Thursday, August 18, 2011

KESEIMBANGAN DAN KEMUDAHAN DALAM ISLAM


Oleh: Ustadz Abu Ihsan Al Atsari



Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia. Allah memerintahkan manusia agar menghadapkan wajah kepada agamaNya semata. Allah berfirman.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Ar Rum : 30].

Maka setiap penyimpangan dari rel-rel agama berarti penyimpangan dari nilai-nilai fitrah manusia yang suci. Allah menurunkan agama sebagai pedoman hidup manusia bukan untuk menyusahkan atau menyengsarakan, tetapi untuk menata kehidupan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat, mengatur mu'amalah (interaksi) mereka kepada Allah, hubungan antara sesama manusia, dengan makhluk-makhluk lainnya, seperti: jin, malaikat, hewan serta dengan alam sekitarnya. Islam telah mengatur ekosistem kehidupan menurut sunnatullah yang membawa berkah bagi semua. Bahkan keseimbangan tersebut sekaligus menunjukkan keindahan Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ إِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَىٰ

Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). [Thaahaa:2-3].

Syaikh Abdurrahman As Sa'di menyatakan dalam tafsirnya (halaman 584, surat Thaahaa ayat 2-3): "Maksud diturunkannya wahyu dan Al Qur'an kepadamu serta ditetapkannya syariat bukanlah untuk membuat kamu sengsara. Tidak ada syariat yang memberatkan manusia dan tidak mampu mereka kerjakan. Namun wahyu, Al Qur'an dan syariat itu ditetapkan oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah jadikan sebagai pengantar kepada kebahagiaan, keberuntungan dan kemenangan. Allah telah memudahkannya dengan semudah-mudahnya dan telah memudahkan seluruh jalan dan pintu-pintunya. Allah menjadikannya sebagai nutrisi bagi hati dan jiwa serta sebagai penyegar bagi tubuh mereka. Dapat diterima oleh fitrah yang lurus dan akal yang sehat, karena mengetahui kandungannya, yaitu kebaikan dunia dan akhirat."

Memang benar-benar seimbang dan mudah. Itulah karakter syari’at terakhir yang menghapus syari’at-syariat terdahulu. Seimbang dengan hajat dan kebutuhan manusia secara duniawi maupun ukhrawi dan mudah untuk dilakukan.

Sebagai contoh, kalau kita ingin mengangkat satu benda yang berat, bila kita angkat tepat pada titik keseimbangannya, maka akan mudah diangkat. Namun bila tidak tepat pada titik keseimbangannya, maka akan sulit diangkat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tentang kemudahan dan keseimbangan ini dalam ayat-ayatNya. Di antaranya :

هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al Hajj:78].

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah:185].

Allah juga menjelaskan tentang keseimbangan dalam Islam dalam firmanNya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil. [Al Baqarah : 143]

Syaikh Abdurrahman As Sa'di dalam tafsirnya (hlm. 65 surat Al Baqarah 143) mengatakan : "Allah telah menjadikan umat ini wasath (pertengahan) dalam segala urusan agama. Pertengahan dalam mengimani para nabi, antara sikap berlebihan kaum Nasrani dan kekurangajaran kaum Yahudi. Mereka mengimani seluruh nabi menurut prosedur yang layak. Pertengahan dalam syariat, tidak berlebih-lebihan seperti kaum Yahudi dan tidak pula menyepelekan seperti kaum Nasrani. Demikian pula dalam masalah bersuci dan makanan, tidak seperti Yahudi yang tidak boleh shalat kecuali di dalam sinagog mereka dan tidak dapat menggunakan air untuk menghilangkan najis, telah diharamkan atas mereka perkara-perkara yang baik sebagai bentuk hukuman bagi mereka. Dan tidak pula seperti Nasrani yang tidak mengenal najis dan haram, bahkan mereka membolehkan segala sesuatunya. Tata cara bersuci kaum muslimin adalah yang paling sempurna. Allah menghalalkan bagi mereka segala makanan dan minuman yang baik-baik, menyuruh mereka menutup aurat dan menganjurkan pernikahan serta mengharamkan seluruh keburukan atas mereka."

Dan dalam ayat lain Allah menjelaskan :

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [Al Qashash : 77].

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut: "Pergunakanlah karunia yang telah Allah berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini, untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di akhirat. Firman Allah "Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi”, yaitu dari apa-apa yang dibolehkan Allah berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allah mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya."

Abdurrahman As Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya (hlm. 731 surat Al Qashash ayat 77): "Yaitu, Kami tidak memerintahkanmu supaya menyedekahkan seluruh hartamu sehingga kamu menjadi terlantar. Namun bersedekahlah untuk kemaslahatan akhiratmu dan nikmatilah duniamu, tanpa merusak agama dan akhiratmu."

Oleh sebab itu, syariat melarang bersedekah dengan seluruh harta sampai habis ludes sehingga mengakibatkan ia terpaksa meminta-minta kepada orang lain. Dan juga dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga harta.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita, sebagaimana Abu Hurairah meriwayatkan sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ

Sesungguhnya agama ini sangat mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah. [HR Al Bukhari].

Dalam riwayat lain disebutkan:

سَدِّدُوْا، وَقَارِبُوْا، وَاغْدُوْا وَرُوْحُوْا، وَشَيءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ؛ القَصْدَ القَصْدَ تَبْلُغُوْا

Sederhanalah dalam beramal, mendekatlah pada kesempurnaan, pergunakanlah waktu pagi dan sore serta sedikit dari waktu malam. Bersahajalah, niscaya kalian akan sampai tujuan. [HR Al Bukhari].

Berkenaan dengan hadits ini, Imam Al Bukhari telah menuliskan sebuah bab yang berjudul Ad Diin Yusr (Agama itu mudah).

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan dalam Fathul Baari dalam bab tersebut : "Yakni, dinul Islam memiliki banyak kemudahan, atau agama Islam disebut mudah dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Sebab, Allah telah menghilangkan beban atas umat ini yang dulu dipikulkan atas umat-umat sebelumnya. Sebagai contoh, taubat umat-umat terdahulu adalah dengan mengorbankan jiwa, sedangkan taubat umat ini cukup dengan menghentikan perbuatan, bertekad tidak mengulangi disertai penyesalan."

Kemudian Ibnu Hajar menambah keterangannya dengan mengutip dari Ibnul Munayyir yang berkata : “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi. Kita semua menyaksikan, bahwa setiap orang yang melampaui batas dalam agama pasti akan mandeg dalam beramal. Maksudnya, bukan tidak boleh mengejar ibadah yang lebih sempurna, sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji. Perkara yang dilarang di sini adalah sikap berlebih-lebihan yang melahirkan kejemuan atau kelewat batas dalam mengerjakan amalan sunnah, sehingga berakibat terbengkalainya perkara yang lebih afdhal (yang lebih baik). Atau menunda sebuah kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya, orang yang shalat tahajjud semalam suntuk, lalu tertidur sampai akhir malam sehingga terlewatkan shalat Subuh berjama'ah, atau sampai keluar dari waktu yang afdhal, atau sampai terbit matahari, sehingga keluar dari batas waktunya. Dalam hadits Mihzan bin Al Adra' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

إِنَّكُمْ لَنْ تَنَالُوْا هَذَا الأَمْرَ بِالمُغَالَبَةِ، وَخَيْرَ دِيْنِكُمْ اليُسْرَةُ

"Kalian tidak akan dapat melaksanakan din (agama) ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah."

Dari sinyalemen ini dapat dipetik kaidah wajibnya mengambil rukhshah (dispensasi) syariat. Melaksanakan azimah (ketentuan asal) pada saat diberikannya dispensasi merupakan bentuk memaksakan diri. Misalnya, orang yang tidak bertayammum tatkala ia tidak mampu menggunakan air, sehingga karena memaksakan diri menggunakan air ia mendapat mudharat."
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Mas'ud Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan. [HR Muslim].

Melalui hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan kepada umat manusia, Islam adalah agama yang mengajarkan kesederhanaan dan keseimbangan dalam ucapan dan perbuatan. Melanggar batas-batas keseimbangan dan berlebih-lebihan, akan berdampak negatif terhadap pelakunya. Ia akan terhenti di tengah jalan. Sebab, sikap tersebut akan membuatnya jenuh dan bosan, dan dapat menyebabkan ia mengabaikan kewajiban yang lebih utama atau tertunda melaksanakannya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mencontohkan keseimbangan dan kesederhanaan ini dalam realita kehidupan. Siapa saja yang menelaah sirah (sejarah) Beliau, pasti mendapati hal tersebut.

Pernah datang tiga orang menanyakan aktifitas ibadah Beliau di rumah. Mereka tidak bertemu dengan Nabi, lantas mereka bertanya kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha tentang ibadah Beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah beliau itu hanya sedikit. (ibadah yang mereka kerjakan terlalu sedikit). Mereka berkata: "Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal beliau telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang."
Maka salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam terus menerus, tanpa tidur."
Yang lain berkata: "Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka."
Dan yang lain berkata: "Aku tidak akan menikah selama-lamanya."
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan :

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Kaliankah yang mengatakan begini dan begini? Adapun diriku, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepadaNya, tetapi aku berpuasa, juga berbuka. Aku shalat dan aku juga tidur dan aku menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku. [Muttafaqun 'alaihi].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur keras tiga orang tadi, lantaran keinginan mereka untuk keluar dari batas-batas keseimbangan dan keadilan. Walaupun niat atau tujuan mereka baik, yaitu meningkatkan kualitas diri, namun cara mereka salah. Cara tersebut akan mengeluarkan mereka dari garis fitrah yang lurus. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun langsung memberikan teguran dan peringatan yang keras seraya berkata: "Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku."

