Monday, March 21, 2016

Ada seorang Atheis yg memasuki sebuah masjid, dia mengajukan 3 pertanyaan yg hanya boleh dijawab dengan akal. Artinya tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikutnya, jika menggunakan dalil (naqli) maka justru diskusi ini tidak akan menghasilkan apa-apa…
Pertanyaan atheis itu adalah:
1. Siapa yg menciptakan Allah?? Bukankah semua yg ada di dunia ada karena ada penciptanya?? Bagaimana mungkin Allah ada jika tidak ada penciptanya??
2. Bagaimana caranya manusia bisa makan dan minum tanpa buang air?? Bukankah itu janji Allah di Syurga?? Jangan pakai dalil, tapi pakai akal….
3. Ini pertanyaan ketiga, kalau iblis itu terbuat dari Api, lalu bagaimana bisa Allah menyiksanya di dalam neraka?? Bukankah neraka juga dari api??
Tidak ada satupun jamaah yg bisa menjawab, kecuali seorang pemuda.
Pemuda itu menjawab satu per satu pertanyaan sang atheis :
1. Apakah engkau tahu, dari angka berapakah angka 1 itu berasal?? Sebagaimana angka 2 adalah 1+1 atau 4 adalah 2+2?? Atheis itu diam membisu..
“Jika kamu tahu bahwa 1 itu adalah bilangan tunggal. Dia bisa mencipta angka lain, tapi dia tidak tercipta dari angka apapun, lalu apa kesulitanmu memahami bahwa Allah itu Zat Maha Tunggal yg Maha mencipta tapi tidak bisa diciptakan??”
2. Saya ingin bertanya kepadamu, apakah kita ketika dalam perut ibu kita semua makan? Apakah kita juga minum? Kalau memang kita makan dan minum, lalu bagaimana kita buang air ketika dalam perut ibu kita dulu?? Jika anda dulu percaya bahwa kita dulu makan dan minum di perut ibu kita dan kita tidak buang air didalamnya, lalu apa kesulitanmu mempercayai bahwa di Syurga kita akan makan dan minum juga tanpa buang air??
3. Pemuda itu menampar sang atheis dengan keras. Sampai sang atheis marah dan kesakitan. Sambil memegang pipinya, sang atheis-pun marah-marah kepada pemuda itu, tapi pemuda itu menjawab : “Tanganku ini terlapisi kulit, tanganku ini dari tanah..dan pipi anda juga terbuat dari kulit dari tanah juga..lalu jika keduanya dari kulit dan tanah, bagaimana anda bisa kesakitan ketika saya tampar?? Bukankah keduanya juga tercipta dari bahan yg sama, sebagaimana Syetan dan Api neraka??
Sang athies itu ketiga kalinya terdiam…
Sahabat, pemuda tadi memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak semua pertanyaan yg terkesan mencela/merendahkan agama kita harus kita hadapi dengan kekerasan. Dia menjawab pertanyaan sang atheis dengan cerdas dan bernas, sehingga sang atheis tidak mampu berkata-kata lagi atas pertanyaannya..
Itulah pemuda yg Islami, pemuda yg berbudi tinggi, berpengtahuan luas, berfikiran bebas…tapi tidak liberal… tetap terbingkai manis dalam indahnya Aqidah…
Ada yg berkata bahwa pemuda itu adalah Imam Abu Hanifah muda. Rahimahullahu Ta’ala…

Thursday, January 23, 2014

Qunut Shubuh Berdasarkan Kitab Al-Adzkar An-Nawawi (Madzhab Syafi’i)

Berikut ini kami sajikan penjelasan Al Imam An-Nawawi rahimahullah mengenai mas’alah pelaksanaan Qunut pada raka’at kedua sholat shubuh yang kami kutip dari Kitab Al-Adzkar karangan beliau rahimahullah. Mudah-mudahan apa yang kami sajikan dalam artikel ini dapat menjawab masalah-masalah tentang dalil-dalil shohih pelaksanaan qunut di waktu sholat shubuh.

اعلم أن القنوتَ في صلاة الصبح سنّة للحديث الصحيح فيه‏: عن أنس رضي اللّه عنه : أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا . رواه الحاكم أبو عبد اللّه في كتاب الأربعين، وقال‏:‏ حديث صحيح‏.‏‏

I’lam (ketahuilah) bahwa Qunut shubuh adalah sunnah berdasarkan hadits yang shahih dari Anas –radliyallahu ‘anh-, bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah meninggalkan qunut shubuh sampai beliau berpisah dari dunia (wafat)”, hadits riwayat Imam al-Hakim Abu Abdullah didalam kitab al-‘Arbain”, Ia berkata : Hadits ini shahih.  

واعلم أن القنوت مشروع عندنا في الصبح وهو سنّة متأكدة، لو تركه لم تبطل صلاته لكن يسجد للسهو سواء تركه عمداً أو سهواً‏.‏ وأما غير الصبح من الصلوات الخمس فهل يقنت فيها‏؟‏ فيه ثلاثة أقوال للشافعي رحمه اللّه تعالى‏:‏ الأصحُّ المشهورُ منها أنه إن نزل بالمسلمين نازلة قنتوا، وإلا فلا‏.‏ والثاني‏:‏ يقنتون مطلقاً‏.‏ والثالث‏:‏ لا يقنتو مطلقاً، واللّه أعلم‏.‏

Wa ’lam (dan ketahuilah), Qunut shubuh adalah masyru’ (disyariatkan) dalam pandangan kami (Syafi’iyah), hukumnya adalah sunnah muakkad, apabila meninggalkannya tidak membatalkan shalat tetapi sunnah melakukan sujud syahwi baik karena disengaja ataupun karena lupa. Adapun selain shalat shubuh dari shalat-shalat Maktubah, apakah ada qunut didalamnya ? Dalam hal ini terdapat 3 qaul dalam madzhab Imam Syafi’i –rahimahullah ta’alaa- ; Pertama, pendapat yang shahih yang masyhur adalah apabila kaum Muslimin di timpa bencana maka qunut nazilah, jika tidak maka tidak ada qunut pada shalat maktubah selain shalat shubuh. Kedua, berqunut secara mutlak pada shalat maktubah walaupun selain shalat shubuh. Ketiga, tidak ada qunut secara mutlak pada shalat maktubah selain shubuh. Wallahu A’lam.

