Tuesday, May 29, 2012

Hari Anak Sedunia, Pengarusutamaan pendidikan anak dalam keluarga di era globalisasi




Oleh: Sigit Tri Wicaksono

Bismillahirrohmaanirrohiim,ba'da hamdalah dan sholawat,


Sepenggal kisah seorang anak muda belia berjalan mendekati Rasulullah SAW, yang tengah mempersiapkan pasukan menghadapi perang Uhud, dengan membawa sebilah pedang yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, dialah Zaid bin Tsabit r.a yang saat itu masih berusia sekitar 11 tahun. Namun karena usianya yang masih terlalu muda, serta Rasulullah SAW melihat bakat kecerdasan si Zaid kecil yang luar biasa, akhirnya beliau menggantikan tugas jihadnya dengan mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, dan masyaAllah hanya dalam waktu 32 hari kedua bahasa itu bisa dikuasai dengan baik. Lalu kemudian Rasulullah menjadikannya sekretaris untuk menulis dan menghafal wahyu yang diterima Rasulullah, dan dalam waktu yang singkat pula dapat menghafal 17 surat Alqur'an.
Berbeda halnya dengan Rafi' bin Khadij r.a yang usianya sebaya dengan Zaid, agar kelihatan tinggi ia menjinjitkan kakinya. Ia juga didukung oleh ayahnya, Khadij, menyampaikan kepada Rasulullah dengan menunjukkan kelebihan anaknya dalam kelihaian memanah. Akhirnya Rasulullah SAW mengijinkan untuk turut serta dalam perang Uhud. Namun, hal ini menjadikan iri Samurah bin Jundub (r.a) yang kemudian merayu ayah tirinya, Murrah bin Sinan (r.a) agar minta diijinkan perang oleh Rasulullah dengan cara menguji ketangkasan berkelahi melawan Rafi' (r.a) dan karena Samurah berhasil mengalahkan Rafi', akhirnya dia juga diijinkan dalam perang Uhud. Dan masih banyak lagi golongan anak-anak yang sebaya yang memiliki semangat jihad yang begitu membara antara lain,  Usamah bin Zaid (r.a), Zaid bin Arqam (r.a), Barra bin Azib (r.a) Amr bin Hizam (r.a), Usaid bin Zhuhair (r.a), Urabah bin Aus (r.a), dan Abu Sa'id al Khudri (r.a). Ada ibrah yang begitu luar biasa, semangat jihad berperang melawan musuh-musuh Islam. 
Bertolak belakang dengan anak-anak generasi zaman sekarang, yang cenderung manja, penakut, instan dalam meminta hajat kebutuhannya, cengeng dll. Disisi lain mereka nampak lebih dahulu matang sebelum waktunya dalam urusan duniawi, suka begadang, bermain, menghamburkan waktu dan uang, bahkan pada usia yang belum balighpun mereka telah mengetahui bagaimana hubungan suami istri, NA'UDZUBILLAHI MIN DZAALIK !!!!. Itulah kondisi zaman sekarang, mau tidak mau, suka atau tidak suka zaman itu telah terbentang didepan mata kita, ini nyata sobat !!!! Itulah peperangan dan pertarungan yang sejatinya sama dengan kondisi jaman dulu, hanya saja modus peperangannya berbeda. Kalau jaman dulu peperangan terjadi secara fisik, musuhnya nyata dan berhadap-hadapan, perhitungannya pun juga bisa jadi eksak (secara alamiyah yang banyak pasti menang). Namun sekarang, peperangan terjadi justru tidak secara fisik, namun dampaknya jauh lebih destruktif. Kalo peperangan fisik, kalah dalam peperangan hanya akan mengalahkan satu generasi. Tapi peperangan yang sekarang, peperangan peradaban, pihak yang kalah akan sangat mungkin mengalami kekalahan berkepanjangan hingga beberapa generasi. Sebab yang diserang bukanlah fisik, tapi BUDAYA dan PERADABAN. Lalu, bagaimana menanggulanginya ??
Tidak ada cara lain, pendidikan terhadap anak harus menjadi mainstream (arus utama) bagi setiap orang tua, harus dilakukan sejak dini. Rasulullah berpesan agar ummatnya mengajari anak-anaknya untuk menunggang kura, berenang dan memanah. Sejatinya beliau berpesan bahwa ketiga zona peperangan harus dikuasai, baik darat, laut maupun udara dengan berbagai macam teknologinya. Harus ada generasi muslim yang jago mengendarai berbagai kendaraan tempur, harus ada yang menjadi ahli nuklir, hacker, ahli medis, spionase/taktik perang  dan semua bidang ilmu. Nah, kalau sudah bicara hal yang kompleks seperti ini, maka unsur yang paling penting adalah persatuan/Ukhuwah, dan sistem kehidupan yang sistematis dan komprehensif. Tidak bisa lagi kita bicara masalah fiqih, ekonomi, politik, sosial, lingkungan dll secara terpisah dalam dikotomi domain atau ranah yang berbeda. Maka yang dibutuhkan adalah SYUMULIYATUL ISLAM. Palestina telah mengajari kita bagaimana mengorganisir berbagai persoalan secara sistemik meski dalam keadaan Chaos sekalipun. Pendidikan anak tetap menjadi arus utama untuk regenerasi benih-benih para mujahid.