Itulah sebaik-baik hamba di sisi Allah, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu menceritakan : "Pernah Beliau tidak berpuasa dalam sebulan, sampai-sampai kami mengira Beliau tidak berpuasa pada bulan itu. Dan Beliau pernah berpuasa pada bulan lain, sampai-sampai kami mengira bahwa Beliau tidak pernah berbuka. Kalau engkau mau melihat Beliau shalat malam, niscaya engkau dapat melihatnya. Dan kalau engkau mau melihat Beliau tidur, niscaya engkau juga akan dapat melihatnya." [HR Al Bukhari].

Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ الشَّيءِ أَصْنَعُهُ فَوَاللهِ إِنِّي لأَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً

Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang kulakukan? Demi Allah, aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling takut kepada-Nya.” [Muttafaqun ‘alihi].

Dalam menjelaskan hadits ini, Ad Dawudi berkata: "Menjauhkan diri (dengan anggapan hal itu lebih baik, Pent) dari dispensasi yang diberikan Rasulullah merupakan dosa besar. Sebab ia memandang dirinya lebih bertakwa kepada Allah daripada RasulNya. Ini jelas sebuah penyimpangan.”

Ibnu Hajar menyatakan : “Tidak syak lagi (mengenai) kesesatan orang yang meyakini demikian (meyakini bahwa hal itu lebih baik)." [Lihat Fathul Bari karangan Ibnu Hajar].

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, mendadak Beliau melihat tali yang terulur antara dua tiang. Nabi bertanya: "Tali apakah ini?” Jawab mereka: "Tali kepunyaan Zainab. Kalau ia merasa letih berdiri dalam shalat, maka ia berpegangan dengannya." Maka Nabi bersabda:

حُلُّوْهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ

Lepaskanlah tali itu, hendaklah salah seorang dari kamu mengerjakan shalat saat bersemangat. Dan jika ia merasa malas, maka hendaklah ia berbaring terlebih dulu." [Muttafaqun 'alaihi]

Dalam kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk ke dalam rumah. Di dalamnya ada seorang wanita. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Siapakah dia?" 'Aisyah berkata: "Dia adalah si Fulanah yang sedang menceritakan tentang shalatnya," maka Nabi berkata :

مَهْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيْقُوْنَ، فَوَاللهِ لاَ يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوْا

Cukup, hendaklah kalian menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan jemu menerima amal ibadah kalian sehingga kalian sendiri yang merasa jemu beramal." [Muttafaqun 'alaihi]

Nabi mengecam kedua wanita itu karena melampaui batas dan keluar dari batas keseimbangan. Tentu saja, memaksakan diri beribadah diluar kemampuan fisik dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, yang pada akhirnya ia tidak mau melakukannya kembali. Disamping itu, tubuh akan lemah dan tidak mampu lagi mengerjakan amalan-amalan lain yang barangkali lebih penting. Maka dari itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan bagi yang mengantuk agar tidur terlebih dulu, setelah itu baru mengerjakan shalat.

Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَعِسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ؛ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

Jika salah seorang diantara kalian mengantuk sedangkan ia tengah mengerjakan shalat, hendaklah ia tidur sampai rasa kantuknya hilang. Sebab, apabila salah seorang diantara kalian mengerjakan shalat ketika mengantuk, maka dia tidak sadar barangkali ia bermaksud memohon ampun, tetapi ia malah mencaci dirinya sendiri. [Muttafaqun 'alaihi]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berkhutbah, mendadak Beliau melihat seorang lelaki berdiri. Nabi bertanya: "Siapakah yang berdiri itu?" Orang-orang menjawab: "Abu Israail. Dia bernadzar akan berdiri di panas terik matahari, tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara dan puasa." Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

مُرُوْهُ فَلْيَتَكَلّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

Suruhlah ia berbicara dan berteduh, dan silahkan ia meneruskan puasanya. [HR Al Bukhari].

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab As Sunan, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu , ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

Janganlah kamu memberatkan dirimu sendiri, sehingga Allah akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah (mengucilkan diri untuk beribadah saja), padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka. [HR Abu Dawud]

Begitulah kondisinya, bila sudah melewati batas keseimbangan, bisa menimbulkan mudharat (bahaya) terhadap diri sendiri, bahkan juga terhadap orang lain. Seperti dialami oleh Ummu Darda' Radhiyallahu 'anha ketika Salman –yang telah dipersaudarakan oleh Nabi dengan Abu Darda'- berkunjung ke rumah Abu Darda'.

Dilihatnya Ummu Darda' mengenakan pakaian kerja, maka Salman bertanya: "Ada apa denganmu?"
Dia menjawab: "Saudaramu, Abu Darda', tidak punya lagi keinginan terhadap dunia."
Kemudian Abu Darda' datang dan menghidangkan makanan untuknya. Lalu Abu Darda' berkata kepadanya: "Makanlah kamu! Karena aku sedang berpuasa."
Salman berkata: "Aku tidak akan makan sehingga kamu turut juga makan." Maka Abu Darda' pun makan.
Setelah malam tiba, Abu Darda' bangun malam. Lalu Salman berkata kepadanya: "Tidurlah," maka Abu Darda' pun kembali tidur.
Setelah itu ia bangun lagi, Salman berkata: "Tidurlah!" Kemudian pada akhir malam Salman berkata: "Sekarang bangunlah!"
Kemudian keduanya mengerjakan shalat. Selanjutnya Salman berkata: "Sesungguhnya Rabb-mu mempunyai hak, dirimu pun punya hak, dan keluargamu juga mempunyai hak. Oleh karena itu, tunaikan setiap hak kepada pemiliknya."
Kemudian Abu Darda' menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan peristiwa tersebut kepada Beliau. Maka Nabi pun bersabda : "Salman benar!" [HR Al-Bukhari]

Kisah ini banyak mengandung hikmah. Sekaligus menunjukkan kedalaman fiqh (pengetahuan agama) Salman Al Faarisi Radhiyallahu 'anhua. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan kata-katanya. Coba perhatikan kejelian Salman dalam menempatkan tiap-tiap hak secara proporsional, sehingga tidak bertabrakan dengan hak-hak yang lain. Sungguh ini adalah pemahaman yang sangat mendalam.

Kesuksesan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam urusan akhirat maupun dunia tergantung dengan cara kita menempatkan setiap hak secara proporsional menurut pandangan syariat yang hanif (suci) dan fitrah ini. Karena setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan dan keberatan yang akan menghalangi tercapainya tujuan.

Sekarang mari kita lihat keadaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah manusia biasa yang normal dan memiliki hasrat terhadap makanan, minuman, wanita, parfum dan hal-hal baik lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mencari nafkah, berjalan di pasar dan bermua'alah dengan manusia lainnya. Suatu perkara yang sempat dipertanyakan oleh orang-orang musyrik seperti yang Allah sebutkan dalam Al Qur'an.

وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ ۙ لَوْلَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا

Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia. [Al Furqaan : 7].

Betapa indah uraian yang disajikan oleh Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah tentang petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal makanan dengan keterangan berikut ini :
"Petunjuk Beliau dalam hal makanan, adalah Beliau tidak menolak makanan yang terhidang, dan tidak mencari-cari makanan yang tidak ada. Beliau akan memakan setiap makanan halal yang disodorkan kepada Beliau; kecuali makanan yang tidak menarik hati Beliau, (maka) Beliau tinggalkan makanan itu tanpa mengharamkannya. Sedikit pun, Beliau tidak pernah mencela makanan. Jika berselera, Beliau memakannya. Jika tidak, Beliau tinggalkan. Sebagaimana Beliau menolak memakan biawak, karena tidak terbiasa memakannya, namun tidak Beliau haramkan atas umat. Justru hidangan biawak tersebut disantap di hadapan Beliau, sementara Beliau melihatnya. Beliau gemar makan manis-manisan dan madu. Beliau juga suka makan daging unta, kambing, ayam, burung, keledai liar, kelinci, makanan laut (sea food). Beliau juga suka makan daging bakar, makan kurma segar dan kurma kering. Beliau menyenangi minum susu murni ataupun campuran. Beliau juga menggemari makan gandum bercampur madu dengan air, minum perasan air kurma, khazirah (yaitu kuah-kuahan atau sop yang terbuat dari susu dan gandum). Beliau juga makan mentimun dengan kurma, keju, kurma dengan roti, roti dengan kuah cuka, tsarid (yaitu roti kuah bercampur daging), roti dengan ahaalah (yaitu lemak yang dicairkan). Beliau juga makan sate hati, dendeng, labu. Beliau sangat menggemari labu. Beliau juga menyukai makan masluqah (yaitu rebus-rebusan sayuran), tsarid dengan minyak samin. Beliau suka mentega, roti dengan minyak zaitun, semangka dengan kurma. Beliau sangat suka makan kurma dengan mentega. Beliau tidak pernah menolak makanan yang baik-baik, dan tidak juga meminta yang tidak ada. Namun petunjuk Beliau dalam hal ini, ialah memakan makanan yang tersaji. Jika tidak ada, maka bersabar. Hingga Beliau pernah mengikat perut dengan batu karena menahan lapar. Pernah berlalu selama tiga bulan, tungku dapur dalam rumah beliau tidak menyala sama sekali. Saat safar, beliau biasa makan secara lesehan di atas tanah, itulah meja hidangan beliau. Beliau membiasakan makan dengan tiga jari dan menjilatinya setelah selesai. Begitulah cara makan yang paling mulia. Karena orang sombong itu makan dengan satu jari, sementara orang rakus dengan lima jari dibantu dengan telapak tangan. Beliau juga tidak pernah makan bersandar.[1]

Namun kaum sufi membalikkan perkara tersebut. Mereka haramkan yang dihalalkan Allah, berlebih-lebihan dan ekstrim dalam meninggalkan makanan dan minuman. Mereka letakkan asas dan kaidah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah serta tidak ditemukan dalam biografi para sahabat, sebaik-baik hamba Allah (setelah Rasul-Nya) dan generasi terbaik umat ini yang telah memperoleh ampunan. Tidak ada yang melakukan seperti yang mereka lakukan kecuali para Brahma dan pendeta Nasrani.