ويستحبُّ القنوت عندنا في النصف الأخير من شهر رمضان في الركعة الأخيرة من الوتر، ولنا وجه أن يقنت فيها في جميع شهر رمضان، ووجه ثالث في جميع السنة وهو مذهبُ أبي حنيفة، والمعروف من مذهبنا هو الأوّل، واللّه أعلم

Disunnahkan berqunut dalam pandangan kami (Syafi’iyyah) pada separuh akhir bulan Ramadhan pada raka’at terakhir dari shalat witir, ada juga pendapat yang berqunut pada seluruh bulan Ramadhan, dan juga pendapat, berqunut pada seluruh shalat sunnah dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan yang bagus (ma’ruf) dari madzhab kami (Syafi’iyyah) adalah yang pertama. Wallahu A’lam.

‏ اعلم أن محل القنوت عندنا في الصبح بعد الرفع من الركوع في الركعة الثانية‏.‏ وقال مالك رحمه اللّه‏:‏ يقنت قبل الركوع‏.‏ قال أصحابنا‏:‏ فلو قنت شافعي قبل الركوع لم يُحسبْ له على الأصحّ، ولنا وجه أن يحسب، وعلى الأصحّ يعيده بعد الركوع ويسجد للسهو، وقيل لا يسجد ،

Ketahuilah, bahwa posisi melakukan qunut shubuh menurut kami adalah setelah berdiri dari ruku’ pada raka’at kedua. Imam Malik –rahimahullah- berkata : “(posisi) berqunut adalah sebelum ruku”. Anshab kami (ulama-ulama syafi’iiyah kami) : walaupun Syafi’i berqunut sebelum ruku’ namun itu tidak di hitung menurut pendapat yang ashah, dan bagi kami berpendapat agar hal itu di hitung sebagai qunut, dan menurut pendapat yang ashah mengulangi qunutnya setelah ruku’ dan melakukan sujud syahwi. Dan dikatakan (qil) : tidak perlu sujud syahwi.”

وأما لفظه فالاختيار أن يقول فيه‏:‏ ما رويناه في الحديث الصحيح في سنن أبي داود والترمذي والنسائي وابن ماجه والبيهقي وغيرها بالإِسناد الصحيح، عن الحسن بن عليّ رضي اللّه عنهما قال‏:‏ علّمني رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم كلماتٍ أقولُهُنَّ في الوتر‏:‏ ‏”‏اللَّهُمَّ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وعَافِني فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلّني فِيمَن تَوَلَّيْتَ، وبَارِكْ لِي فِيما أَعْطَيْتَ، وَقِني شَرَّ ما قَضَيْتَ، فإنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنا وَتَعالَيْتَ‏”‏‏.‏ قال الترمذي‏:‏ هذا حديث حسن، قال‏:‏ ولا نعرف عن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم في القنوت شيئاً أحسن من هذا‏.‏ وفي رواية ذكرها البيهقي أن محمد بن الحنفية، وهو ابن علي بن أبي طالب رضي اللّه عنه قال‏:‏ إن هذا الدعاء هو الدعاء الذي كان أبي يدعو به في صلاة الفجر في قنوته‏.‏ ويستحبُّ أن يقولَ عقيب هذا الدعاء‏:‏ اللَّهُمَّ صَلّ على مُحَمَّدٍ وعلى آلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّم، فقد جاء في رواية النسائي في هذا الحديث بإسناد حسن ‏”‏وَصَلَى اللَّهُ على النَّبِيّ‏”‏‏.‏

Dan adapun lafadz Qunut, maka yang telah di pilih (yang baik) adalah mengatakan sebagaimana kami meriwayatkannya didalam hadits yang shahih dalam kitab Sunan Imam Abi Daud, Imam at-Turmidzi, Imam an-Nasaa’i, Imam Ibnu Majah, Imam al-Baihaqiy dan selainnya dengan isnad yang shahih, dari al-Hasan bin ‘Ali –radliyallahu ‘anhumaa- berkata : Rasulullah mengajarkan kepadaku kalimat yang dibaca dalam shalat witir ;

اللَّهُمَّ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وعَافِني فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلّني فِيمَن تَوَلَّيْتَ، وبَارِكْ لِي فِيما أَعْطَيْتَ، وَقِني شَرَّ ما قَضَيْتَ، فإنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنا وَتَعالَيْتَ

Imam at-Turmidzi berkata : hadits ini hasan. Ia berkata : kami tidak mengetahui redaksi qunut yang berasal dari Nabi yang lebih bagus dari ini. Dan dalam riwayat lain, Imam al-Baihaqiy menuturkannya bahwa Muhammad bin al-Hanafiyah, yaitu Ibnu ‘Ali bin Abi Thalib –radliyallahu ‘anh- berkata : “sesungguhnya do’a ini adalah do’a yang ayahku berdo’a dengannya pada shalat shubuh didalam qunutnya”. Dan disunnahkan untuk menyambungnya dengan do’a (shalawat) ini : (اللَّهُمَّ صَلّ على مُحَمَّدٍ وعلى آلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّم). Sungguh dalam riwayat Imam an-Nasaa’i tentang hadits do’a qunut yang sanadnya hasan terdapat lafadz (وَصَلَى اللَّهُ على النَّبِيّ‏) .

قال أصحابنا‏:‏ وإن قنت بما جاء عن عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه كان حسناً، وهو أنه قنت في الصبح بعد الركوع فقال‏:‏ ‏”‏ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُد، ولَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ‏.‏ اللَّهُمَّ عَذّبِ الكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقاتِلُونَ أوْلِيَاءَكَ‏.‏ اللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِناتِ والمُسْلِمِيَ والمُسْلِماتِ، وأصْلِح ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِم الإِيمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ على مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم، وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذي عاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ على عَدُّوَكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلهَ الحَقّ وَاجْعَلْنا مِنْهُمْ وهو موقوف صحيح موصول

Ashhab kami berkata : “Berqunut dengan redaksi dari Umar bin Khattab –radliyallahyu ‘anh- adalah bagus, dan beliau berqunut di dalam shubuh setelah ruku’, kemudian berkata (berdo’a) :

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُد، ولَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ‏.‏ اللَّهُمَّ عَذّبِ الكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقاتِلُونَ أوْلِيَاءَكَ‏.‏ اللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِناتِ والمُسْلِمِيَ والمُسْلِماتِ، وأصْلِح ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِم الإِيمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ على مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم، وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذي عاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ على عَدُّوَكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلهَ الحَقّ وَاجْعَلْنا مِنْهُمْ

Do’a tersebut adalah hadits mauquf yang shahih serta bersambung (maushul.)