Dalam konteks Hari Anak Dunia ini,  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak, di antaranya:

1. Mendidik anak dengan cara-cara yang baik dan sabar agar mereka mengenal dan mencintai Allah, yang menciptakannya dan seluruh alam semesta, mengenal dan mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang pada diri beliau terdapat suri tauladan yang mulia, serta agar mereka mengenal dan memahami Islam untuk diamalkan. Ajarkanlah Tauhid, yaitu bagaimana mentauhidkan Allah, dan jauhkan serta laranglah anak dari berbuat syirik. Sebagaimanan nasihat Luqman kepada anaknya,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau memperskutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’” [Luqman: 13]
2. Pada usia balita (sekitar 2-5 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik serta bacaan Al-Qur-an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para Shahabat dan generasi Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah hafal Al-Qur-an pada usia sangat belia.
Allah telah memberikan kelebihan kepada manusia pada masa kecilnya dengan kemampuan menghafal yang luar biasa. Oleh karena itu, orang tua harus pandai memanfaatkan kesempatan untuk mengajarkan anak-nya dengan hal-hal yang bermanfaat pada usia-usia balita. Usaha ini harus terus dijalankan, meskipun mungkin di sekitar tempat tinggal kita tidak ada sekolah semacam tahfizhul Qur-an. Kita dapat mengajarkannya di rumah kita, dengan kemampuan kita, karena pada dasarnya Al-Qur-an itu mudah.
3. Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua kepada anaknya. Shalat merupakan tiang agama, jika seseorang melalaikannya niscaya agama ini tidak bisa tegak pada dirinya. Shalat ini pulalah yang pertama kali akan dihisab oleh Allah di akhirat. Untuk itulah, hendaknya orang tua dengan tiada bosan senantiasa memberikan contoh dengan shalat di awal waktu dengan berjama’ah di masjid, mengajaknya serta menanyakan kepada anaknya apakah dia telah menunaikan shalatnya ataukah belum.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).” [3]
Mengajak isteri dan anak kita untuk melaksanakan shalat di awal waktu, merupakan salah satu perintah dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk tetap sabar dalam menunaikan kewajiban ini, termasuk sabar dalam mengingatkan isteri dan anak kita untuk tetap menegakkannya.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kami-lah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertaqwa.” [Thaahaa : 132]
Jika anak kita sudah berumur 10 tahun, hendaknya sang ayah mengajaknya untuk menunaikan kewajiban shalat dengan berjama’ah di awal waktu di masjid. Ini merupakan pendidikan praktis yang sangat bermanfaat, karena dalam benak si anak akan tertanam kebiasaan dan perhatian yang mendalam tentang kewajiban yang sangat mulia ini. Terdapat banyak sekali hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya.
Seseorang yang lalai dalam shalatnya, maka ia akan mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ
“Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” [Maryam (19): 59]
Bentuk menyia-nyiakan shalat di antaranya adalah melalaikan kewajiban shalat, menyia-nyiakan waktu shalat dengan tidak melaksanakannya di awal waktu. Yang dengan sebab itu, mereka akan menemui kesesatan, kerugian dan keburukan.
Wallaahu a’lam bish shawaab.[4]
4. Perhatian orang tua kepada anaknya juga dalam hal akhlaknya.