Di antara sikap ekstrim kaum sufi dalam masalah ini, misalnya sebuah riwayat yang dinukil oleh Al Ghazali. Yaitu ketika Malik bin Dinar terserang penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau tertarik meminum segelas madu dan susu yang dicampurkan ke dalam roti kuah yang hangat. Maka si pelayan pun menghidangkan makanan itu untuknya. Ketika Malik bin Dinar hendak menyuapnya, ia pandangi makanan itu beberapa saat, lalu ia berkata: "Hai, diriku! Engkau telah menahan diri selama tiga puluh tahun. Sekarang umurmu tinggal beberapa saat saja." Ia pun melempar gelas itu dari tangannya. Ia bersabar menahan diri darinya hingga wafat.[2]

Apakah sikap seperti ini termasuk ajaran agama? Apakah seperti itu zuhud yang mereka dengung-dengungkan dan mereka cari?

Asy Sya’rani mengungkapkan: "Kaum sufi rela melaparkan diri hingga mereka sanggup menahan diri dari makanan selama empat puluh hari atau lebih".[3]

Oleh karena itu, kaum sufi juga mengabaikan mencari nafkah. Mereka menganggap hal itu sebagai penyebab datangnya murka, bahkan sebuah kemungkaran yang haram. Mereka justru menganjurkan untuk meminta-minta, bermalas-malasan dan tidak bersemangat. Padahal mencari nafkah termasuk Sunnah Nabi dan sunnah para khulafaur rasyidin sesudah Beliau Shallallahu 'alaiahi wa sallam. Mencari nafkah juga merupakan sunnah para sahabat Nabi seluruhnya, kecuali beberapa orang yang tidak terbuka kesempatan untuk mencari nafkah karena kesulitan hidup atau lainnya.

Ayat dan hadits yang menjelaskan masalah ini tidak terhitung banyaknya. Di antaranya hadits riwayat Miqdam bin Ma’diyakrib, ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidak ada satu pun makanan yang dimakan seorang hamba lebih baik daripada makanan hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud as makan dari hasil keringatnya sendiri. [HR Al Bukhari].

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلتُْمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ

Sebaik-baik makananmu adalah makanan hasil dari jerih payahmu sendiri, dan anak-anakmu termasuk hasil jerih payahmu. [HR At Tirmidzi, An Nasaa-i dan Ibnu Majah].

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كًسْبِهِ

Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan seorang hamba adalah hasil usahanya sendiri, dan anak-anaknya merupakan hasil usahanya. [HR Abu Dawud dan Ad Darimi].

Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, bahwa ia berkata: Seseorang bertanya: “Ya, Rasulullah! Usaha apakah yang paling baik?” Nabi menjawab:

عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ

Usaha hasil jerih payahnya dan setiap jual beli yang mabrur (halal).” [HR Ahmad]

Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ

Pedagang yang jujur lagi terpercaya akan bersama para nabi, kaum shiddiq dan para syuhada’. [HR At Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ad Darimi]

Juga hadits riwayat Zubair bin Awwam, bahwa Rasulullah bersabda :

لأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبَلَةً فَيَأْتِي بِحَزْمَةِ حَطَبٍ فَيَبِيْعُهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجَهَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَمْ مَنَعُوْهُ

Sekiranya seseorang mengusahakan seutas tali untuk mengambil kayu bakar lalu dipikulnya dan dijualnya, hingga Allah menyelamatkan mukanya dengan usaha itu, lebih baik baginya daripada meminta-minta, baik diberi maupun ditolak. [HR Al Bukhari].

Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, bahwa seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasulullah untuk meminta sesuatu kepadanya. Nabi bertanya kepadanya: “Apakah di rumahmu ada sesuatu?” Ia menjawab: “Ya, ada beberapa stel pakaian. Sebagian kami pakai (dan) sebagian lagi kami bentangkan sebagai alas, dan gelas tempat menuang air minum.” Nabi berkata: “Bawalah kemari kedua barang itu,” maka ia pun membawa keduanya. Rasulullah mengambil kedua barang itu seraya berseru: “Siapakah yang sudi membeli kedua barang ini?” Seorang lelaki berkata: “Aku berani membelinya satu dirham!” Nabi menawarkan lagi: “Siapa yang berani lebih dari itu!” Beliau ucapkan dua atau tiga kali. Seorang lelaki lain berseru: “Aku berani membelinya seharga dua dirham.”

Beliau pun menjual barang itu kepadanya dan memberikan dua dirham tadi kepada lelaki Anshar itu. Rasulullah berkata kepadanya: “Belilah makanan seharga satu dirham dengan uang itu, dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham, dan bawa kapak itu kepadaku!”

Ia pun melakukan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membelah kayu dengan kapak itu, kemudian berkata kepadanya: “Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali ke hadapanku kecuali setelah lima belas hari.”

Lelaki Anshar itu pun berangkat mencari kayu bakar lalu menjualnya. Kemudian ia datang lagi kepada Rasulullah dengan membawa sepuluh dirham. Sebagian hasilnya ia belikan baju dan sebagian lagi ia belikan makanan. Rasulullah bersabda kepadanya : “Usaha itu lebih baik bagimu daripada engkau datang dengan noda hitam di wajahmu pada hari Kiamat disebabkan meminta-minta. Meminta-minta hanya boleh bagi tiga macam orang. (Yaitu): orang yang sangat fakir, orang yang terkena denda yang sangat berat, atau orang yang dibebani diyat (tebusan) yang menyulitkan.” [Lihat Misykatul Mashabih, I/581]

Demikianlah sabda-sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dinukil secara shahih dari Beliau tentang keutamaan mencari nafkah dan usaha. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud di dunia dan yang paling bertakwa kepada Allah.

Abdullah bin Mubarak berkata: “Tidak ada baiknya, orang yang tidak pernah merasakan mencari nafkah.”

Ia juga pernah berkata: “Usaha kamu mencari nafkah bukanlah penghalang untuk berserah diri dan bertawakkal, selama engkau tidak menyia-nyiakan keduanya dalam usahamu.” [4]

Namun kaum sufi mengatakan sebaliknya, jauh bertolak belakang dengan nilai-nilai Al Qur'an dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengatakan “Barangsiapa mencari nafkah, berarti ia telah condong kepada dunia”. [5]

Ibnu Ajibah Al Hasani mengatakan: “Ajaran tasawwuf ditegakkan di atas tiga perkara. (Yaitu): bersandar kepada kemiskinan dan meminta-minta, selalu membantu dan mengutamakan orang lain, serta meninggalkan usaha dan kegiatan.”

Kaum sufi meyakini, bahwa senantiasa bersedih dan tidak pernah tertawa merupakan tanda rasa takut kepada Allah dan wujud dari tanda ketakwaan. Padahal Rasulullah –hamba yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah- juga tertawa dan tersenyum. Abdullah bin Al Harits mengungkapkan: “Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum selain Rasulullah”. [HR At Tirmidzi]
.
Anas bin Malik menceritakan: “Rasulullah adalah orang yang terbaik akhlaknya. Pada suatu hari Beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berkata,’Demi Allah, aku tidak akan berangkat,’ namun dalam hatiku berniat akan berangkat sesuai perintah Beliau. Aku pun berangkat, hingga ketika aku berpapasan dengan sekelompok anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba saja Rasulullah telah memegang tengkukku dari belakang. Akupun menoleh kepadanya, sementara Beliau hanya tertawa sambil berkata, ‘Hai Anas, apakah engkau pergi sesuai perintahku?’.” Aku menjawab: “Ya, aku akan berangkat sesuai perintahmu, wahai Rasulullah.” [HR Muslim].

Demikianlah sekelumit tentang kesederhanaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ibadah, mu'amalah dan perilaku, bahkan dalam seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat. Sangat jauh berbeda dengan kezuhudan versi kaum sufi yang banyak melanggar fitrah, keluar dari batas-batas kewajaran dan keseimbangan.

Dari situ, dapat kita ketahui, bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, antara kewajiban agama dan tuntutan hidup, antara hak Allah dan hak-hak lainnya. Semuanya harus diletakkan pada tempatnya. Itulah hakikat keadilan yang diperintahkan oleh Islam. Hal itu telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui bahasa verbal dan tindakan kongkret. Demikian pula para sahabat mengikuti jejak langkah Beliau dan meneladani amal perbuatan Beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba yang paling zuhud dan paling wara'. Orang yang ingin meraih nilai-nilai kezuhudan dan kewara'an yang sebenarnya, maka tiada jalan baginya kecuali mengikuti sunnah-sunnah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Zaadul Ma’aad Fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, karya Ibnul Qayyim (I/37).
[2]. Mukasyafatul Quluub ilaa Allamil Ghuyuub, karya Abu Hamid Al Ghazzali, hlm. 15, Penerbit Asy Syi’b, Kairo.
[3]. Duraul Ghawwash, karya Asy Sya’rani, hlm. 59, diambil dari catatan kaki Al Ibriiz oleh Ad Dabbagh, Penerbit Mesir.
[4]. Silakan lihat kitab Al Luma’, karangan Ath Thusi, hlm. 259, Penerbit Darul Kutub Al Haditsiyah, tahun 1960.
[5]. Awariful Ma’arif, karangan As Sahrawurdi, hlm. 165.

Tuesday, August 16, 2011

Pernahkan Sayyidina Umar Membunuh Putrinya?