‏.‏ ……قال أصحابنا‏:‏ يستحبّ الجمع بين قنوت عمر وما سبق، فإن جمع بينهما فالأصحّ تأخير قنوت عمر، وإن اقتصر فليقتصر على الأوّل، وإنما يُستحبّ الجمع بينهما إذا كان منفرداً أو إمامَ محصورين يرضون بالتطويل، واللّه أعلم‏.‏

Ashhab kami berkata : “disunnahkan mengumpulkan antara qunut Umar dan qunut yang sebelumnya, maka apabila mengumpulkan keduanya, yang ashah adalah mengakhirkan qunut ‘Umar. Apabila mencukupkannya (membaca salah satunya), maka dengan yang pertama. Sesungguhnya disunnahkan mengumpulkan keduanya apabila shalat sendirian atau ketika menjadi Imam yang diridloi dengan panjangnnya bacaaan. Wallahu ‘Alam.

واعلم أن القنوت لا يتعين فيه دعاء على المذهب المختار، فأيّ دعاء دعا به حصل القنوت ولو قَنَتَ بآيةٍ أو آياتٍ من القرآن العزيز وهي مشتملة على الدعاء حصل القنوت، ولكن الأفضل ما جاءت به السنّة‏.‏ وقد ذهب جماعة من أصحابنا إلى أنه يتعين ولا يجزىء غيره

Dan ketahuilah, sesungguhnya qunut tidak ada ketentuan do’a yang khusus didalamnya atas pendapat yang terpilih (qaul mukhtar), maka berdo’a dengan do’a tertentu (apa saja) itu sudah merupakan Qunut, walaupun juga hanya dengan satu ayat atau beberapa ayat al-Qur’an yang terdiri dari do’a, hal itu sudah bisa di sebut Qunut, tetapi yang lebih utama adalah apa yang berasal dari sunnah. Dan jama’ah dari ashhab kami memilih pendapat yang menentukannya dan tidak mencukupi dengan selainnya.

واعلم أنه يستحبّ إذا كان المصلِّي إماماً أن يقول‏:‏ اللَّهمّ اهدِنا بلفظ الجمع وكذلك الباقي، ولو قال اهدني حصل القنوت وكان مكروهاً، لأنه يكره للإِمام تخصيص نفسه بالدعاء‏.‏ وروينا في سنن أبي داود والترمذي، عن ثوبان رضي اللّه عنه قال‏:‏ قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏”‏لا يَؤُمَّنَّ عَبْدٌ قَوْماً فَيَخُصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ، فإنْ فَعَلَ فَقَدْ خانَهُمْ‏”‏ قال الترمذي‏:‏ حديث حسن‏

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya disunnahkan ketika menjadi Imam supaya berdoa ; “Allahummah dinaa (berikanlah petunjuk kepada kami)” dengan keseluruhan lafadz dan demikian juga sebelumnya. Walaupun berdo’a “Allahumma dinii (berikanlah pentunjukan kepadaku)” tetap dinamakan qunut namun itu makruh, karena bagi seorang Imam memang dimakruhkan mengkhususkan do’a bagi dirinya sendiri. Dan kami meriwayatkan didalam kitab Sunan Imam Abi Daud dan Imam at-Turmidzi, dari Tsauban –radliyallahu ‘anh- berkata ; Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salllam bersabda : “Seorang hamba dalam sebuah kaum tidak dipandang beriman, apabila mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri tanpa menyertakan yang lainnya (mereka), maka apabila melakukan yang demikian, sungguhnya telah mengkhianati mereka”. Imam at-Turmidzi berkata : hadits ini hasan.”

اختلف أصحابنا في رفع اليدين في دعاء القنوت ومسح الوجه بهما على ثلاثة أوجه‏:‏ أصحّها أنه يستحبّ رفعهما ولا يمسح الوجه‏.‏ والثاني‏:‏ يرفع ويمسحه‏.‏ والثالث‏:‏ لا يمسحُ ولا يرفع‏.‏ واتفقوا على أنه لا يمسح غير الوجه من الصدر ونحوه، بل قالوا‏:‏ ذلك مكروه‏.‏

Ashhab kami berselisih perihal mengangkat tangan ketika do’a qunut dan mengusap wajah dengan kedua tangan kepada 3 pendapat; pertama, yang ashah adalah disunnahkan mengangkat kedua tangan namun tidak mengusap wajah. kedua, disunnahkan mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah, dan ketiga, tidak disunnahkan mengangkat tangan dan juga disunnahkan mengusap wajah. Ulama bersepakat atas tidak mengusapkannya kepada selian wajah, seperti dada atau selainnya, bahkan Ulama memakruhkannya.

