miliki, janganlah berusaha melukai perasaannya.
7. Janganlah memuji-muji laki-laki lain dihadapan suami kecuali sifat diniyah yang
ada pada laki-laki tersebut.
8. Jangan engkau benarkan ucapan negatif dari orang lain tentang suamimu.
9. Upayakan untuk tampil di depan suamimu dengan perbuatan yang disenanginya
dan ucapan yang disenanginya pula.
10. Berilah pengertian kepada suami anda agar dia menghormatimu dan saling
menghormati dalam semua urusan.
11. Anda harus selalu merasa senang berkunjung kepada kedua orang tuanya.
12. Janganlah anda menampakkan kejemuan padanya, jika terjadi kekurangan
materi Ingatlah bahwa apa yang ia berikan kepadamu sudah lebih dari cukup.
13. Biasakanlah anda tertawa bila ia tertawa, menangis dan bersedih jika ia
bersedih. Karena bersatunya perasaan akan melahirkan perasaan cinta kasih.
14. Diam dan perhatikanlah jika ia berbicara.
15. Janganlah banyak mengingatkan bahwa anda pernah meminta sesutu
kepadanya. Bahkan jangan diingatkan kecuali jika anda tahu bahwa ia mudah
untuk diingatkan.
16. Janganlah anda mengulangi kesalahan yang tidak disenangi oleh suami anda
dan ia tidak suka melihatnya.
17. Jangan lupa bila anda melihat suami anda shalat sunnah di rumah, hendaknya
anda berdiri dan ikut shalat dibelakangnya. Jika ia membaca, hendaknya anda
duduk mendengarkannya.
18. Jangan berlebih-l;ebihan berbicara tentang angan-angan pribadi di depan suami,
tetapi mintalah selalu agar ia menyebutkan keinginan pribadinya di depanmu.
Ummu Salma 1 dari 2 23/03/2007
http://www.ummusalma.wordpress.com
Maktabah Ummu Salma al-Atsariyah
19. Janganlah mendahulukan pendapatmu dari pendapatnya pada setiap masalah,
baik yang kecil maupun yang besar. Hendaklah cintamu kepadanya mendorong
anda mendahulukan pendapatnya.
20. Janganlah anada mengerjakan shaum sunnah kecuali dengan izinnya, dan
jangan keluar rumah kecuali dengan sepengetahuannya.
21. Jagalah rahasia yang disampaikan kepadamu dan janganlah menyebarkannya
sekalipun kepada kedua orang tuanya.
22. Hati-hati jangan sampai menyebut-nyebut bahwa anda lebih tinggi derajatnya
dari derajat suami. Hal itu akan mengundang kebencian kepadamu.
23. Jika salah satu dari orang tuanya sakit atau kerabatnya, maka anda punya
kewajiban untuk menjenguk bersamanya.
24. Sesuaikanlah peralatan rumah tangga anda dengan barang-barang yang
disenangi suami anda.
25. Jangan sampai anda meninggalkan rumah meskipun sedang bertengkar
dengannya.
26. Katakanlah kejemuan dan kebosananmu ketika ia sudah meninggalkan rumah.
27. Terimalah udzurnya ketika ia membatalkan janjinya untuk keluar bersamamu,
karena mungkin ia terpaksa memenuhi panggilan orang yang datang kepadanya.
28. Hindari sifat cemburu, sesungguhnya cemburu adalah senjata penghancur.
29. Janganlah mengabaikan pemimpinmu (suami) dengan alasan bahwa ia telah
menjadi suamimu.
30. Janganlah anda berbicara dengan sang suami, seakan-akan anda suci dan dia
berdosa.
31. Jagalah perasaannya, jangan gembira ketika dia sedang sedih dan jangan
menangis ketika dia gembira.
32. Perbanyaklah menyebut-nyebut keutamaan suami di hadapannya.
33. Perlihatkan kepada suamimu bahwa anda turut merasakan apa yng dirasakan
sang suami tatkala ia tidak berhasil mencapai maksud dan tujuannya.
34. Perbaharuilah (tekad suami) ketika terjadi kegagalan.
35. Jauhilah sifat dusta karena hal itu kanmenyakitkannya.
36. Ingatkanlah selalu pada suamimu bahwa anda tidak tahu (bagaimana nasib
anda) seandainya anda tidak dipersunting olehnya.
37. Ucapkanlah rasa syukur dan terima kasih pada waktu ia memberikan sesuau
kepadamu.
Sumber: “Nasehat kepada para Muslimah”, bagian kedua, Fathi Majdi as-Sayyid., Pustaka
Arafah, Cetakan I: April 2001/Muharram 1422H, hal.66-70