Terdapat beberapa buah buku yang tersebar luas dalam masyarakat yang menceritakan kisah Sayyidina Umar r.a. konon telah membunuh seorang anak perempuan dan menanamnya hidup-hidup, seperti sebuah buku berjudul “Sepuluh Shahabat Dijamin Ahli Surga” oleh Muhammad Ali Quthub, terbitan Pustaka Nasional Pte. Ltd (1984), hal. 50-51.
Dua artikel berkenaan cerita ini telah disiarkan dalam Akhbar Harakah. Satunya disiarkan sebagai bahan bacaan untuk kanak-kanak di ruangan BESTARI (Harakah, 18 Disember 1998) dan satu lagi artikel hasil penyelidikan satu kumpulan yang memakai nama ILHAM ( Harakah, 30 Nov 1998) . Keduanya mengandung cerita yang sama dengan meskipun dengan sedikit perbedaan .
Jika cerita seperti itu disebarkan oleh musuh Islam, tentu sekali tiada maksud lain bagi mereka melainkan untuk memburuk-burukkan  Sayyidina Umar r.a. yang merupakan shahabat karib Rasulullah s.a.w. dan khalifah agung umat Islam.
Jika cerita seperti ini disebarkan oleh mereka dari kalangan Ahli Sunnah wal-Jamaah, pada pandangan penulis, ada dua kemungkinan yang mendorong mereka untuk menyebarkannya.
Pertama, karena jahil dan kedua, adalah karena menganggap kisah ini berlaku sewaktu Sayyidina Umar r.a. berada di zaman jahiliyyah.
Apa susahnya andaikata semasa zaman jahiliyyah itu, Sayyidina Umar r.a. telah melakukan perbuatan demikian! Selain itu bukankah ini menunjukkan kehebatan Islam dengan kemampuannya yang luar biasa dapat mengubah dan membentuk pribadi manusia sehingga manusia yang sekejam Sayyidina Umar r.a. itu pun telah menjadi sebaik-baik manusia malah menjad pemimpin Islam contoh untuk umat Islam ?
Bagi penulis, tidaklah masalah soal kehebatan Islam dalam mengubah kehidupan manusia karena itupun  telah pun terbukti melalui banyak riwayat-riwayat yang shahih tetapi bagaimana dengan cerita kekejaman Sayyidina Umar r.a. ini ? Apakah kedudukannya ? Apakah cerita ini memang mempunyai dasar ataukah hanya dongeng dan cerita rekaan semata-mata ?
Alangkah baiknya kepada para pembaca sekiranya penulis-penulis buku dan artikel-artikel ini menyebutkan kitab-kitab rujukan kisah ini supaya amanah ilmiah yang mereka bawakan kepada orang banyak itu disampaikan dengan penuh tanggung jawab.
Kisah ini tidak akan dapat pernah ditemui walaupun hanya bayangannya saja di dalam kitab-kitab hadits atau kitab-kitab sejarah yang muktabar ! Tentu sekali cerita ini dibuat oleh musuh-musuh Islam tetapi sungguh malang sekali apabila kita sebagai umat Islam menerima apa saja yang disodorkan dalam cerita atau kisah-kisah shahabat padahal Rasulullah s.a.w. telah pun bersabda, “Cukuplah seseorang itu menjadi pendusta apabila ia menceritakan apa saja yang didengarnya.” ( Hadits Riwayat Muslim)
Tujuan penulis membetulkan artikel-artikel ini tidak lain adalah untuk memelihara kesucian sejarah hidup Rasulullah s.a.w. Juga untuk memberi peringatan kepada umat Islam umumnya, pendakwah-pendakwah, penulis-penulis dan guru-guru agama khususnya supaya berhati-hati apabila membawa sesuatu kisah berhubung dengan Rasulullah s.a.w. dan shahabat-shahabat baginda s.a.w. kerana mereka adalah cermin agama Islam.
Supaya lebih jelas kepada para pembaca, penulis tuliskan kembali bagian terpenting dari kisah Sayyidina Umar r.a. mengubur hidup-hidup anak perempuannya (sebagaimana yang disebarkan dalam akhbar di atas).
Begini ceritanya…..
“…Umar memejamkan mata. Anak itu ditendangnya masuk ke dalam lubang yang digalinya. Ia menangis. Umar tidak menghiraukannya….Umar menutupkan mata dan berfikir, “ Oh ! Anakku yang manis dan pintar.
Mengapa engkau dilahirkan sebagai perempuan?” Ia menangis. Tangannya gementar, tubuhnya menggigil. “ Umar, jangan jadi pengecut,” Tiba-tiba suara itu terdengar berulang kali ditelinganya. Lalu sambil menahan kesedihannya, Umar meneruskan lagi menimbun pasir ke lubang tadi, sehingga anaknya itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kisah ini selain tidak terdapat di dalam kitab-kitab shahih dan muktabar, ia juga bersebrangan dengan kaidah dirayah yang dipakai oleh ulama Islam di dalam menilai suatu cerita.
Di antara alasan-alasan itu ialah:
1) Tidak ada satu pun riwayat yang dapat di pertanggung jawabkan untuk membuktikan seorang dari kabilah Quraisy mengubur anaknya hidup-hidup, apa lagi untuk membuktikan Sayyidina Umar r.a membunuh anak perempuannya.
2) Adat menanam anak perempuan hidup-hidup berlaku di sebagian kalangan kabilah Bani Tamim dan Asad yang mengkhawatirkan kesengsaraan yang akan menimpa mereka di karenakan anak-anak itu. (Muhammad Tayyib dan Najjar di dalam kitab Al-Qabasu AL-Waddah’, hal 78 Zakaria Basyir dalam Meccan Crucible, hal 24). Sebagaimana ada riwayat yang menyebutkan Qais bin Hasyim seorang pemimpin kabilah Bani Tamim yang kemudian memeluk Islam, telah mengaku mengubur hidup-hidup 8 orang anak perempuannya di zaman Jahiliyyah.
Di sana juga terdapat juga riwayat menyebutkan seorang pemimpin dari kalangan Bani Tamim juga telah banyak menyelamatkan anak perempuan dari pembunuhan yang akan di lakukan oleh ibu-bapa mereka di karenakan takut  sengsara dengan cara membeli anak-anak perempuan tersebut .
Di antara pemimpin yang menonjol dalam usaha membasmi adat keji ini ialah Sa’sa’ah bin Naajiah, Kakek dari Al-Farazdaq seorang penyair Arab yang terkenal dan Zaid bin Amar bin Nufail.
Sa’sa’ah telah membeli anak perempuan daripada kedua ibu-bapanya kemudian memelihara mereka hingga dewasa. Jumlah anak-anak perempuan yang dipeliharanya ialah sekitar 360 orang ( At Thabarani dalam Al Mu’jamu’ Al Kabir, jilid 8 hal. 77).
Sementara Zaid bin Amar bin Nufail pula tidak terpengaruh dengan masyarakat sekitar yang menyekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu yang lain malah beliau mencari-cari kebenaran dan sedapat mungkin mengamalkan peninggalan agama Nabi Ibrahim.
Beliau juga membeli anak-anak perempuan daripada ibu-bapanya lalu memelihara mereka hingga dewasa. Kemudian dia akan membawa anak-anak perempuan itu kepada kedua ibu-bapanya lalu berkata kepada mereka ,
“ Jika kamu suka kepada anak perempuan kamu ini, kamu boleh mengambilnya atau kalau kalian tidak suka kepada anak perempuan kamu ini biarlah anak-anak perempuan ini bersama saya.” ( Bukhari, jilid 1 , hal. 540)
Zaid bin Amar bin Nufail bukan saja keluarga Sayyidina Umar r.a malah beliau adalah sepupu Sayyidina Umar r.a. Adik perempuan Sayyidina Umar r.a menjadi isteri anaknya Sa’id dan anak perempuan Zaid pula menjadi isteri Sayyidina Umar r.a. sendiri.
Tidak akan pernah terjadi keluarga yang terkenal dalam usaha-usaha suci menyelamatkan anak-anak perempuan dari pembunuhan yang akan di lakukan oleh ibu-bapa mereka, tiba-tiba seorang yang sangat menonjol dan yang terpenting dari mereka sendiri melakukan perbuatan terkutuk ini dengan membunuh anaknya sendiri.