وأما الجهر بالقنوت والإِسرار به فقال أصحابنا‏:‏ إن كان المصلي منفرداً أسرّ به، وإن كان إماماً جهر على المذهب الصحيح المختار الذي ذهب إليه الأكثرون‏.‏ والثاني أنه يسرّ كسائر الدعوات في الصلاة‏.‏ وأما المأموم فإن لم يجهر الإِمام قنت سرّاً كسائر الدعوات، فإنه يوافق فيها الإمام سرّاً‏.‏ وإن جهر الإِمام بالقنوت فإن كان المأموم يسمعه أمَّن على دعائه وشاركه في الثناء في آخره، وإن كان لا يسمعه قنت سرّاً، وقيل يؤمِّن، وقيل له أن يشاركه مع سماعه، والمختار الأوّل‏.‏

Perihal men-jahar-kan (mengeraskan) bacaan qunut dan men-sirr-kannya (tidak mengeraskan/pelan), ashhab kami berkata ; apabila mushalli sendirian maka di-sirr-kan, apabila menjadi imam shalat men-jahar-kannya menurut pendapat yang shahih yang telah di pilih yang juga banyak dipegang oleh banyak ulama. kedua, men-sirr-kan sebagaimana do’a-do’a didalam shalat. Adapun ketika imam tidak men-jahar-kan qunut, makmum membaca dengan men-sirr-kannya sebagaimana do’a didalam shalat, karena menyesuaikan dengan bacaan sirr imam. Ketika imam menjaharkan bacaan qunut dan makmum mendengarnya maka makmun mengucapkan amin atas do’anya Imam dan bersama-sama memuji Allah pada akhir qunut, namun apabila tidak mendengarkan bacaaan imam maka makmum men-sirr-kan bacaannya, dikatakan juga ; makmuk tetap mengucapkan amin. Dan juga dikatakan ; makmum bersama membaca qunut pada apa yang didengarnya. Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang pertama.

وأما غير الصبح إذا قنت فيها حيث نقول به، فإن كانت جهريّة وهي المغرب والعشاء فهي كالصبح على ما تقدّم، وإن كانت ظهراً أو عصراً فقيل يُسرّ فيها بالقنوت، وقيل إنها كالصبح‏.‏ والحديث الصحيح في قنوت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم على الذين قتلوا القرَّاء ببئر معونة يقتضي ظاهرُه الجهرَ بالقنوت في جميع الصلوات، ففي صحيح البخاري في باب تفسير قول اللّه تعالى‏:‏ ‏{‏لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ‏}‏ آل عمران‏: عن أبي هريرة‏:‏ أن النبيَّ صلى اللّه عليه وسلم جَهَرَ بالقنوت في قنوت النازلة ‏

Selain shalat shubuh apabila didalamnya terdapat qunut, maka apabila men-jahar-kannya adalah pada shalat maghrib dan isya’ sebagaimana shalat shubuh, namun apabila pada shalat dluhur atau ‘ashar, maka dikatakan : “men-sirr-kan qunutnya”, dan dikatakan : “di-jahar-kan seperti shalat shubuh”. Dan hadits yang shahih tentang qunut yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk sahabat ahli Qura’ yang terbunuh di sumur Ma’unah, yang dhahirnya menunjukkan men-jahar-kan qunut pada seluruh shalat , dan didalam Shahih al-Bukhari pada bab tafsir tentang firman Allah {Laysa laka minal amri Syai’un}, dari Abu Hurairah : bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam men-jahar-kan bacaan qunut pada saat melakukan qunut nazilah”.
Dinukil dari Kitab al-Adzkar hal. 57-59, karangan Imam al-Hafidz al-Hujjah al-Muhaddits al-Faqih Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i, Syaikhul Madzahib wa Kabirul Fuqaha’ fiy zamanihi, cet. toko Kitab al-Hidayah, Jl. Sasak No. 75 Surabaya – Indonesia.
Semoga bermanfaat.

Dalil tentang do'a Qunut

QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH, PENDAPAT TERKUAT ULAMA SALAF

Pada dasarnya persoalan membaca qunut atau tidak dalam shalat shubuh telah menjadi perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang shaleh. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, membaca qunut tidak disunnahkan dalam shalat shubuh. Sementara menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i, membaca qunut disunnahkan dalam shalat shubuh.
Kedua pendapat tersebut, baik yang mengatakan sunnah atau tidak, sama-sama berdalil dengan hadits-hadits Rasulullah SAW. 

Hanya pendapat yang satunya berpandangan bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca qunut itu lebih kuat. Sementara pendapat yang satunya lagi berpendapat bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut justru yang lebih kuat. Jadi pandangan kaum Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa membaca qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah salah dan tidak benar. Nah untuk menjernihkan persoalan ini, marilah kita kaji dalil tentang qunut ini dari perspektif ilmu hadits.

Sebagaimana dimaklumi, pandangan Imam al-Syafi’i yang menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits, karena agumentasinya lebih kuat dari perspektif ilmu hadits. Terdapat beberapa hadits yang menjadi dasar Imam al-Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh.

Dalil Pertama:

عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا. (رواه مسلم في صحيحه).
“Dari Muhammad bin Sirin, berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab: “Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Muslim, hadits no. 1578).

Dalil Kedua:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والدارقطني والبيهقي وغيرهم بإسناد صحيح).
“Dari Anas bin Malik, berkata: “Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat fajar (shubuh) sampai meninggalkan dunia.” (HR. Ahmad [3/162, al-Daraquthni [2/39], al-Baihaqi [2/201] dan lain-lain dengan sanad yang shahih.

Hadits di atas juga dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/504]. Beliau berkata: “Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.”

Sebagian kalangan ada yang mendha’ifkan hadits di atas dengan alasan, di dalam sanadnya terdapat perawi lemah bernama Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru. Karena Abu Ja’far al-Razi dinilai lemah oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, dalam riwayatnya dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits di atas, Abu Ja’far meriwayatkan tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi melalui jalur al-Rabi’ bin Anas. Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini dinilai shahih.

Dalil Ketiga:

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ آَخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ. (رواه ابن نصر في قيام الليل بإسناد صحيح).
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun dari ruku’ dalam shalat shubuh pada rakaat akhir, selalu membaca qunut.” (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitab Qiyam al-Lail [137] dengan sanad yang shahih).

Demikianlah ketiga hadits di atas yang dijadikan dalil oleh al-Imam al-Syafi’i dan pengikutnya. Sementara sebagian ulama yang tidak menganjurkan qunut dalam shalat shubuh, berdalil dengan hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ. (رواه مسلم في صحيحه)
“Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah SAW membaca qunut selama satu bulan, di dalamnya mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR. Muslim, hadits no. 1586).