Thursday, September 29, 2011

Mari Bersatu, Itulah karakter Muslim Sejati


Suatu hari, di Masjid Nabawi, para sahabat sedang duduk berkumpul dan berbincang-bincang dengan akrab. Di salah satu bagian masjid, para sahabat yang berbincang-bincang itu adalah mereka yang tadinya berasal dari Kabilah Aus dan Khazraj.
Sungguh pemandangan yang sangat indah dan menenteramkan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah merekatkan hati yang sebelumnya tercerai-berai, memadamkan api dendam yang tadinya menyala-nyala, serta menumbuhkan benih-benih keharmonisan yang sebelumnya terkurung di kegelapan lipatan sekat-sekat perpecahan.
Aus dan Khazraj adalah dua kabilah yang pernah terlibat peperangan selama sekitar 120 tahun. Ada banyak perangyang mereka jalani. Yang paling terkenal adalah Perang Bu’ats. Pada perang ini, kemenangan silih berganti diraih oleh kedua pihak. Kemenangan di satu pihak artinya kekalahan di pihak lain.
Kekalahan berarti ada darah yang tertumpah, harta yang terampas, kehormatan yang dicederai, serta nyawa yang melayang. Semua itu menjadi alasan bagi masing-masing pihak untuk menuntut balas kepada pihak lawan, hingga peperangan terus berkobar selama puluhan tahun.
Tapi, semua dendam kesumat dan tuntutan itu sirna oleh cahaya Islam. Begitu mereka memeluk agama Islam, mereka bersumpah untuk menghilangkan semua permusuhan yang ada. Mereka pun hidup damai di bawah panji tauhid. Sungguh kenikmatan yang sangat berharga.
Cobaan pun tiba. Keindahan hidup berdampingan secara harmonis di antara kaum Mukminin dari beragam kabilah itu ternyata dimaknai berbeda oleh orang-orang Yahudi. Para pemuka Yahudi dan kaum munafik adalah orang-orang yang mendapat keuntungan besar dari peperangan yang berlangsung, mulai dari bisnis senjata hingga posisi politis.
Tercatat dalam sejarah bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh ternama yang ditunjuk sebagai mediator perdamaian, dan akhirnya diminta menjadi raja kedua kabilah. Ketika akhirnya pertikaian berhenti dengan sendirinya setelah kedua suku memeluk Islam, keberadaan Abdullah bin Ubay (kelak dikenal sebagai tokoh munafik) menjadi tidak lagi penting. Bisa dibayangkan dendam kesumat yang muncul di hati Abdullah bin Ubay terhadap Islam.
Karena itu, persatuan adalah ancaman buat mereka. Pemandangan harmonisnya kaum Mukminin sangat menyakiti hati mereka. Maka, tampillah Syas bin Qais, seorang tokoh Yahudi. Ia mendatangi orang-orang Aus dan Khazraj yang tengah asyik berbincang-bincang itu. Ia mengungkit luka lama dengan cara menanyakan kabar saudara dan kerabat dari masing-masing orang Aus dan Khazraj yang terluka atau yang meninggal dunia.
Ia juga mempertanyakan klaim atas harta yang dirampas pada peperangan dulu. Rupanya, kata-kata Syas ini mampu mempengaruhi kedua kelompok. Mereka kemudian masing-masing menyatakan bahwa memang masih ada utang nyawa yang belum terbayar dan masih ada harta yang belum dikembalikan.
Masing-masing pihak mulai tersulut api permusuhan. Awalnya hanya berupa kata-kata. Lama-lama, kedua kelompok siap menghunus senjata. Di Masjid Nabawi, persatuan di antara sesama ummat Islam siap tercabik-cabik. Saat itulah Rasulullah SAW datang.
“Aku masih ada di antara kalian, dan kalian mau kembali ke perilaku jahiliah kalian? Bukankah derajat kalian menjadi terangkat dengan datangnya Islam?” kata Rasulullah dengan wajah yang terlihat sangat marah. Lalu turunlah ayat 103 surat Ali Imran yang berbunyi:
Berpegang tegulahlah kalian semua kepada tali Allah, dan janganlah bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah kepada kahan ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian. lalu karena nikmat Allah itu, kalian menjadi orang-orang yang bersaudara. (Padahal sebelumnya) kalian telah berada di tepi jurang neraka (kemusnahan), lalu Allah menyelamatkan kalian dari bahaya itu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kalian mendapat petunjuk.”