3) Setelah Mekah dibuka, Rasulullah SAW. Berbai’ah dengan perempuan-perempuan mukmin. Diantara ucapan baginda SAW ialah:
“ Kamu tidak lagi akan membunuh anak-anak kamu.”
Hindun tiba-tiba berkata, “Kami memelihara mereka semasa kecil, apabila besar kamu pula yang membunuhnya.”
Peristiwa itu tercatat di dalam kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sirah dengan jelas dan terperinci. Kata-kata Hindun ini menunjukkan kabilah Quraisy tidak terlibat dengan adat yang keji ini. Sabda Rasullullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim juga membuktikan bahawa kabilah Quraisy tidak terlibat dalam pembunuhan anak-anak perempuan iaitu, Sabda Baginda s.a.w,
“ Sebaik-baik perempuan Arab ialah perempuan Quraisy. Mereka sangat penyayang terhadap anak-anak yatim sewaktu kecilnya dan mereka paling menjaga kedudukan dan harta benda suaminya”.
Apa artinya pujian Nabi s.a.w terhadap sifat penyayang mereka terhadap anak-anaknya sekiranya mereka juga seperti kabilah-kabilah lain yang terlibat dengan adat membunuh anak-anaknya?
Anak-anak Sayyidina Umar r.a yang lahir sebelum Islam semuanya masih hidup. Mereka ialah Ummul Mukminin Hafsah, Abdullah bin Umar dan Abdul Rahman.
4) Dalam tradisi Arab, seorang yang dikurniakan dengan anak pertama, akan di Kunyah sebagaimana Kunyahnya Nabi kita s.a.w ialah Abu Qasim, Kunyah Sayyidina Umar r.a ialah Abu Hafsin merujuk kepada Hafsah, anak perempuannya. Ini menunjukkan anak perempuan Sayyidina Umar r.a. yang sulung ialah Sayyidatina Hafsah.
5) Perlu juga diperhatikan bahwa disepanjang hayatnya, berapa banyakkah isteri Sayyidina Umar r.a dan juga hamba sahayanya selain dari anak-anak beliau itu ?
Kerana sejarah menyimpan semua catatan isteri-isteri dan anak-anak Sayyidina Umar r.a Imam Ibn Jauzi dan lain-lain menuliskan isteri-isteri Sayyidina Umar r.a. dan anak-anaknya di samping hamba sahayanya. Beliau menulis, “Sayyidina Umar r.a mempunyai beberapa orang isteri dan mempunyai banyak anak.” Isteri beliau ialah:
I) Zainab bt Maz’un
Zainab adalah saudara perempuan Uthman b. Maz’un yang terbilang di antara orang yang memeluk Islam di permulaan dan saudara sesusu dengan Nabi s.a.w. Dengan Zainab ini Sayyidina Umar r.a telah mendapat tiga orang anak iaitu Hafsah, Abdullah dan Abdul Rahman.
ii) Atikah bt Zaid b. Amar b. Nufail
Dari beliau mendapat seorang anak lelaki bernama ‘Iyadh
iii) Isteri yang ketiga ialah Jamilah bt Tsabit b. Aflah
Dari beliau mendapat seorang anak lelaki bernama ‘Aasim
iv) Ummul Hakkam bt Al-Harith b. Hisham
Dari beliau mendapat anak perempuan bernama Fathimah.
v) Ummul Kulthum bt Jarwal b. Malik
Dari beliau mendapat dua orang anak perempuan bernama Ubaidullah dan Zaid Al Akbar
vi) Ummul Kulthum bt Ali b. Abi Talib
Dari beliau mendapat dua orang anak bernama Zaid Al Asghrar dan Ruqayyah.
vii) Daripada hamba sahayanya yang bernama Fukayyah dan
Luhayyah juga Sayyidina r.a telah mendapat anak. Dari Fukayyah dia mendapat anak perempuan bernama Zainab dan dari Luhayyah beliau mendapat anak bernama Abdul Rahman Al Autsar dan Abdul Rahman Al Asghrar.
Jadi, anak-anak Sayyidina Umar r.a adalah seperti berikut:
Anak Laki-laki:
1) Abdullah
2) Abdul Rahman Al Akbar
3) Abdul Rahman Al Autsar
4) Abdul Rahman Al Asghrar
5) Zaid Al Akbar
6) Zaid Al Asghrar
7) Ubaidullah
8 )‘Aasim
9) ‘iyadh
Anak Perempuan:
1) Hafsah
2) Ruqayyah
3) Fatimah
4) Zainab
Dari isteri pertamanya Zainab bt Maz’un, Sayyidina Umar r.a mendapat tiga orang anak iaitu Ummul Mukminin Hafsah, Abdullah b. Umar dan Abdul Rahman Al Akbar.Hafsah adalah anak sulung dari Zainab bt Maz’un, sebab itulah beliau dikunyahkan dengan Abu Hafsin.
Pada saat beliau memeluk Islam, beliau hanya mempunyai tiga orang anak ini saja. Kalau begitu anak yang mana yang dui kubur hidup-hidup oleh Sayyidina Umar r.a ? Siapakah namanya dan siapakah nama ibunya ? Kalaulah Sayyidina Umar r.a betul-betul benci atau tidak suka kepada anak perempuan, kenapa beliau memakai kunyah Abu Hafsin ?
Selain dari alasan yang disebutkan tadi, apakah masuk akal apabila Sayyidina Umar r.a baru mengetahui jenis kelamin anaknya apakah anak itu lelaki atau perempuan setelah anak itu berumur 4 tahun?
Mungkin juga orang yang mula-mula menyebarkan kisah ini keliru dengan riwayat Wadhin yang dikemukakan oleh imam Daarini di dalam sunnahnya, atau mungkin ia pura-pura keliru.
Riwayat itu menyebutkan bahwa ada seorang lelaki menghadap Rasulullah Saw lalu berkata, “wahai Rasulullah! Kami dahulu orang-orang Jahiliyyah, kami menyembah berhala dan membunuh anak-anak. Saya pernah mempunyai seorang anak perempuan. Apabila saya memanggilnya dia berlari-lari datang kepada saya dan sangat ceria. Pada suatu hari saya memanggilnya dan ia terus mengikuti saya. Berdekatan dengan tempat itu ada satu telaga, saya memegang tangannya dan mendorongnya masuk ke dalam telaga. Ucapan terakhir yang keluar dari mulutnya ialah “ Ayah !”
Mendengar cerita itu Nabi saw menangis. Orang-orang yang ada berdekatan dengan Nabi saw berkata kepada orang itu, “ kamu betul-betul telah membuat Rasulullah saw bersedih.” Nabi bersabda, “orang ini datang bertanya akan sesuatu yang lebih dari itu,” seraya baginda Rasulullah saw berkata kepada orang itu, “ceritakan sekali lagi kisah itu” orang itu pun mengulangi sekali lagi kisah itu sehingga Rasulullah saw menangis sehinfga basah janggutnya.
Kemudian Nabi saw bersabda, “perkara-perkara yang telah dilakukan oleh mereka di zaman jahiliyyah telah dihapuskan oleh Allah swt dengan masuknya mereka ke dalam Islam. Sekarang lakukan amalan-amalan yang lain” ( Sunnah Daarini,jilid 1. hal 3)
Ini adalah satu kisah seorang yang tidak diketahui siapa orangnya, siapa namanya ? Mungkin orang-orang yang mempunyai maksud jahat mengaitkan cerita ini dengan Sayyidina Umar r.a. padahal cerita inipun jika ditimbang dengan timbangan ilmu riwayat juga tidak ditsabitkan karena Wadhin merupakan perawi teratas, lahir pada tahun 80 H dan wafat pada 149 H, sedangkan dia tidak pula menceritakan perawi lain sebelumnya. Tidak mungkin dia telah mendengar sendiri kisah ini 80 tahun sebelum kelahirannya !
Dalam istilah ilmu hadits, riwayat seperti ini dinamakan riwayat munqati’, kerana perawi sebelumnya tidak disebutkan. Selain itu Wadhin itu sendiri adalah seorang yang diperdebatkan oleh ulama Rijal Hadits tentangnya. Imam Bukhari, Muslim dan Nasa’i tidak mau menerima riwayatnya.
Ibnu Saad berkata, “ dia seorang yang dhaif.” Abu Hatim berkata, “ setengah riwayatnya baik tetapi setengah yang lain sangat buruk.” Jauzajani berkata, “riwayat-riwayatnya adalah lemah” ( Mizan Al I’tidal, jilid 4. hal 336). Hafidz Ibnu Hajar menulis bahawa, “ingatannya sangat jelek”.