Dalam hadits shahih di atas, ternyata Rasulullah SAW membaca qunut hanya satu bulan, kemudian sesudah itu meninggalkannya. Menanggapi hadits tersebut, para ulama ahli hadits berpendapat, bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat shubuh sampai wafat. Karena yang dimaksud dengan hadits terakhir di atas adalah, Rasulullah SAW melaknat atau mendoakan keburukan dalam qunut bagi beberapa suku Arab itu hanya satu bulan, setelah itu beliau tidak melaknat lagi, tetapi bukan berarti Rasulullah SAW meninggalkan qunut. Beliau membaca qunut dalam shalat shubuh sampai wafat sebagaimana beberapa riwayat sebelumnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra.

Oleh karena, pendapat yang menetapkan qunut shubuh, lebih kuat dari segi dalil, maka pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf. Dalam konteks ini, al-Imam al-Hafizh al-Hazimi berkata dalam kitabnya al-I’tibar fi Bayan al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar (hal. 90):

وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ :فَذَهَبَ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوتِ ، فَمِمَّنْ رُوِّينَا ذَلِكَ عَنْهُ مِنَ الصَّحَابَةِ : الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ : أَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ ، وَعُثْمَانُ ، وَعَلِيٌّ ، وَمِنَ الصَّحَابَةِ : عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ، وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ.
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat shubuh. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya dari para ulama berbagai kota berpendapat menetapkan qunut. Di antara para sahabat yang diriwayatkan kepada kami membaca qunut adalah; Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Demikian pula Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abi Bakar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, al-Bara’ bin Azib, Anas bin Malik ....”.

Setelah memaparkan bahwa membaca qunut diikuti oleh mayoritas ulama, al-Hazimi kemudian menguraikan bahwa pandangan yang menafikan qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh sekelompok ulama dengan alasan bahwa hukum membaca qunut dalam shalat shubuh telah dimansukh (dihapus hukumnya). 

Selanjutnya al-Hazimi membantah dengan tegas pendapat yang menafikan qunut tersebut dari aspek ilmu hadits dan ushul fiqih.
Pada dasarnya, pendapat yang mengatakan sunnah maupun tidak sunnah membaca qunut dalam shalat shubuh sama-sama didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW. Hanya saja pendapat yang mengatakan sunnah lebih kuat dari aspek tinjauan ilmu hadits dan ushul fiqih, serta diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf yang shaleh dan ahli hadits. Wallahu a’lam bis-shawab.

Ustadz Muhammad Idrus Romli

Monday, May 27, 2013

AJAKLAH ISTRI DAN KELUARGAMU SHOLAT TAHAJJUD


Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :
“ Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”(QS : Al-Isro’ : 79)
Nabi SAW juga bersabda:
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Jika tidak mau bangun, maka percikkan kepada wajahnya dengan air. Demikian pula Allah menyayangi perempuan yang bangun untuk shalat malam, juga membangunkan suaminya. Jika menolak, maka dipercikkannya wajahnya dengan air.” (HR Abu Daud).
“Jika suami membangunkan istrinya untuk shalat malam hingga keduanya shalat dua raka’at, maka tercatat keduanya dalam golongan (perempuan/laki-laki) yang selalu berdzikir.”(HR Abu Daud)
Begitu luar biasa fadhilah sholat tahajjud ini diantaranya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dan Abu ‘Abdullah Al Aghor dari Abu Hurairah r.a.bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Rabb Tabaaraka wa Ta’ala kita turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: “Siapa yang berdo’a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni“. (H.R. Bukhari No. 1077, No. 5846, No, 6940)
sehingga sholat tahajjud menjadi sholat yang paling diutamakan setelah sholat fardhu(bahkan diwajibkan sebelum kewajiban sholat fardhu 5 waktu) sebagaimana Hadist nabi:
“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” ( HR. Muslim ).
Kapan kita boleh melaksanakan sholat tahajud?
Waktu untuk sholat tahajud adalah setelah sholat isya’ hingga sebelum fajar (subuh). Namun yang paling utama adalah 1/3 malam terakhir, kira-kira antara pukul 01.00 hingga sebelum adzan subuh.
Firman ALLAH ta'ala:
Bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (Q.S. Al-Muzzamil [73] : 2-4)

Terkait hal ini, Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “ Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”. Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah SAW sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah SAW bersabda : “Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya.” (HR Ahmad). Juga Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah bercerita kepada kami Sufyan dari ‘Amru bin Dinar dari ‘Amru bin Aus ast-Tasaqafiy dia mendengar ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Puasa yang paling Allah cintai adalah puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam, yaitu dia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari dan shalat yang paling Allah sukai adalah shalatnya Nabi Daud ‘Alaihissalam pula, yaitu dia tidur hingga pertengahan malam lalu bangun mendirikan shalat pada sepertiga malam dan tidur lagi di akhir seperenam malamnya“. (H.R. Bukhari No. 3167)

Apakah Harus Tidur Dahulu sebelum tahajud?
Ditinjau dari asal katanya: "HAJADA" berarti tidur, dalam kalimat "Hajada arrajulu" berarti laki-laki itu tidur. Maka "TAHAJJUD" berarti bangun dari tidur menuju sholat (Syarah Muslim, 2:147, Penerbit Darul Hadist, Kairo, Cet. ke 4, 2001). Dengan demikian sholat sunnah setelah sholat isya' hingga sebelum fajar akan disebut tahajud bila didahului dengan tidur.
Namun, tidur tidak menjadi syarat mutlak untuk bisa melaksanakan sholat tahajud hanya sebuah ke afdholan dan menjaga stamina serta hak-hak tubuh agar tidak ngantuk ketika sholat, terlebih lagi ketika bersambung dengan sholat subuh, dimana konsentrasi harus lebih ditingkatkan saat sholat shubuh. Jangan sampai sholat subuh mengantuk gara-gara tidak tidur mengerjakan sholat tahajud.
Maka jika sesuatu itu telah menjadi kebiasaan Rasulullah dan para sahabat yakni tidur sebelum tahajud, pastilah banyak hikmah yang terkandung didalamnya. Namun, jika memang tidak memungkinkan tidur terlebih dahulu, entah karena kesibukan kerja (shift malam) atau insomnia (tidak bisa tidur) maka sholat tahajud akan sangat baik dikerjakan pada saat-saat 1/3 malam terakhir meskipun tidak tidur terlebih dahulu.