Kedua kelompok menundukkan kepalanya. Mereka kemudian menangis dan meminta ampunan karena hampir-hampir saja termakan hasutan busuk. (tentang sebab-sebab turunnya ayat, lihat Tafsir Ibnu Katsir terkait ayat ini).
Ayat ini kemudian menjadi salah satu ayat yang paling sering diucapkan oleh para ulama sepanjang sejarah. Sebabnya sangat jelas. Jika kita mengenal adagium bahwa ‘sejarah itu terus berulang dengan instrumen yang sedikit berbeda’, tak pelak lagi, permasalahan ancaman terhadap 4 persatuan kaum Muslimin termasuk di antara hal yang terjadi secara berulang-ulang sampai sekarang.
Adanya pertikaian awal yang kemudian terus disulut oleh pihak-pihak yang dirugikan oleh keharmonisan ummat Islam tidak hanya terjadi pada zaman Nabi, melainkan terus berulang sampai hari ini, ketika ummat Islam disebut-sebut berada di gerbang kebangkitanya.
Gerbang Abad 15 Hijriah, yang sering disebut-sebut sebagai abad kebangkitan Islam, sudah terbuka tiga dekade yang lalu. Selama tiga dekade ini, dunia memang ; menyaksikan banyak sekali hal yang, berhasil dicapai kaum Muslimin untuk menunjukkan kebangkitannya.
Akan tetapi, tidak sedikit pula peristiwa yang menunjukkan keterpurukan ummat Islam, dari mulai belum lepasnya Palestina dari penjajahan Zionis Israel, peristiwa Perang Teluk, hingga pendudukan atas negeri Muslim Irak dan Afghanistan.
Di sisi lain, posisi Dunia Islam juga secara umum masih belum beranjak dari kelompok negara-negara Dunia Ketiga. Kemiskinan dan ketertinggalan masih menjadi stigma yang disematkan kepada negara-negara Muslim di dunia.
Mengapa demikian? Mengapa ummat Islam masih saja terpuruk dan belum menunjukkan gerakan signifikan yang menjadi indikasi kebangkitan hakiki dari ummat nabi akhir zaman? Semua sepakat bahwa salah satu permasalahan utama yang menyebabkan ummat Islam masih terpuruk ke dalam berbagai macam ketertinggalan itu adalah masih rentannya ummat ini dari isu-isu perpecahan.
Palestina bisa dijadikan contoh yang jelas dan aktual. Perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan memang sangat berat. Selain berhadapan dengan Zionis Israel, bangsa ini juga harus berjuang keras mencari jalan keluar atas adanya pertikaian keras di antara dua kelompok internal, yaitu Fatah dan HAMAS.
Dalam kasus terbaru, ketika kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan logistik dan makanan buat penduduk Gaza yang terblokade secara total, dan kapal tersebut mendapat serangan dari tentara Israel, sebagian besar ummat Islam tentu saja mengutuk tindakan biadab Israel itu.
Saat itu, media-media pemberitaan di Tanah Air kembali mengulas permasalahan laten Palestina. Tak kurang dari mantan Wapres Jusuf Kalla (kini Ketua PMI) yang menyatakan keprihatinannya sambil mengungkapkan bahwa bantuan apapun yang diberikan kepada bangsa Palestina selalu terkendala oleh pertikaian internal bangsa tersebut.
Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan bahwa dirinya telah dua kali mengingatkan Hamas dan Fatah agar segera mengakhiri persengketaan mereka yang menjadi syarat mudak kemerdekaan bangsaPalestina. Beliau juga menyinggung tindakan Mesir yang memblokade akses darat ke Gaza dan menyebutnya sebagai indikasi kuat sangat rapuhnya solidaritas di dunia Arab.
Irak dan Afghanistan juga didera permasalahan serupa. Di Irak, bom mobil yang meluluh-lantakkan masjid (Sunni atau Syiah) serta melenyapkan nyawa warga sipil tak berdosa sudah menjadi berita sehari-hari. Di Afghanistan, selama beberapa dekade terakhir ini, faksi-faksi terus bertikai.
Berbagai KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) hampir tidak pernah menghasilkan kesepakatan yang menunjukkan kebesaran Islam. Liga Arab atau Organisasi Negara-Negara Teluk juga menunjukkan watak organisasi yang sama.
Negara-negera Muslim lebih suka bersekutu dengan negara lain ketimbang dengan sesama negara Muslim lainnya. Persekutuan apapun yang mengatasnamakan Islam selalu saja rapuh. Ke manapun ummat Islam ini bergerak untuk maju selalu membentur dinding menjulang tinggi bernama perpecahan.
Sama seperti kejadian yang menimpa kabilah Aus dan Khazraj setelah mereka masuk Islam, benih perpecahan itu disulut oleh pihak luar yang dirugikan dengan keharmonisan kaum Muslim. Perpecahan itu ada yang membuatnya, dan karenanya harus dilawan. Perpecahan itu menjadi komoditas musuh yang harus dilenyapkan.
Sama seperti Kabilah Aus dan Khazraj yang diperintahkan oleh Allah untuk berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan sampai bercerai-berai, kaum Muslimin dunia saat ini juga mendapatkan seruan serupa. Mereka harus diingatkan kepada memori indahnya hidup harmonis. Dan, lebih dari segalanya, mereka harus diingatkan bahwa persatuan adalah salah satu perintah Allah – perintah yang seakan terlupakan – yang termasuk ke dalam kategori wajib.
Tak seorang ulama pun yang membantah bahwa perintah bersatu pada ayat 103 surat Ali Imran itu hukumnya semakin tinggi mengingat perintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah (wa’tashimuu bi hablillati) langsung disusul dengan larangan tegas untuk bercerai-berai (wa laa tafarmquu). Sangat jarang sebuah perintah dalam Al Quran disampaikan dengan redaksi dua kalimat berturut-turut: perintah melakukannya dan larangan untuk melakukan hal sebaliknya.
Agar bisa mengimplementasikan kewajiban itu, ummat Islam bukannya tidak punya peluang. Berkat rahmat Allah yang Mahakasih, kita sebenarnya punya modal yang sangat besar, yang beberapa di antaranya tidak dimiliki oleh kelompok agama besar lainnya. Pertama, seluruh mazhab dan kelompok di dalam Islam memiliki prinsip dan rukun iman atau aqidah yang sama, seperti kepercayaan kepada tauhid, kenabian, kitab suci, dan hari akhir.
Selain itu, mereka juga meyakini hal-hal yang sama menyangkut rukun Islam. Semua sepakat tentang wajibnyashalatzakatpuasahaji, berjihad, dan sebagainya. Semua kelompok juga sepakat tentang haramnya berzina, minum khamar, mencuri, dan sebagainya
Bahkan, ummat Islam dari beragam golongan ini melaksanakan tata-cara beribadah dengan aturan yang secara umum sama. Contohnya adalah haji. Tidak ada satupun kelompok atau madzhab yang punya pendapat bahwa untuk berhaji kita diperbolehkan melaksanakannya di tempat selain Mekah. Juga shalat, semua sepakat bahwa shalat itu menghadap kiblat (Ka’bah).
Hal lain yang mempersatukan ummat Islam adalah yang terkait dengan ajaran akhlak. Semua kelompok dan madzhab sepakat bahwa rendah hati, bertutur sopan, dan peduli terhadap sesama adalah ajaran agama. Tidak ada satupun kelompok yang memiliki keyakinan sebaliknya.
Menarik untuk diperhatikan bahwa , meskipun secara formal ummat Islam ini terkotak-kotak ke dalam berbagai kelompok, partai, faksi, dan negara, akan tetapi, mereka memiliki kesamaan dalam hal pandangan politik secara umum. Kaum Muslimin sepakat bahwa bangsa Palestina adalah saudara sesama agama yang tertindas akibat penjajahan Zionis Israel.
Bahkan mereka secara umum memiliki pandangan yang sama bahwa dalam hal Palestina, negara adidaya Amerika Serikat telah bertindak tidak adil. Untuk itulah para pejabat tinggi AS, terutama di zaman George W. Bush, selalu menjadi sasaran demo kaum Muslimin.
Landasan teologis sudah diletakkan. Modal untuk mewujudkannya sudah tersedia. Para ulama juga sudah melakukan sejumlah perintisan dalam rangka meletakkan dasar-dasar taqrib bayna al madzahib (pendekatan antar mazhab).
Adalah tugas kita semua untuk tetap menyalakan api semangat pendekatan dan ukhuwah di antara seluruh kaum Muslimin, dan kemudian menerjemahkan semangat itu dalatn bentuk langkah-langkah kongkret.
Sumber: Buletin Yayasan Muslim Indonesia Bersatu, Edisi Perdana April 2011

Wednesday, September 28, 2011

Mari Berbagi Kebahagiaan dengan Saudara kita.

Bismillah, Alhamdulillah, la haula walaa quwwata illa billah,
Allahumma sholli 'alaa wa aalihi sayyidinaa Muhammad SAW, wa ba'dah.


Adalah suatu keniscayaan bagi kita seorang muslim menjadi bagian dari muslim yang lain. karena Allah telah mentakdirkan, yang sudah seharusnya takdir itu kita ridhoi dan ta'ati, bahwa antara muslim yang satu dengan yang lain adalah saudara. Allah SWT berfirman: "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat" QS Al Hujurat:10. 
Yang namanya saudara, tentu ada ikatan persaudaraan antara keduanya. Ikatan persaudaraan itu akan menjadi kuat manakala disupport oleh ikatan hati. Dan ikatan hati yang paling kuat adalah ikatan hati yang timbul karena keimanan.
QS 58-Mujadilah:22 "Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung."
Oleh karena itu, pantas juga lah jika Rasulullah SAW juga menekankan dengan logika berpikir yang dibalik bahwa, "tidak sempurna iman seseorang bilamana tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri". Kalau Alqur'an menyatakan tidak akan mungkin orang beriman itu bersaudara (berkasihsayang) dengan orang fasik/kafir, sementara Rasulullah menyatakan tidak sempurna iman seseorang bila tidak berkasih-sayang/bersaudara dengan orang yang seiman. 



Nah, bagaimana menjalin persaudaraan itu? 
Dimulai dengan ta'arruf, tafahum, ta'awun dan takafful.
Dalam konteks peran, dalam ke-syumuliatul islam, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal kemampuan/kompetensi. maka sudah menjadi tanggung jawab kita menegakkan islam secara jam'ai dan berbagi peran. Mengingat dalam konteks peran kita sejatinya memiliki peran yang sama, selain sebagai seorang hamba juga sebagai khalifah. namun potensi dan kompetensi dari masing-masing kita berbeda, sehingga peran bersama tersebut perlu dibagi-bagi sesuai dengan komptetensinya.
namun yang menjadi kendala adalah, bagaimana menyatukan, mensinergikan gerak langkah untuk membangun kebersamaan agar dinul islam ini benar-benar tegak dibumi Allah.
maka cara yang dapat ditempuh adalah membangun persaudaraan, dimulai dari tahap yang paling sederhana, ta'arruf...lalu tafahum...ta'awun dan takafful. Sholat berjamaah, makan bersama, rihlah bersama, adalah menjadi bagian penting dalam proses membangun persaudaraan tersebut.


Bahkan terhadap orang lain selain muslim pun kita harus santun dan menunjukkah akhlak terpuji. Kita ingat kisah rasulullah dan buah limau seorang wanita non muslim:


Wanita itu membawa beberapa biji buah limau sebagai hadiah untuk Rasulullah. Cantik sungguh buahnya. Siapa yg melihatnya terlihat pasti tegiur ingin memakannya. Rasulullah menerimanya dengan senyuman gembira.Hadiah itu dimakan oleh Rasulullah Rasulullah SAW sebuah demi sebuah dengan senyuman. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW ketika memakan sesuatu selalu berbagi dg para sahabatnya. namun kali ini tidak. Tidak sebuah pun limau itu diberikan kepada mereka. Rasulullah SAW terus makan. Setiap kali mengunyah dengan senyuman, hinggalah habis semua limau itu. Kemudian wanita itu mohon diri untuk pulang, diiringi ucapan terima kasih dari Rasulullah. Sahabat-sahabat agak heran dengan sikap Rasulullah SAW itu. Lalu mereka bertanya atas apa yg dilakukan Rasulullah. Dengan senyuman Rasulullah menjelaskan 'Tahukah kamu, sebenarnya buah limau itu terlalu masam ketika saya merasakannya pertama kali. Sekiranya kalian turut makan bersama, saya khawatir ada di antara kalian yang akan akan mengenyitkandahhi & mata nya atau memarahi wanita tersebut. Saya khawatir hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya'. Subhaanallah..!

Thursday, September 22, 2011

Faedah Puasa Syawwal


Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” [1]
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »
Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
  1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
  2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
  3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
  4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.

Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.[8]
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ’Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, ”Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, ”Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ’Aisyah radhiyallahu ’anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
”Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir ”Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: ”Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja[14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ’ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).[15]
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, ”Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. ... Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh www.rumaysho.com


[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.
[3] QS. Al An’am ayat 160.
[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]
[7] -idem-
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]
[9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.
[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.
[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.