Monday, August 15, 2011

IDUL FITRI : Pandangan Futuristik meraih Kesuksesan Hidup Dunia - Akhirat


Kita masih ingat ketika kita berusia balita sekitar 5 tahun atau barangkali juga masih berlaku bagi balita sekarang dan bahkan hingga sampai kapanpun, ketika ditanya “besok mau jadi apa?” atau dengan model pertanyaan yang lain “cita-citanya apa ?”. Maka dengan penuh percaya diri, kita yang waktu itu masih balita akan menjawab, “dokter”, atau mungkin menjawab “polisi”, “pilot”, “guru” dan lain sebagainya. Itulah gambaran fitroh manusia yang senantiasi mendambakan kesuksesan dalam kehidupannya, siapapun dia. Demikian pula ketika kita kemudian mulai beranjak dewasa dan mulai mengerti tentang makna sebuah kehidupan, kita akan tetap bercita-cita untuk menjadi menjadi orang yang sukses, sukses dalam urusan belajar, sukses dalam kekayaan, sukses dalam membina keluarga, sukses dalam segala hal.
Bagi sebagian orang, kesuksesan diartikan dengan tercapainya segala apa yang diinginkan dalam kehidupan di dunia ini, titik. Sehingga ia akan berusaha bekerja dengan sangat keras, tanpa kenal lelah tanpa mengenal batasan-batasan baik-buruk, pantas-tidak pantas atau bahkan sangat mungkin juga mengabaikan batasan halal-haram. Orang semacam ini jelas tidak mengenal hakekat kesuksesan hidup. Definisi kesuksesannya sangat sempit, hanya terkurung dalam “domain dunia”. Bagi sebagian orang yang lain (orang-orang yang beriman), kesuksesan hidup itu bermakna sangat luas, tidak hanya terbatas dalam ‘domain dunia” tapi juga mencakup “domain akhirat”. Dengan demikian orang yang beriman akan melangkah dengan hati-hati. Disamping dia akan bekerja dengan sangat keras tapi juga terikat oleh batasan-batasan yang ketat, terutama mengenai batasan halal-haram, dia juga meletakkan harapan yang luar biasa (optimistis) akan mendapatkan kesuksesan.
Pernahkah kita merenungkan, bahwa apakah manusia akan dapat meraih semua yang dicita-citakan?? Allah SWT menjawab dalam Alqur’an surat Annajm: 24-25. ”Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?. (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia”. Bahwa, Allah SWT sajalah yang menentukan seseorang itu berhasil atau gagal, sukses atau tidak. Untungnya, Allah SWT Maha Pemurah, Maha Adil dan Maha Kasih Sayang, Dia memperlakukan manusia dengan sangat adil sesuai dengan kehendak-Nya. Bagi siapa saja yang mau bekerja keras, akan diberikannya imbalan yang setimpal tanpa pandang bulu. QS Huud : 15Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. Bagi orang yang tidak beriman, yang memandang bahwa kesuksesan itu hanyalah didunia saja, harta kekayaan, atau apapun yang didapatkan dan di cita-citakan pastilah kelak sia-sia. QS Huud:16 Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Sementara orang-orang yang beriman menyadari bahwa ada faktor lain yang menjadi prerogatif Allah SWT yang menyebabkan ada hasil yang berbeda dari tiap-tiap usaha atau pekerjaan. Itu semua karena Allah SWT hendak menguji manusia yang beriman, manakah diantara mereka yang paling ”ahsan” (baik) pekerjaannya, paling santun tutur katanya, paling baik akhlaqnya, paling profesional dalam mengatur urusannya, sebagaimana yang Allah SWT firmankan ”...supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling ahsan amalnya..” (QS Al-Mulk 2).
Bila kita perhatikan dengan seksama, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk meraih kesuksesan baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Tiga hal tersebut adalah Iman, Amal Sholih dan Ihsan. Iman sebagai landasan spiritual seseorang untuk senantiasa mampu berpikir positif dan bersikap optimis terhadap segala kemungkinan-kemungkinan dalam menjalani hidup, siap dengan kegagalan dan siap untuk bangkit kembali dari kegagalan itu. Amal sholih adalah implementasi dari keimanan yang menggerakkan seluruh potensi organ tubuh manusia dalam rangka ’menjemput’ rizki Allah yang bertebaran dimuka bumi ini. Dengan landasan pikiran optimis, orang yang beriman akan bekerja (beramal sholih) dengan maksimal. Sedangkan Ihsan adalah mekanisme muhasabah (evaluasi) atau respon terhadap umpan balik dari apa yang telah dikerjakan. Dengan Ihsan ini (yang menurut Ibnu Taimiyah didefinisikan sebagai proses untuk senantiasa memperbaiki amal) mampu mengantarkan orang yang beriman untuk terus mengevaluasi dan mengintrospeksi diri guna melakukan perbaikan-perbaikan dari amal dan pekerjaannya. Sehingga akan menghasilkan ”trend” kualitas pekerjaan yang semakin hari makin baik. Hal ini sangat sesuai dengan Sabda Rasulullah sebagai dasar kesuksesan, ”barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dialah orang yang sukses....”. Dengan sifat ihsan inilah seorang yang beriman akan mampu membangun rasa optimis yang luar biasa demi untuk meraih kesuksesan baik kesuksesan hidup didunia terlebih lagi kehidupan di akhirat ”Rabbana aatina fiddunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah waqina ’adzaabannaar” (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka) QS Albaqarah:201. Ketiga hal tersebut adalah intisari ajaran ISLAM sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para shabatnya melalui kisah malaikat Jibril yang diceritakan oleh Umar Bin Khaththab r.a dalam hadist ke-8 yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Bila ketiga hal tersebut dapat secara sinergi dijalankan dengan baik, maka akan mampu menghasilkan pribadi yang muttaqin yang pada akhirnya akan dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam QS Ath-thalaq 2-4 ”... Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (dalam segala urusannya)” (2). ” Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya...”(3). ”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (4) . dan QS Al-Hujurat:13 Sesungguhnya orang yang paling mulia (paling sukses) diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.
Itulah alasan mengapa Allah SWT memberikan momen spesial berupa bulan Ramadhan, bulan tarbiyyah (penggemblengan) dengan mewajibkan orang-orang yang beriman untuk ”berpuasa” (puasa fisik dan jiwanya. pen.) tidak lain adalah agar manusia bertaqwa (meraih kesuksesan yang haqiqi) QS Al-baqarah 183 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Setelah mendapatkan gemblengan yang intensif selama satu bulan penuh, maka pada IDUL FITRI lahirlah sebagai manusia baru bagaikan bayi yang baru lahir, yang bersih dari segala dosa karena dosa-dosa yang telah lalu diampuni oleh Allah SWT sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dari Abi Huroiroh r.a ”Barang siapa berpuasa di bulan ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dihapuskan dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhori dan Muslim). Lalu, apakah setelah IDUL FITRI usai selesai pula amalan-amalan yang dilakukan selama ramadhan???
TIDAK !, Semangat IDUL FITRI adalah semangat FUTURISTIK (kedepan) bukan menoleh kebelakang. IDUL FITRI harus menjadi Start-up untuk memulai hidup baru yang justru setelah IDUL FITRI amalan-amalan kita harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan. Ibarat kendaraan, Ramadhan adalah masa perakitan dan masa treatment (percobaan) untuk menjalankan mesin dan Idul Fitri adalah kondisi dimana kendaraan dalam keadaan fit and idle (siap untuk dijalankan). Oleh karena itu, dengan kondisi mesin yang ’reyen’ siap untuk ’diajak’ melakukan perjalanan panjang penuh tanjakan, tikungan serta aral rintangan. Demikian pula seseorang yang dalam keadaan FITRI berarti hadir dengan semangat baru, tenaga baru, pikiran baru dan siap untuk menapaki dan menyelesaikan persoalan kehidupan yang penuh tantangan. Maka, apakah sama antara mesin yang baru di ”tune up” dengan mesin yang bobrok?, Apakah sama antara orang yang sungguh-sungguh berpuasa dan yang tidak?, Apakah sama antara orang-orang yang bertaqwa dengan orang-orang fasik ?, ”Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang SUKSES” (QS Al-Hasyr: 20). Wallahu a’lamu bish-showab.

Monday, August 8, 2011

MENGUKUHKAN PERAN MANUSIA MELALUI RAMADHAN



Bismillahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillahirobbil’alamiin
AllahummaSholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa’alaa alihi wa ash-habihi ajma’iin
Pentingnya meluruskan niat (semua amal tergantung niatnya):
Hadist Nabi (HR Bukhori dan Muslim): "sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya..."

Mengapa kita perlu senantiasa memasang dan meluruskan niat, karena segala sesuatu tergantung niatnya dan niat akan berubah mengikuti situasi dan kondisi serta keimanan manusia. Demikian pula puasa, kalo niatnya cuman supaya tidak dikatakan “wah gak puasa” maka ya itu saja yang dia dapat.

Seiring dengan perjalanan hidup manusia yang begitu panjang, mulai dalam alam Ruh, Rahim, Dunia, Barzakh, Akhirat. Manusia hanya diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan dunia yang cukup singkat dibanding kehidupan Akhirat.
Allah berfirman :
(QS 23 Almu’minuun 114-115): "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui (114) Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (115)”
QS 79 Annazi’aat: 46 “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari”
Meski dalam waktu yang sebentar itu, kita mendapat tugas dan amanah yang luar biasa.
1.     Peran Personal yakni Menjadi hamba Allah yang baik dengan memurnikan semurni-murninya penghambaan QS 51:56
”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
”Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus..” (QS 98. Al Bayyinah:5)
       
2.     Peran Komunal yakni Menjadi kholifah (pengelola/mengatur/memakmurkan) bumi QS 2:30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.....”

Kedua peran ini secara fitriyah melekat(inheren) pada diri manusia, dan kelak akan dipertanggungjawabkan di Akherat. Peran-peran tersebut termaktub dalam Firman Allah SWT.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS 66-At tahrim : 6).

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (pada dirimu dan orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS 28-AlQashash: 77).

Firman Allah Swt. “Celakalah orang-orang yang shalat; yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan mereka yang riya (dalam shalatnya) dan enggan menolong orang lain dengan barang berguna” (QS. Al Maun 107:5-7)

Sabda Rasulullah SAW:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، الإمام راع ومسئول عن رعيته،والرجل راع في أهله وهومسئول عن رعيته ،والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها
"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya mengenai kepimpinannya. Imam (Kepala Negara) adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai kepimpinannya, Suami (Bapa) adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya mengenai kepimpinannya, Wanita pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya mengenai kepimpinannya” (HR al-Bukhari)
Bahkan jika kita perhatikan dengan seksama Rukun Islam sebagai pilar/tiang agama kita ini juga dibangun dari dua sisi (Personal: yakin Syahadat, Sholat serta Puasa dan Komunal: yakni Zakat dan Haji)
Bahkan Haji termasuk dalam peran komunal, Dari Jabir ra. Nabi Saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda mabrurnya?”. Nabi Saw menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan santun dalam berbicara” (HR. Ahmad, al-Tabrani,)
Bagaimana strategi mengemban 2 tugas utama kita ini?
1.     Binaa’un Nafsi è Ibda’ Binafsik è Menjadi teladan bagi diri sendiri
2.     Binaa’ul Usroh è menjadi teladan dalam keluarga
3.     Binaa’ul Mujtami’a è menjadi teladan dalam masyarakat
4.     Binaa’ul Ummah è menjadi teladan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara

2 Peran penting ini akan secara otomatis terlaksana apabila seseorang, masyarakat dan bangsa ini telah mencapai derajad taqwa. Oleh karena itu Allah SWT memfasilitasi untuk mendapatkan ketaqwaan itu di Bulan mulia Ramadhan ini dengan memanggil orang-orang yang beriman untuk melaksanakan shiyam di bulan ramadhan sebagai sarana untuk meraih ketaqwaan.

Mengapa Allah memanggil orang-orang yang beriman untuk melaksanakan shiyam dibulan Ramadhan ini? Karena Allah hanya menginginkan agar shiyam dilaksanakan atas dasar keimanan dan berharap mendapat ridho Allah SWT. Sebab, siapa yang berpuasa tidak dengan landasan iman dan mengharap ridho Allah, bahkan tetap saja melakukan perbuatan sia-sia, menggunjing, mengghibah, berdusta dan bermaksiat maka ia hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja, puasanya akan di tolak dan Allah tidak butuh dengan puasanya itu.
Maka, pada kesempatan yang luar biasa ini, yang tidak dijumpai di bulan-bulan yang lain, bulan promo besar-besaran, “gratis belanja selama 3 menit di 7-11”. Mari kita berfastabiqul khoirot untuk menjadi hamba yang baik sekaligus menjadi pemimpin yang baik. Mumpung bulan ramadhan, yang semula malu-malu belajar alqur’an, tidak perlu malu lagi untuk belajar, yang semula malu menggunakan jilbab tidak perlu malu lagi menggunakan jilbab, yang biasanya pelit senyum belajar senyum, yang biasa suka marah-marah di tahan, yang biasa suka ngomongin orang mulutnya di tutup dan belajar diam, yang biasa shodaqoh sedikit diperbanyak... 