Doa apa yang afdhol dipanjatkan dalam tahajud?
Pertama, sesungguhnya sepertiga malam terakhir termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Karena Allah menjanjikan akan mengabulkan doa di waktu ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku ijabahi doanya, siapa yang meminta-Ku akan Aku beri dia, dan siapa yang minta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni dia.” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758, Abu Daud 1315, dan yang lainnya).
Kedua, berdasarkan hadis di atas, di sepertiga malam terakhir, Anda bisa memohon kepada Allah apapun yang Anda inginkan, selama tidak melanggar larangan dalam berdoa. Anda bisa berdoa dengan bahasa Arab, bahasa Indonesia atau bahasa apapun yang Anda pahami. Manfaatkan kesempatan sepertiga malam terakhir untuk banyak memohon kepada Allah. Memohon ampunan, memohon hidayah, memohon kebaikan dunia akhirat, dan memohon kepada Allah untuk menyelesaikan masalah Anda. Tidak ada doa khusus yang harus Anda baca untuk permohonan ini.
Kapan Waktunya?
Bisa Anda lakukan setiap selesai shalat 2 rakaat, atau seusai tahajud sebelum witir, atau ketika sujud, atau menjelang salam sebelum tasyahud.
Ketiga, doa khusus untuk dibaca ketika tahajud berdasarkan hadis yang shahih, terdapat pada doa iftitah dan doa setelah witir. Berikut rinciannya:
Doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika iftitah:
1. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, beliau bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apa doa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengawali shalat malam beliau?”
Aisyah menjawab: “Beliau memulai shalat malam beliau dengan membaca doa:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah, Tuhannya Jibril, mikail, dan israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui yang gaib dan yang nampak. Engkau yang memutuskan diantara hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Berilah petunjuk kepadaku untuk menggapai kebenaran yang diperselisihan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus.” (HR. Muslim 770, Abu daud 767, Turmudzi 3420 dan yang lainnya)
2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan shalat di tengah malam, beliau membaca doa iftitah:
اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ،
اَللّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ
Ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau yang mengatur langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau pencipta langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Engkau Maha benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar. Surga itu benar, neraka itu benar, dan kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku pasrah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku bertaubat, hanya dengan petunjuk-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku memohon keputusan, karena itu, ampunilah aku atas dosaku yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan sembunyi-sembunyi maupun yang kulakukan terang-terangan. Engkau yang paling awal dan yang paling akhir. Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 2710, Muslim 769, Ibn Majah 1355).
3. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun malam, beliau bertakbir, kemudian membaca:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ
Maha Suci Engkau Ya Allah, aku memuji-Mu, Maha Mulia nama-Mu, Maha Tinggi keagungan-Mu, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Kemudian membaca:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah (3 kali)
dilanjutkan dengan membaca:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا
Allah Maha Besar (3 kali)
(HR. Abu Daud 775, Ad-Darimi 1275, dan dishahihkan al-Albani)
Doa yang Dibaca Setelah Witir
Doa pertama
سُبْحَانَ الـمَلِكِ القُدُّوْسِ
SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS
“Mahasuci Dzat yang Merajai lagi Mahasuci.”
Hadis Selengkapnya:
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam shalat witir, beliau membaca: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS. (HR. Abu Daud 1430; dishahihkan al-Albani)
Dalam riwayat Nasa’i dari Abdurrahman bin Abza radhiyallahu ‘anhu, terdapat tambahan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ» ثَلَاثًا، وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir dengan membaca surat Al-A’la (rakaat pertama), surat Al-Kafirun (rakaat kedua), dan surat Al-ikhlas (rakaat ketiga). Setelah salam, beliau membaca: subhaanal malikil qudduus, 3 kali. Beliau keraskan yang ketiga. (HR. Nasa’i 1732 dan dishahihkan al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, terdapat tambahan:
… طَوَّلَ فِي الثَّالِثَةِ
“Beliau baca panjang yang ketiga.” (HR. Nasa’i 1734 dan dishahihkan al-Albani)
Tambahan “Rabbil Malaaikati war Ruuh
Disebutkan dalam riwayat Thabrani adanya tambahan:
رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH
Tuhan para malaikat dan ar-Ruh
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
فِي الْأَخِيرَةِ يَقُولُ: رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
Di bagian akhir beliau membaca: RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH. (HR. Ad-Daruquthni 1660. Dalam Fatwa islam (no. 14093) dinyatakan: sanadnya shahih, dan disebutkan Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad (1/323)).
Keterangan:
Dari beberapa riwayat di atas, dapat kita simpulkan terkait bacaan doa ini:
1. Doa ini dibaca tepat setelah salam shalat witir
2. Doa ini dibaca tiga kali
3. Pada bacaan kali ketiga, dikeraskan dan dipanjangkan “Subhaaanal malikil qudduuuuu … ss”.
4. Disambung dengan membaca “Rabbil malaaikati war ruuh…
Kalimat: “Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh
Kalimat termasuk salah satu doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika rukuk atau sujud.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبوح قدوس، رب الملائكة والروح
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa ketika rukuk dan sujud beliau: Subbuuhun qudduusun…dst. (HR. Muslim 487).
Mengingat lafadz Subbuuhun qudduusun adalah doa sujud atau rukuk ketika shalat, sehingga tambahan ini tidak ada hubungannya dengan shalat witir. Karena tidak perlu dibaca seusai witir.
Allahu a’lam
Doa Kedua
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِـمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَـتِكَ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ ، كَمَا أَثْــــنَــــيْتَ عَلَى نَــــفْسِكَ
ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK, WA BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A-‘UUDZU BIKA MIN-KA, LAA UH-SHII TSA-NAA-AN ‘ALAIKA ANTA, KAMAA ATS-NAITA ‘ALAA NAFSIK
“Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak bisa menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”
Hadis selengkapnya:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي وِتْرِهِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،…
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung shalat witirnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. An-Nasa’i 1747, Abu Daud 1427, dan Turmudzi 3566; dinilai shahih oleh al-Albani)
Kapankah doa ini dibaca?
Pada hadis di atas tidak dijelaskan kapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa tersebut ketika shalat witir. Dalam catatan untuk Sunan An-Nasa’i, As-Sindi mengatakan:
قوله: ” كان يقول في آخر وتره”: يحتمل أنه كان يقول في آخر القيام ، فصار هو من القنوت ؛ كما هو مقتضى كلام المصنف، ويحتمل أنه كان يقول في قعود التشهد ، وهو ظاهر اللفظ
Keterangan beliau “di penghujung shalat witirnya, beliau membaca…” mungkin maknanya adalah beliau baca di akhir tahajud, sehingga itu termasuk doa qunut, sebagaimana isyarat keterangan An-Nasa’i, mungkin juga dimaknai bahwa doa ini dibaca ketika duduk tasyahud akhir, dan ini makna yang tersirat dari hadis tersebut. (Dinukil dari Bughyatul Mutathawi’, hlm. 30).
Akan tetapi disebutkan dalam kitab Amalul Yaum wa Lailah karya an-Nasai, demikian pula ibnu Sunni, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
بت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة ، فكنت أسمعه إذا فرغ من صلاته وتبوأ مضجعه يقول : اللهم إني أعوذ بمعافاتك من عقوبتك …
Saya menginap di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam. Ketika beliau usai shalat dan bersiap di tempat tidurnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, … dst. (Muntaqa Amalul Yaum wa Lailah An-Nasai, Hal. 25).
Diantara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau kembali ke tempat tidur seusai melaksanakan shalat tahajud. Sambil mempersiapkan tempat tidurnya, beliau membaca doa tersebut.
Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:
فَقَدْتُ رَسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَقَدَمَاهُ مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،
Saya kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan sedang sujud, dan dua kaki beliau dipancangkan , sementara beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. Ahmad 25655, An-Nasa’i 1100, Ibn Majah 3841, Ibnu Hibban dalam shahihnya 1932, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya 655, dan dishahihkan al-Albani)