Anak harus diajarkan akhlak yang mulia, jujur, berkata baik dan benar, berlaku baik kepada keluarga, saudara, tetangga, juga menyayangi yang lebih kecil serta menghormati yang lebih tua, dan yang harus menjadi penekanan utama adalah akhlak (berbakti) kepada orang tua.
Durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar yang paling besar setelah syirik (menyekutukan Allah). Orang tua haruslah memberikan teladan kepada anaknya dengan cara dia pun berbakti kepada orang tuanya dan berakhlak mulia.
5. Juga perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh jelek temannya akan berimbas pada perilaku dan akhlak anaknya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
“Seseorang bergantung pada agama temannya. Maka hendaknya ia melihat dengan siapa dia berteman.” [5]
Apalagi kita mengetahui bahwa sesuatu yang jelek akan mudah sekali mempengaruhi hal-hal yang baik, namun tidak sebaliknya, terlebih dalam pergaulan muda-mudi seperti sekarang ini yang cenderung melanggar batas-batas etika seorang muslim. Mereka saling berkhalwat (berdua-duaan antara lawan jenis), sehingga bisikan syaitan mudah sekali menjerumuskan dirinya ke jurang kenistaan.
Atau pengaruh obat-obat terlarang yang dapat menjadikan dirinya bergantung dan merasa ketagihan terhadap obat-obat penenang yang diharamkan oleh Allah. Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan (NARKOBA) yang dilakukan generasi muda kaum muslimin telah banyak menjeremuskan mereka kepada kehinaan dan kesengsaraan.
Usaha yang telah kita curahkan beberapa tahun bisa saja menjadi sia-sia hanya karena anak kita salah memilih teman bermain atau teman di sekolah. Untuk itu, haruslah diperhatikan akhlak teman anak kita, apakah temannya itu memiliki pemahaman agama yang baik, apakah shalatnya baik, apakah dia senan-tiasa nasihat-menasihati dan tolong-menolong dalam kebajikan??
6. Berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu-waktu yang mustajab
Di samping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya sebagai isteri yang shalihah, hendaknya sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu-waktu yang mustajab (waktu terkabulkannya do’a), seperti sepertiga malam yang terakhir, agar keluarganya dijadikan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, agar dia, isterinya, dan anak-anaknya dijadikan orang-orang yang shalih dan shalihah.
Seperti do’a yang tercantum di dalam Al-Qur-an:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]
Paling tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya, dihormati oleh sang isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi hamba-hamba Allah yang shalih dan shalihah, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Aamiin.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), Ahmad (II/5, 54, 111) dari Ibnu ‘Umar radhi-yallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 292) dan Ibnu Hibban (no. 1562) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Al-Hafizh Ibnu Hajar menshahihkan hadits ini dalam Fat-hul Baari (XIII/113), lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1636).
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 495), Ahmad (II/180, 187) dengan sanad hasan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallaahu ‘anhum.
[4]. Lihat Tafsiir Ibnu Katsir (III/141-143).
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4833), at-Tirmidzi (no. 2378), Ahmad (II/303, 334) dan al-Hakim (IV/171), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

No comments:

Post a Comment