Friday, August 5, 2011

FASE PERJALANAN MANUSIA


Dalam perjalanan hidupnya manusia akan melalui 7 [tujuh] tahap perjalanan hingga akhirnya mendapat kemenangan bertemu dengan Allah dan mendapat kesenangan di taman syurga atau menderita kekalahan terpuruk dilembah neraka. Tiap tahap ditempuh dalam waktu yang berbeda mulai dari hitungan beberapa bulan hingga ribuan tahun.
1. ALAM RUH
Perjalanan hidup manusia dimulai dari alam ruh ketika Allah mengumpulkan sekalian ruh manusia yang akan diturunkan kebumi dan berfirman:
” Bukankah Aku ini Tuhanmu “, Kemudian para ruh menjawab:
“Betul Engkaulah Tuhan Kami … “ Kejadian ini dikisahkan dalam Surah Al-A’Raaf , ayat 172
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Al-A’Raaf: 172)
2. ALAM RAHIM
Setelah membuat kesaksian tentang Allah selanjutnya satu persatu ruh tersebut dihembuskan Allah kedalam Rahim ibu sebagaimana disebutkan dalam Surah As-Sajadah, ayat 9:
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Sejak itu mulailah manusia memasuki tahap kedua dari perjalanan hidupnya. Kurang lebih selama 9 bulan janin manusia menetap di rahim ibu untuk kemudian setelah tiba waktunya lahir ke dunia menjadi seorang bayi.
3. ALAM DUNIA
Sejak lahir kedunia mulailah manusia memasuki tahap ketiga dari perjalanan hidupnya. Manusia hidup didunia dengan umur yang beragam mulai dari yang hidup hanya beberapa saat hingga yang hidup puluhan tahun bahkan ada yang lebih dari 100 tahun. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang pertama bagi manusia. Allah menjadikan dua kali kehidupan dan dua kali kematian bagi manusia sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah, ayat 28:
Bagaimana kamu tergamak kufur (mengingkari) Allah padahal kamu dahulunya mati (belum lahir), kemudian Ia menghidupkan kamu; setelah itu Ia mematikan kamu, kemudian Ia menghidupkan kamu pula (pada hari akhirat ) ….
Hidup yang pertama adalah kehidupan dunia dan hidup yang kedua adalah kehidupan akhirat, sedangkan mati yang pertama adalah ketika masih di alam ruh dan mati yang kedua ketika memasuki alam barzakh.
Kehidupan dunia adalah kehidupan yang menentukan apakah seseorang akan mendapat kebaikan atau kesengsaraan dialam akhirat. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang penuh dengan godaan dan tipuan, orang yang tidak kuat imannya niscaya akan terjebak dalam tipu daya syetan hingga berkekalan dalam dosa dan perbuatan yang dimurkai Allah.
Akhir dari kehidupan dunia adalah kematian dengan husnul khotimah atau su’ul khotimah.
Kematian adalah awal dari suatu perjalanan panjang yang tiada akhirnya, dimulai dari perjalanan di alam barzakh [kubur]
4. ALAM KUBUR [BARZAKH]
Jika kematian datang menghampiri seseorang maka putuslah hubungannya dengan kehidupan dunia.
Harta yang banyak, pangkat dan kehormatan, sanak saudara dan karib kerabat semua ditinggalkan. Hanya amal baik dan buruk itulah yang abadi menemani dengan setia sampai ke alam kubur. Amal baik seperti sholat, zakat, sedekah , wirid dan zikir, menolong orang, berjihad di jalan Allah, dan semua amalan soleh, semua itu akan membawa kebahagian dan ketenteraman di alam kubur.
Sebaliknya amal buruk seperti perbuatan dosa mendurhakai Allah melakukan perbuatan yang dilarang dan dimurkaiNya serta meninggalkan amal perbuatan yang diperintahkan semua itu akan membawa kesengsaraan di alam kubur.
Masa penantian yang penuh kesengsaraan bagi kaum pendosa dan penuh kebahagiaan bagi orang beriman di alam kubur akan berakhir pada hari kiamat kelak.
Kapan (bila) terjadinya kiamat? Tidak seorangpun yang dapat memperkirakan.
(21) Kemudian dimatikannya, lalu diperintahkan supaya ia dikuburkan;
(22) Kemudian apabila Allah kehendaki dibangkitkannya (hidup semula). (Abassa, 80: 21-22)
5. HARI KIAMAT [ KEBANGKITAN ]
Peristiwa kiamat dimulai dengan tiupan sangkakala dari malaikat Isrofil yang dikuti dengan hancurnya seluruh kehidupan dimuka bumi. Selanjutnya sunyi senyap. Kemudian pada tiupan sangkakala untuk yang kedua kalinya semua mahluk sejak bumi terbentang sampai kiamat dibangkitkan dan kumpulkan di padang mahsyar. Firman Allah dalam Surah Az-Zumar, ayat 68 :
“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).”
Padang mahsyar merupakan padang pasir dan bukit batu yang tandus dan kering penuh dengan batu karang yang tajam. Siang hari udaranya panas menggigit, tidak ada pohon rindang tempat berteduh, tidak ada mata air yang jernih tempat mandi dan minum. Manusia bergelimpangan dimana mana menjerit, mengeluh kepanasan dan kehausan. Sementara pada malam hari suasana gelap pekat dan dingin tiada cahaya yang menerangi, tiada selimut untuk menahan dingin.
Ditengah padang mahsyar tersebut terdapat wadi wadi yang penuh dengan pohon buah yang rindang serta mata air yang jernih dan sejuk, di dalamnya terdapat orang orang beriman dan saleh menikmati buah buahan dan mata air yang sejuk. Wadi tersebut ditutup bola kaca yang memisahkan suasana diluar bola kaca yang penuh kesengsaraan dengan keadaan didalam bola kaca [wadi] yang penuh kenikmatan dan kesenangan.
Keadaan seperti tersebut diatas dilukiskan dalam Al Qur’an Surah Al Hadid, ayat 12 – 15:
(12) (yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): “”Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak.”
(13) Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.”. Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.
(14) Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.”
(15) Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.
Manusia menunggu dipadang mahsyar selama waktu yang tak terhingga, sampai datangnya hari berhisab dimana setiap orang diperiksa dan ditimbang amal baik dan buruknya.
6. HARI BERHISAB
Pada hari berhisab setiap orang diadili, ditimbang amal baik dan buruknya tidak ada satu perbuatanpun yang luput dari pemeriksaan. Orang yang baik timbangan amalnya akan menerima raport dari sebelah kanan. Dia akan kembali kepada teman dan saudaranya dengan penuh kegembiraan. Sedangkan orang yang buruk timbangan amalnya akan menerima kitab raport (buku catatan) dari belakang, dia mengeluh dan kembali kepada teman serta saudaranya dengan berkeluh kesah. Susana tersebut diatas dilukiskan dalam Surah Insyiqaq, ayat 7 – 12
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”
7. HARI PEMBALASAN
Setelah menerima raport setiap orang diperintahkan menempuh perjalanan menuju tempat abadi yang telah disiapkan untuk mereka. Tempat abadi yang diharapkan oleh setiap orang adalah taman syurga yang penuh kesenangan dan kenikmatan, namun untuk memasuki taman syurga tersebut tidak mudah karena jalan menuju taman tersebut dikeliling oleh lembah neraka yang apinya membumbung tingi bergejolak dengan suaranya bergemuruh dahsyat .
Orang yang telah menerima raport dari sebelah kanan dengan mudah dapat melalui lembah neraka yang ganas tersebut, dia tidak merasakan panasnya api neraka sedikitpun. Dia sampai ditaman syurga abadi dengan penuh kegembiraan disambut oleh penduduk syurga dengan pesta meriah, hidup kekal selamanya di sana.
Namun orang orang yang menerima raport dari sebelah belakang terpuruk dilembah neraka, dan tidak pernah bisa keluar dari situ untuk selama lamanya, Firman Allah dalam Surah Maryam ayat 68 – 72 :
Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut. [68]
Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. [69]
Dan kemudian Kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang seharusnya dimasukkan ke dalam neraka. [70]
Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. [71]
Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. [72]
Mereka tidak punya persiapan sedikitpun untuk menghadapi kehidupan dialam barzakh maupun hari berbangkit. Dengan datangnya kematian tamatlah masa kejayaan mereka berganti dengan kesulitan dan penderitaan abadi untuk selama lamanya
Firman Allah dalam Surah Hud, ayat 15-16:
(15) Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
(16) Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? ( Hud 15-16)

Wednesday, August 3, 2011

HUKUM MEMBAWA ANAK KECIL KE MASJID

Assalaamu`alaikum wr wb.

Semoga Ustadz Farid Nu`man beserta keluarga senantiasa sehat, dan dalam perlindungan dan pertolongan Allah. Amien.

Langsung saja,

Ana ingin bertanya tentang larangan mengajak anak-anak ke Masjid. Ana dulu sering mengajak anak ana (umur 3 th) ke Masjid, tetapi karena mendapat peringatan dari takmir untuk tidak mengajak anak-anak ke Masjid (sekitar 1 th yang lalu), maka sejak itu ana tidak pernah lagi mengajak anak ke Masjid.

Belakangan baru saya tahu ada Hadits yang kurang lebih bunyi-nya adalah: 
"Jauhkanlah Masjid dari anak-anak dan orang gila"

Pertanyaan ana:
1. Apakah Hadits tersebut shahih? bagaimana penerapannya?
2. Mohon penjelasan mengenai hal ini yang dilengkapi dengan hadits-hadits dan kisah-kisah di jaman rosul tentang mengajak anak ke Masjid.
3. Bagaimana mengkomunikasikan dengan pihak takmir Masjid?
note: perlu diketahui bahwa ana adalah warga baru di kampung tersebut.

Demikian, Syukron, Jazakumullaahu khoiron Katsieroo.
Semoga Allah memudahkan kita untuk memegang teguh syari`atNya, AMien.

Wassalaamu`alaikum wr wb. (dari hamba Allah di Purwokerto, Jawa Tengah)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’du:

Saya ucapkan jazakallah khairan atas doa antum, semoga antum dan kelurga juga demikian.