Friday, March 8, 2013

ANTARA DUA CINTA


"Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat", itulah kata mutiara tentang cinta yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka. Namun, tidak jarang kita jumpai pada sisi dibelahan hati yang lain, masih banyak kasus keresahan, kegalauan, kebimbangan, keputusasaan dan bahkan berakhir pada bunuh diri, tidak saja dinegara-negara miskin atau berkembang bahkan dinegara maju pun terjadi fenomena yang sama. Bahwa cinta bisa bahkan sangat bisa membuat orang buta mata dan buta hati. Karier, jabatan dan pangkat serta strata sosial yang tinggi, kekayaan yang banyak, tiba-tiba lenyap dan terpuruk pada lembah kenistaan hanya dikarenakan cinta. Sebenarnya, ada apa dengan cinta? adakah yang salah dengan cinta?
Pada dasarnya, manusia itu dilengkapi oleh sang Khalik dengan "satu set" komponen pelengkap yang jika salah satunya tiada, maka tidak dia bisa dinamakan manusia. Satu set komponen pelengkap itu dinamakan "an-nafs". An-nafs adalah sebuah tendensi/kecenderungan untuk melakukan sesuatu, apakah sesuatu itu bersifat baik maupun buruk. Dengan adanya an-nafs inilah, kehidupan manusia menjadi dinamis, tidak statis. Demikian pula Jin, makhluk selain manusia yang juga dilengkapi dengan an-nafs, juga mengalami dinamika kehidupan mirip dengan manusia, hanya saja dimensinya yang berbeda. Namun, tidak demikian dengan malaikat, Malaikat tidaklah dilengkapi dengan an-nafs, sehingga dia tidaklah sesempurna manusia. Oleh karenanya, kehidupan malaikat itu monoton. Bagi malaikat yang ditugaskan untuk mengatur curah hujan, maka selamanya ia akan mengerjakan tugas itu. Bahkan bagi malaikat yang ditugaskan untuk sujud, maka ia akan sujud terus hingga hari kiamat. Apakah tidak protes? tidak bisa..!! karena malaikat tidak memiliki rasa untuk protes. Nah, bagaimana sebenarnya eksistensi manusia atau jin ini terkait dengan an-nafs ini?
Dalam Al-Qur'an surat Asy-Syams ayat 7-8 ALLAH SWT berfirman:
"Dan demi an-nafs serta penyempurnaannya (yang menjadikannya pelengkap). Maka ALLAH mengilhamkan/memberikan potensi pada an-nafs itu sebuah tendensi kearah keburukan (al-fujur) dan kebaikan (at-taqwa)"
Maka jika kita cermati, sesungguhnya secara kodrati an-nafs itu memiliki keinginan-keinginan apakah kejalan yang buruk atau kejalan yang baik. Namun, secara umum, kecenderungan an-nafs adalah menuju ke jalan yang menyenangkan dirinya, apalagi jika dibiarkan tanpa dibimbing oleh petunjuk. Maka ia akan terus mengikuti keinginanya ke jalan yang fujur yang pada akhirnya ia menzalimi dirinya sendiri. Tendensi kearah keburukan inilah yang kemudian disebut sebagai al-hawa an-nafs yang sering disebut sebagai syahwat atau HAWA NAFSU. Hal ini di sindir oleh ALLAH SWT dalam Alqur'an surat Al-Qashash:50:
"...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".
Dalam ayat diatas, nampak bahwa secara eksplisit menunjukan ada an-nafs yang dibiarkan atau tidak diberi petunjuk dan an-nafs yang diberi petunjuk oleh ALLAH SWT. Hal ini, selaras dengan makna kalimat dalam ayat 53 QS Yusuf bahwa keumuman an-nafs itu menuju kepada arah yang buruk kecuali an-nafs yang di Rahmati ALLAH SWT :
"Dan aku tidak berlepas diri dari an-nafs, karena sesungguhnya an-nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali an-nafs yang diberi rahmat oleh Tuhanku...."

Dari kedua jenis an-nafs ini (an-nafs yang selalu ingin menuju kearah keburukan dan an-nafs yang selalu ingin menuju kearah kebaikan), jika kemudian dikategorikan lagi, maka kita akan jumpai penggolongan an-anfs ini menjadi 3, an-nafsul Amarah, lawwamah dan muthmainnah.
Nafsu amarah ini tergolong dalam nafsu yang tidak diridhoi, atau nafsu yang secara umum cenderung untuk menuju kearah keburukan. Sedangkan nafsu lawwamah (nafsu yang cenderung menyesali perbuatan buruk) dan nafsu muthmainnah (nafsu yang ingin melakukan perbuatan yang diridhoi ALLAH SWT) adalah termasuk nafsu yang di rahmati dan diberi petunjuk.
Dalam perjalanannya, masing-masing nafsu itu kemudian semakin kuat tendensinya dan pada akhirnya sampai pada suatu kondisi yang disebut CINTA atau dalam bahasa arabnya adalah MAHABBAH. Nafsu yang terbimbing oleh petunjuk atau nafsu yang dirahmati ini akan menghasilkan MAHABATULLAH (cinta kepada ALLAH diatas segala-galanya), sedangkan nafsu yang tak terbimbing akan menghasilkan MAHABBAH GHOIRULLAH (cinta yang berlebihan kepada selain ALLAH). Ketika nafsu ini sudah pada sampai level CINTA maka tinggal menunggu hasilnya apakah KETERPURUKAN/KEGAGALAN atau KEBAHAGIAAN/KESUKSESAN. Dalam gaya bahasa yang begitu indah, ALLAH SWT mengingatkan kita dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 24:
"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (yang selalu mengotori dirinya dengan memperturutkan hawa nafsunya)".
Dalam hal ini, tidaklah mungkin an-nafs itu berada pada dua kondisi GAGAL dan SUKSES, pastilah ada pada kondisi salah satunya, kalau tidak GAGAL ya SUKSES. Nah, selama proses membentuk cinta itulah, an-nafs bertarung saling mempengaruhi dan saling mendominasi. Jika yang mendominasi adalah nafsu yang dirahmati dan diridhoi dan menghasilkan MAHABATULLAH itu, maka ia akan menemukan jalan dan menggapai kesuksesan, sebaliknya, karena MAHABBAH GHOIRULLAH ia akan menemukan jalan dan menggapai kegagalan. Itulah kenyataan hidup kita, berada dalam dualisme CINTA atau MAHABATAIN. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan CINTA hanya saja kita perlu menempatkan pada porsi yang proporsional. Kita boleh cinta keada keluarga, orang-tua, saudara, anak, harta, kedudukan, bisnis, rumah, sawah ladang, kendaraan dan lain-lain karena itu semua adalah fitroh/kodrati yang tidak mungkin bisa dihilangkan, sebagaimana Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 14:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
TAPI sekali lagi, itulah fitroh untuk mendapatkan kesenangan didunia dan jangan sekali-kali kecintaan kepada semuanya itu mendominasi kehidupan kita. Justru CINTA KEPADA ALLAH SWT itulah yang harus mendominasi kehidupan kita diatas cinta kepada segala sesuatu.
Nah, sekarang tinggal keputusan anda, ingin sukses/bahagia atau gagal/sengsara ??



Thursday, March 7, 2013

Sholat Awwabiin


Shalat awwabin adalah istilah untuk shalat dhuha yang dikerjakan di saat matahari sudah panas (di akhir waktu dhuha) atau shalat dhuha secara umum. Namun ada anggapan dari sebagian orang yang menamakan shalat sunah yang dilaksanakan antara maghrib dan isya’ dengan istilah shalat awwabin. Benarkah penggunaan istilah ini?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menjaga shalat dhuha kecuali orang awwab (sering bertaubat). Dan dia (dhuha) adalah shalat awwabin (shalatnya orang yang suka bertaubat).” (Silsilah As-Shahihah, no. 703).
Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat setelah maghrib dengan “Shalat Awwabin”, karena penamaan ini tidak ada asalnya.” (Shahih Targhib wa Tarhib, 1:423).
Terdapat beberapa hadis yang menganjurkan shalat sunah antara magrib dan isya, diantaranya hadis yang diriwayatkan An-Nasa’i, dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya shalat magrib bersama beliau. Kemudian beliau shalat (sunah) sampai isya. Al-Mundziri dalam At-Targhib wa Tarhib menyatakan, sanad hadis ini jayid.
Setelah membawakan berbagai dalil tentang anjuran shalat sunah antara magrib dan isya, As-Syaukani mengatakan:
“Ayat dan hadis yang disebutkan menunjukkan disyaratkannya memperbanyak shalat antara magrib dan isya. Al-iraqi mengatakan, ‘Di antara sahabat yang shalat antara magrib dan isya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Salman Al-Farisi, dan Ibnu Malik dari kalangan Anshar. Kemudian di kalangan tabi’in, ada Al-Aswad bin Yazid, Utsman An-Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali bin Husain, Abu Abdi Rahman Al-Uhaili, Qodhi Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal. Sementara ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyan At-Tsauri. (Nailul Authar, 3:60)
Sementara ulama dari empat mazhab menegaskan dianjurkannya melaksanakan shalat antara magrib dan isya, berdasarkan hadis dan praktik para sahabat. Bahkan ulama Mazhab Hambali menyebutnya sebagai qiyamul lail. Karena waktu malam itu antara magrib sampai subuh. Dari sinilah, sebagian ulama menyebut shalat antara magrib dan isya sebagai shalat al-awabin.
Dalam Mughni Al-Muhtaj dinyatakan:
Di antara shalat sunah adalah shalat awwabin. Dinamakan juga dengan shalat al-ghaflah (waktu lalai), karena umumnya orang lalai dari shalat ini disebabkan makan malam, tidur, atau semacamnya. Jumlahnya 20 rakaat, antara magrib dan isya. Al-Mawardi mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya dan beliau menyatakan, ‘Ini adalah shalat awwabin’. Disimpulkan dari hadis ini dan hadis dari Hakim, bahwa istilah shalat awabin bisa digunakan untuk menyebut shalat antara maghrib dan isya dan shalat dhuha”. (Mughni Al-Muhtaj, 3:151)
Hanya saja, hadis yang berisi pernyataan bahwa shalat sunah antara maghrib dan isya sebagai shalat awwabin, termasuk hadis yang dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Hadis tersebut didhaifkan Al-Albani, karena hadis tersebut termasuk hadis mursal.
Allah a’lam
Disadur: Fatawa Syabakah islamiyah, no. 27572


Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/apakah-shalat-awwabin/#ixzz2Mvt8gk6v