Langsung saja ke pertanyaan antum:

1. Apakah Hadits tersebut shahih? bagaimana penerapannya?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ وَمَجَانِينَكُمْ

Jauhkan masjid-masjid kalian dari anak-anak kalian dan orang gila.

Hadits ini diriwayatkan oleh:

- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitabul Masajid Bab Maa Yukrahu fil Masajid No. 750.

Sanadnya: berkata kepada kami Ahmad bin Yusuf As Sulami, berkata kepada kami Muslim bin Ibrahim, berkata kepada kami Al Haarits bin Nabhan, berkata kepada kami ‘Uqbah bin Yaqzhan, dari Abu Sa’id, dari Makhul, dari Waatsilah bin Al Asqa’, bahwa Rasulullah bersabda: .... (disebut hadits di atas)

Dalam sanadnya terdapat Al Haarits bin Nabhan dan Abu Sa’id (yaitu Muhammad bin Sa’id Ash Shawab). Tentang Al Haarits bin Nabhan, Imam Bukhari berkata: “Munkarul hadits – haditsnya mungkar.” (At Tarikh Al Kabir, 2/284). Sebutan Imam Bukhari untuknya, munkarul hadits, adalah sebutan yang paling buruk menurut standar Imam Bukhari.

Imam Al ‘Ijili mengatakan: “Dhaiful hadits – haditsnya lemah.” (Ats Tsiqaat, 1/278)
Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, menyebutkan dari Imam Ahmad bin Hambal tentang Al Haarits bin Nabhan, katanya: “Laki-laki shalih tetapi tidak memahami hadits dan tidak menghapalnya, haditsnya mungkar.”

Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Laisa bisyai’ – dia bukan apa-apa.”
Imam Abu Hatim mengatakan: “Dhaiful hadits, matrukul hadits, munkarul hadits, - dia haditsnya lemah, ditinggalkan, dan mungkar.”

Imam Abu Zur’ah mengatakan: “Dhaiful hadits fi haditsihi wahn – lemah haditsnya, pada haditsnya ada kelemahan.” Beliau merasa heran dengan Yahya bin Ma’in yang cuma mengatakan: “bukan apa-apa.” (Lihat semua dalam Imam Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/92)

Imam Abu Nu’aim mengatakan: “dhaifnya orang dhaif.” (Imam Abu Nu’aim, Adh Dhu’afa, Hal. 72, No. 43)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Matrukul hadits – haditsnya ditinggalkan.”

Imam Ad Daruquthni mengatakan: “Laisa bil qawwi – bukan orang kuat.”

Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Telah keluar dari batas-batas kelayakan untuk dijadikan hujjah.” (Lihat Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, 1/183, No. 726), dan masih banyak lagi yang mendhaifkannya.

Lalu, tentang Abu Sa’id, berkata Imam Ahmad Al Kinani: “Dia adalah Muhammad bin Sa’id Ash Shawab, Imam Ahmad mengatakan bahwa dia secara sengaja memalsukan hadits. Imam Bukhari mengatakan: mereka (para ulama) meninggalkannya. Imam An Nasa’i mengatakan: kadzdzaab – pendusta. (Imam Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail Al Kinani, Mishbah Az Zujaajah, 1/95)

Oleh karenanya, segenap para imam muhadditsin melemahkan hadits ini.

- Imam Ibnu Mulqin mengatakan: “Hadits ini dhaif, dalam isnadnya terdapat Al Haarits bin Nabhan Al Bashriy Al Jurmiy.” (Al Badru Al Munir, 9/595)
- Imam Ibnu Rajab mengatakan: “Dhaif jiddan – sangat lemah”. (Fathul Bari, 2/567)
- Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif. “ (Fathul Bari, 1/549)
- Imam As Sakhawi mengatakan: “Sanadnya dhaif.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 286)
- Imam Ibnul Jauzi mengatakan: “Tidak shahih.” (Khulashah Al Badr Al Munir, 2/429)
- Imam Ash Shan’ani mengatakan: “hadits ini dhaif.” (Subulus Salam, 1/156)
- Imam Badruddin Al ‘Aini mengatakan: “dhaif.” (‘Umdatul Qari, 7/77)
- Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr mengatakan: “hadits ini dhaif.” (Syarh Sunan Abi Daud, 29/215)
- Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan: “Fahuwa dhaif.”(Syarh Riyadh Ash Shalihin, 1/266)
- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan: “Dhaiful isnad Jiddan –isnadnya sangat lemah.” (Ishlahul Masajid, Hal. 110. Lihat juga Al Irwa’, 7/361, At Ta’liq Ar Raghib, 1/120-121, Al Ajwibah An Nafi’ah, Hal. 55)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh:

- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7601, juga oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan As Shaghir No. 3256

Sanadnya: berkata kepada kami Abdan bin Ahmad bin Makhlad bin Rahawaih, berkata kepada kami Abu Nu’aim An Nakha’i, berkata kepada kami Al ‘Ala bin Katsir, dari Makhul, dari Abu Ad Darda, dan Abu Umamah, dan Al Waatsilah, mereka mengatakan: Kami mendengar Rasulullah bersabda: .... (disebut hadits di atas)

Dalam sanadnya terdapat Al ‘Ala bin Katsir, Imam Al Haitsami mengatakan: “dhaif.” (Majma’ Az Zawaid, 2/140)

Imam Ibnul Madini mengatakan: “Dhaif.” Imam Bukhari mengatakan: “Munkarul hadits.” Imam Ahmad mengatakan: “Bukan apa-apa.” Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: “Dia meriwayatkan dari Makhul, dari sahabat, dan semuanya tidak ada yang terjaga.” (Lihat semua dalam Mizanul I’tidal, 3/492)

Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu.” (Al ‘Ilal Al Mutanahiyat, 1/403, No.677)

Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Telah disepakati kedhaifannya.” (Al Mughni Fidh Dhu’afa, 2/440)

Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh Imam Az Zaila’i, Beliau mengatakan: “Sanad hadits ini dhaif.” (Nashbur Rayyah, 2/492), juga oleh Imam Ibnul Jauzi. (Al ‘Ilal Al Mutanahiyat, 1/403)

Lalu, hadits ini juga diriwayatkan oleh:

- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20055

Sanadnya: mengabarkan kami Abu Sa’id bin Abi Amru, berkata kepada kami Abu Abdillah Ash Shafar, berkata kepada kami Ahmad bin Mihran Al Ashbahani, berkata kepada kami Abu Nu’aim (yakni An Nakha’i), bercerita kepada kami Al ‘Ala bin Katsir, dari Makhul, dari Abu Ad Darda, dan dari Waatsilah, dan dari Abu Umamah, semua meriwayatkan dan mengatakan: kami mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ........... (lalu disebut hadits di atas)

Hadits ini juga terdapat Al ‘Ala bin Katsir, yang sudah dijelaskan kedhaifannya di atas. Oleh karena itu Imam Al Baihaqi: “Al ‘Ala bin Katsir adalah orang Syam, dia munkarul hadits. Disebutkan pula dari Makhul dari Yahya bin Al ‘Ala dari Mu’adz secara marfu’, dan juga tidak shahih.” (Lihat keterangan Imam Al Baihaqi sendiri dalam As Sunan Al Kubra No. 20055)

Hadits ini juga diriwayatkan jalan lain, sebagaimana disebutkan Imam Abdul Haq, dari jalan Al Bazzar yang merupakan hadits dari Abdullah bin Mas’ud secara marfu’: “Jauhilah oleh kalian masjid dari anak-anak dan orang gila.” Imam Al Bazzar mengatakan: “Tidak ada dasarnya ucapan ini berasal dari Abdullah bin Mas’ud.” Berkata Ibnul Qaththan: “Hadits ini dan ucapan setelahnya, bukanlah termasuk sanadnya Abdullah bin Mas’ud dalam kitabnya Al Bazzar.” (Lihat Al Badru Al Munir, 9/567)

Lalu, hadits ini juga berasari dari Hatim bin Ismail, dari Abdullah bin Al Muharar, dari Yazid bin Al Asham, dari Abu Hurairah secara marfu’: ... (lalu disebut hadits di atas).

Hadits ini juga dhaif. Imam Ibnul Mulqin mengatakan tentang riwayat ini: “Abdullah (bin Al Muharar) adalah orang yang binasa, dan manusia meninggalkan haditsnya.” (Ibid)

Oleh karenanya, Imam Az Zaila’i mengatakan:

وَأَسَانِيده كلهَا ضَعِيفَة

Semua sanad-sanadnya adalah dhaif. (Ad Dirayah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 1/288)

Maka, semua jalur hadits ini adalah dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak pula bisa diterapkan, serta bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan kebolehan membawa anak-anak ke masjid.

2. Mohon penjelasan mengenai hal ini yang dilengkapi dengan hadits-hadits dan kisah-kisah di jaman Rasul tentang mengajak anak ke Masjid.

Riwayat yang menyebutkan membawa anak-anak ke masjid begitu banyak dan beragam. Di sini kami sebutkan beberapa saja tentang kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membawa cucu-cucunya ketika shalat berjamaah bersama para sahabat, di antaranya:

Dari Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu shalat sambil menggendong Umamah -puteri dari Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdisysyams- jika Beliau sujud, beliau meletakkan Umamah, dan jika dia bangun dia menggendongnya. (HR. Bukhari No. 516, Muslim No. 543)

Riwayat lainnya:

عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُسَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَىرَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ "

Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ bin Abdul ‘Uzza - berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasa’i No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 827. Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)

Apa Hikmahnya?

قال الفاكهانيوكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفهمن كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول.

“Berkata Al Fakihani: “Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)

Riwayat lainnya, Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصروهو حامل(حسن أو حسينفتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهريصلاته سجدة أطالها، قالإني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلموهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناسيا رسول الله إنك سجدت بين ظهريالصلاة سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكنابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar untuk shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein), lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata: “Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?” Beliau bersabda: “Semua itu tidak terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.” (HR. An Nasa’i No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا