Wednesday, June 8, 2011

Ada apa dibalik Isra' Mi'raj ??

Bismillahiroohmaanirrohiim,
Alhamdulillahi robbil 'alamiin


Wash-sholaatu wassalaamu 'alaa rosuulillahil lariim,




Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya untuk kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)

Dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, banyak perdebatan yang timbul di kalangan kaum muslimin. Apakah nabi Muhammad s.a.w melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruhnya saja? Apakah dengan ruh dan jasadnya sekaligus? Ataukah dalam mimpi saja? Pertanyaan ini sering memunculkan jawaban yang beraneka-ragam sesuai dengan pendekatan masing-masing penafsir. Sebagian kalangan rasionalis seperti Imam al-Zamakhsyari, menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj hanyalah terjadi dengan ruhnya saja. Hal itu didasarkan pada pernyataan A’isyah r.a. ia bersumpah demi Allah tidak kehilangan jasad Rasulullah s.a.w. dan bahwa Nabi Mi’raj dengan ruhnya. Demikian juga pernyataan Mu’awiyah (al-Zamakhsyari, 2006: 623). Sedangkan menurut al-Hasan, peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu terjadi hanya dalam mimpi (fî al-manâm). Adapun mayoritas mufassir (jumhûr) menyatakan bahwa peristiwa agung itu terjadi di alam sadar (fi al-yaqzhân) bukan dalam tidur (fî al-manâm) dan dengan ruh dan jasad Nabi s.a.w sekaligus. Pernyataan ini didukung oleh Abdurrahman al-Sa’di dalam tafsirnya  (al-Sa’di, 2003: 428).
Bermacam-macam interpretasi (penafsiran) di kalangan mufassir perihal Isra’ dan Mi’raj sungguh membingungkan kalangan awam umat Islam. Menurut Ust. Supriyanto Pasir, setidaknya ada tiga pendekatan dalam memahami peristiwa Isra’ dan Mi’raj, jika khilafiyah itu dikembalikan kepada ayat Alqur’an itu sendiri, yaitu pendekatan ke-bahasa-an, pendekatan ke-sejarah-an dan pendekatan ke-iman-an. Dengan tiga pendekatan ini kita akan mampu memunculkan pemahaman yang komprehensif.
Pertama, pendekatan ke-bahasa-an (lughatan), jika kita perhatikan dengan seksama, Allah s.w.t  memulainya firman-Nya dengan subhâna. Hal ini akan menjadi sebuah indikasi bahwa apa yang akan dikatakannya kemungkinan akan mengagetkan manusia karena merupakan suatu peristiwa yang luar biasa. Yaitu diperjalankannya Nabi Muhammad s.a.w hanya di sebagian malam dengan jarak yang jauh, kemudian naik menembus langit ke tujuh, Sidrah al-Muntaha dan hingga al-Mustawa. Penyebutan kata lailan dengan bentuk nakirah adalah memiliki arti menyedikitkan masa perjalanan al-Isra’ (taqlîl muddati al-isrâ’) sehingga dapat ditafsirkan dengan kata min al-lail (al-Baidhawi, 2003: 563) di manamin di sini berfungsi sebagai li al-tab’îdh (untuk menunjukkan jarak yang jauh). Selanjutnya, kata ‘abdun dalam kalimatbi ‘abdihi, dalam bahasa Arab adalah menunjuk kepada seseorang yang terdiri dari jasad dan ruh. Karena jasad tanpa ruh adalah mayyitun dan ruh tanpa jasad juga tidak bisa disebut ‘abdun, dalam pengertian yang sesungguhnya.
Kedua, pendekatan ke-sejarah-an (târikhiyyah). Pada bagian ini penting untuk mengkritisi dua (kejanggalan) pernyataan dari ‘Aisyah r.a dan Mu’awiyah r.a. Kejanggalan pertama, terkait dengan pernyataan ‘Aisyah, bahwa ia tidak kehilangan jasad Nabi s.a.w di malam Isra’ dan Mi’raj. Hal ini janggal sekali jika peristiwa itu terjadi satu tahun sebelum hijrah. Mengapa? Karena ‘Aisyah baru berkumpul dengan Nabi Muhammad s.a.w. dan tinggal serumah dengannya adalah saat setelah hijrah ke Madinah, maka pernyataan ini diragukan kebenarannya. Kejanggalan kedua, terkait dengan Mu’awiyah, saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj dia masih belum masuk Islam, dia baru ber-Islam saat terjadi Fathu Makkah. Apa yang ia sampaikan hanyalah berdasar kepada logikanya saja.
Ketiga, pendekatan ke-iman-an (al-imân). Peristiwa Isra’ dan Mi’raj pertama kali dibenarkan oleh Abu Bakar tanpa melalui proses berpikir panjang jika sumbernya adalah Nabi Muhammad s.a.w. hingga ia digelari dengan as-shiddiq. Disini yang perlu kita sadari adalah bahwa tidak ada sesuatu hal yang mustahil dalam setiap peristiwa yang Allah s.w.t kehendaki, Dia Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Pertama, peristiwa boikot yang dilakukan orang kaum Quraisy kepada seluruh keluarga Bani Hasyim. Kaum Quraisy tahu bahwa sumber kekuatan Nabi Saw adalah keluarganya. Oleh karena itu untuk menghentikan dakwah Nabi Saw. sekaligus menyakitinya, mereka sepakat untuk tidak mengadakan perkawinan, transaksi jual beli dan berbicara dengan keluarga bani Hasyim. Mereka juga bersepakat untuk tidak menjenguk yang sakit dan mengantar yang meninggal dunia dari keluarga Bani Hasyim. Boikot ini berlangsung kurang lebih selama tiga tahun. Tentunya boikot selama itu telah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan khususnya kepada Nabi Saw. dan umumnya kepada keluarga Bani Hasyim. 

Kedua, peristiwa wafatnya paman beliau, Abu Thalib. Peristiwa ini menjadi sangat penting dalam perjalanan dakwah N! abi Saw. sebab Abu Thalib adalah salah satu paman beliau yang senantiasa mendukung dakwahnya dan melindungi dirinya dari kejahilan kaum Quraisy. Dukungan dan perlindungan Abu Thalib itu tergambar dari janjinya," Demi Allah mereka tidak akan bisa mengusikmu, kecuali kalau aku telah dikuburkan ke dalam tanah." Janji Abu Thalib ini benar. Ketika ia masih hidup tidak banyak orang yang berani mengusik Nabi Muhammad Saw, namun setelah ia wafat kaum Quraisy menjadi leluasa untuk menyakitinya sebagaimana digambarkan dalam awal tulisan ini. 

Ketiga, peristiwa wafatnya istri beliau, Siti Khadijah r.a. Peristiwa ini terjadi tiga hari setelah pamannya wafat. Siti Khadijah bagi Nabi Saw. bukan hanya seorang istri yang paling dicintai dan mencintai, tapi juga sebagai sahabat yang senantiasa mendukung perjuangannya baik material maupun spiritual, yang senantiasa bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Oleh karena itu, wafatnya Siti Khadijah menjadi pukulan besar bagi perjuangan N! abi Saw.. 

Tiga peristiwa yang terjadi secara berurutan itu sangat berpengaruh pada perasaan Rasulullah Saw. ia sedikit sedih dan gundah gulana. Ia merasakan beban dakwah yang ditanggungnya semakin berat. Oleh karena itu para sejarawan menamai tahun ini dengan ámul hujn (tahun kesedihan). 

Dalam kondisi seperti itulah kemudian Allah Swt. mengundang Nabi Saw. melalui peristiwa isra dan mi'raj. Isra' adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa sedangkan mi'raj merupakan peristiwa dinaikannya Nabi Saw. dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Peristiwa Isra Miraj ini mengajarkan banyak hal kepada Nabi Saw. Dalam perjalanan isra' ia melihat negeri yang diberkahi Allah Swt. dikarenakan di dalamnya pernah diutus para Rasul. Sedangkan dalam perjalanan mi'raj ia melihat tanda-tanda kebesaran Allah Swt. "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari, dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkati sekelilingnya, ! supaya kami perlihatkan ayat-ayat Kami kepadanya. Sesungguhnya Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Al Isra :1). "Sesungguhnya ia (Muhammad) melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) di waktu yang lain. Yaitu di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha itu diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya ia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (Q.S An-Najm : 13-18). 

Isra' dan mi'raj merupakan pengalaman keagamaan yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad Saw.. Puncaknya terjadi di Sidratul Muntaha. Muhammad Asad menafsirkan Sidratul Muntaha dengan lote-tree farthest limit (pohon lotus yang batasnya paling jauh). Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dengan demikian secara simbolik Sidratul Muntaha dapat diartikan se! bagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan. 

Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Isra' ayat 1)

Apa itu Isra' Mi'raj?

Secara bahasa Isra'  berarti berjalan pada waktu malam hari (saara lailan). Sedangkan kata Mi'raj berasal dari kata 'araja yang berarti naik.
Sementara secara istilah, Isra'  Mi'raj adalah peristiwa berjalannya Rasulullah saw pada malam hari dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha lalu naik dari bumi (Masjidil Aqsha) ke langit (Sidratul Muntaha).

Apa dalil adanya Isra' Mi'raj?

Peristiwa Isra' dijelaskan secara tegas oleh Allah dalam surat al-Isra' ayat 1  yang berbunyi:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: "Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Isra' ayat 1).

Sedangkan peristiwa Mi'raj, tidak dijelaskan oleh Allah secara tegas sebagaimana peristiwa Isra'. Namun demikian, peristiwa ini tetap disinggung dalam al-Qur'an, misalnya dalam firmanNya surat an-Najm berikut ini:
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (12) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (18)
Artinya: "Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang Telah dilihatnya? Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,  (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia Telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar" (QS. An-Najm ayat 12-18).

Mengapa ketika berbicara peristiwa Isra', Allah menjelaskannya dalam al-Qur'an secara langsung dan jelas, sementara ketika berbicara mengenai Mi'raj tidak dijelaskan secara langsung dan jelas?
Sebagian ulama, sebagaimana diutarakan Syaikh Sya'rawi dalam bukunya al-Isra' wal Mi'raj, mencoba memberikan jawaban bahwa peristiwa Isra' adalah peristiwa yang terjadi di bumi. Peristiwa di bumi umumnya dapat ditangkap dengan akal. Karena itu, Allah menjelaskan peristiwa Isra' secara jelas dan langsung.

Sedangkan peristiwa Mi'raj adalah peristiwa langit (samawy). Peristiwa samawi umumnya tidak dapat ditangkap dengan akal. Sehingga, sekalipun dijelaskan secara tegas dan langsung, akal tetap sulit  dan tidak bisa menerimanya. Karena peristiwa langit bukanlah jangkauan akal. Di sinilah pentingnya dan diujinya keimanan. Seolah Allah hendak mengatakan, apakah anda masih mengukur sesuatu berdasar akal saja, sementara yang tidak masuk akal tidak diimani? Apabila segala sesuatu harus sesuai dengan akal, maka dimana letak keistimewaan agama? Kalau demikian, apa bedanya dengan filsafat?

Dengan kata agama, sesungguhnya terdapat banyak hal yang juga harus diyakini sebagai sebuah kebenaran sekalipun di luar jangkauan akal. Karena ketika menyakini hal itu, berarti ia meyakini adanya Allah dengan segala kegagahan dan kesempurnaanNya. Dan di sinilah keistimewaan seorang mu'min; ia akan mempercayai dan meyakini apa yang dinilainya masuk akal dan apa yang tidak masuk akal.

Kapan terjadinya Isra' Mi'raj
Terdapat perbedaan pendapat  yang sangat beragam mengenai kapan terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj ini. Imam as-Suyuthi dalam bukunya, al-Isra' wal Mi'raj, misalnya menuturkan terdapat lebih dari sepuluh pendapat yang berbicara tentang waktu terjadinya Isra' Mi'raj ini. Hanya saja, menurut pendapat yang paling kuat, bahwa peristiwa Isra' Mi'raj ini terjadi pada hari Senin tanggal 27 Rajab sebelas tahun lebih sembilan bulan setelah Rasulullah saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Tepatnya pada saat Rasulullah saw berusia 51 tahun lebih sembilan bulan (lihat dalam ar-Raud al-Fa'iq karya Syaikh Syu'aib bin Sa'ad Abdul Kafi).

Peristiwa Isra' Mi'raj terjadi setelah dua pembela dan pendukung kuat dakwah Rasulullah saw meninggal dunia, yakni Abu Thalib, pamannya dan Siti Khadijah, isterinya. Abu Thalib dan Khadijah meninggal pada tahun yang sama.
Peranan Abu Thalib dan Khadijah sangat besar bagi ketegaran dan keamanan dakwah Rasulullah saw. Abu Thalib adalah 'bodyguard' beliau dari luar rumah, sementara Khadijah adalah 'bodyguard' nya dari dalam rumah. Oleh karena itu, ketika Abu Thalib masih ada, Rasulullah saw merasa aman karena tidak ada orang kafir Quraisy yang berani menantang dan mengganggunya secara terang-terangan. Paling hanya tokoh-tokohnya saja. Semua itu, lantaran posisi Abu Thalib di hadapan bangsa Arab saat itu, sangat terhormat dan dihormati.

Demikian juga, ketika beliau sedih dan merasa kurang nyaman, beliau ada 'bodyguard' lainnya yang senantiasa menenangkan dan memberikan kedamaian dari dalam rumah yakni Khadijah tercinta. Namun, ketika Abu Thalib menigngal dunia, orang-orang kafir Quraisy sangat berani mengganggu Rasulullah saw, bukan saja tokoh-tokohnya, akan tetapi juga termasuk orang-orang level bawahnya. Meski demikian, Rasulullah saw tetap masih bisa tegar dan dapat berbagi dengan isteri tercintanya. Bahkan, Khadijah pandai menenangkan sekaligus menghibur Rasulullah saw apabila ada masalah dan gangguan orang-orang Quraisy. Ketika tidak berapa lama dari meninggalnya Abu Thalib, Khadijah pun meninggal, Rasulullah saw betul-betul terpukul. Karena kini semua penderitaan harus ditanggung sendiri, tanpa ada yang membela dan tanpa ada yang memberikan ketenangan. Oleh karena itu, dalam sejarah Islam, tahun tersebut dikenal dengan 'aamul huzmi (tahun kesedihan).

Untuk memberikan hiburan atas kesedihan yang diterima Rasulullah saw saat itu, Allah swt lalu memberikan refreshing kepada Rasulullah saw melalui peristiwa Isra'  Mi'raj. Peristiwa Isra' Mi'raj di samping sebagai ajang penghibur Rasulullah saw, juga untuk lebih meyakinkan lagi,  bahwa sekalipun kedua pembelanya sudah meninggal dunia, namun yang menciptakan kedua pembelanya itu tidak akan pernah meninggal dunia. Allah juga seolah hendak mengatakan kepada Rasulullah saw bahwa kekuasaan dan kekuatan Allah di atas kekuatan seluruh manusia, karena itu tidak boleh merasa takut dan terlalu bersedih. Selama dalam kebenaran dan jalanNya, Allah akan terus menjaga dan melindungi. Allahu akbar..


Peristiwa-peristiwa yang didapati Rasulullah saw ketika Isra' 

Dalam banyak hadits dan riwayat disebutkan bahwa selama perjalanan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah saw mendapatkan beberapa peristiwa dan kejadian, di antaranya apa yang disampaikan dalam hadits riwayat Imam Baihaki berikut ini:

1.Rasulullah saw mendapatkan sekelompok orang yang menanam dalam satu hari, dan keesokan harinya langsung dapat menuai hasilnya (memanennya). Setelah dipanen, tanaman itu kembali seperti semula, dan keesokan harinya kembali dipetik hasilnya. Demikian seterusnya. Ketika ditanyakan, Jibril menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang berjihad (berjuang) di jalan Allah, Allah melipatgandakan pahala kebaikannya menjadi tujuh ratus kali lipat".

2.Rasulullah saw juga mendapatkan seorang wanita yang sudah sangat bungkuk. Wajahnya hampir mengenai tanah saking tuanya. Rasulullah saw lalu menanyakan kepada Jibril siapa wanita tua itu. Jibril menjawab: "Itu adalah gambaran dunia, bahwa usia dunia saat ini sudah sangat tua sebagaimana tuanya wanita bungkuk tersebut".

3.Rasulullah saw juga melihat sekelompok orang yang memukuli kepala mereka sendiri dengan batu, sampai kepalanya pecah sambil berteriak kesakitan. Namun, meski kesakitan, ia terus memukulnya dengan keras. Ketika kepalanya sudah pecah, kepalanya kembali seperti semula, dan ia pun kembali memukul-mukulnya sampai pecah dan demikian seterusnya. Ketika Rasulullah saw menanyakan siapa mereka, Jibril menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang malas dan sangat berat untuk melakukan shalat wajib".

4.Rasulullah saw juga mendapatkan sekelompok orang yang dikelilingi oleh pohon yang berduri tajam. Mereka memakan duri-duri dan benda-benda tajam yang berada di hadapannya sambil meraung-raung seperti unta dan kambing. Ketika ditanya, Jibril menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat harta mereka".

5.Rasulullah saw juga mendapati sekelompok orang yang di hadapannya terdapat dua jenis daging, daging yang mateng dan bersih, serta daging yang mentah serata sudah busuk penuh dengan belatung-belatung. Namun, mereka lebih memilih memakan daging yang masih mentah dan busuk serta bau dari pada daging yang matang dan bagus. Jibril menjawab: "Mereka adalah laki-laki yang sudah beristeri, namun tetap menggauli wanita-wanita tuna susila. Mereka juga adalah wanita-wanita yang sudah bersuami akan tetapi melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain".

6.Rasulullah saw juga mendapatkan sekelompok orang  yang telah mengumpulkan satu ikatan besar benda-benda sehingga karena banyaknya ia tidak dapat mengangkatnya. Namun, bukannya dikurangi, malah ditambah dengan beban lainnya yang lebih banyak. Rasulullah saw lalu bertanya kepada Jibril, dan Jibril menjawab: "Itu adalah gambaran ummatmu yang dia sendiri sudah tidak sanggup untuk memikul amanat orang-orang, namun tetap dipaksakan untuk memikulnya".

7.Rasulullah saw juga mendapatkan sekelompok orang yang menggunting lidah dan bibirnya dengan gunting yang terbuat dari besi yang sangat panas. Setiap kali ia menggunting lidah dan bibirnya hingga putus, keduanya kembali seperti semula, dan  ia pun kembali mengguntingnya. Ketika ditanyakan, Jibril mengatakan: "Mereka adalah provokator yang menyebarkan isu-isu tidak benar untuk membuat kekacauan. Mereka juga adalah orang-orang  yang memberikan nasihat-nasihat, akan tetapi dia sendiri menyalahi apa yang disampaikannya itu".

8.Rasulullah saw juga mendapati sebuah lobang kecil di mana dari lobang tersebut keluar seekor sapi yang sangat besar. Setelah keluar, sapi itu bermaksud untuk kembali ke lobang tersebut, namun tidak bisa. Jibril mengatakan: "Itu adalah gambaran ummatmu yang banyak menyakiti orang lain melalui perkataannya, lalu ia menyesali perbuatannya itu namun tidak dapat menarik kata-katanya itu".

9.Rasulullah saw juga melewati sebuah lembah yang mengeluarkan wangi yang sangat sedap dan harum serta mendengar perkataan-perkataan lembut, damai serta tenang. Rasulullah saw kembali bertanya kepada Jibril, dan Jibril pun menjawab: "Itu adalah suara surga".

10.Rasulullah saw juga melewati sebuah lembah yang mengeluarkan bau busuk dan sangat tidak sedap, serta mendengar suara-suara yang menjerit-jerit dan tidak sedap didengar. Ketika Rasulullah saw bertanya, Jibril menjawab: "Suara itu adalah suara neraka Jahannam".

11.Ketika sampai di Baitul Maqdis, Rasulullah saw diberikan sebuah bejana berisi air, lalu dikatakan kepadanya: "Minumlah!". Rasulullah saw lalu meminumnya sedikit, tidak sampai kenyang. Lalu diberikan lagi bejana berisi susu dan dikatakan kepadanya: "Minumlah!". Rasulullah saw meminumnya dengan banyak sampai beliau kenyang. Lalu diberikan lagi sebuah bejana berisi khamar (minuman keras) dan dikatakan kepadanya: "Minumlah!". Rasulullah saw menjawab: "Tidak, saya tidak mau meminumnya karena sudah kenyang". Jibrl lalu berkata: "Itu adalah khamar yang akan diharamkan kepada ummatmu. Apabila kamu tadi meminumnya, maka ummatmu tidak akan ada yang taat mengikutimu melainkan segelintir orang saja".

Semua gambaran dan peristiwa-peristiwa yang didapai Rasulullah saw pada waktu Isra'nya adalah gambaran sekaligus pelajaran bagi ummatnya agar lebih hati-hati dalam bertindak dan berbuat.


Peristiwa-peristiwa yang didapati Rasulullah saw ketika Mi'raj

Rasulullah lalu memimpin shalat para Nabi di Masjidil Aqsha sebelum beliau Mi'raj ke langit. Pertanyaannya, bukankah shalat saat itu belum diwajibkan? Lalu apakah shalat  yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah shalat sebagaimana shalat kita saat ini?

Perlu penulis sampaikan bahwa shalat yang diwajibkan pada waktu Mi'raj Rasulullah saw adalah shalat dengan gerakan dan waktu seperti yang kita lakukan saat ini. Namun, ini tidak berarti bahwa sebelum Mi'raj tidak ada kewajiban shalat. Shalat sudah ada dan sudah diwajibkan hanya dengan cara dan waktu yang berbeda, yakni hanya dua kali sehari semalam yaitu pada waktu awal siang (pagi hari) dan akhir siang (sore hari). Bahkan, shalat ini juga adalah sudah ada dan merupakan kewajiban para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.

Nabi Musa, misalnya, juga sudah ada kewajiban untuk melakukan shalat. Dalilnya adalah firman Allah di bawah ini:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (87)
Artinya: " Dan kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan Dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman" (QS. Yunus ayat 87).

Nabi Isa juga sudah diwajibkan untuk melakukan shalat, seperti perkataan beliau ketika masih sangat bayi untuk menjelaskan kepada orang-orang saat itu akan jati diri beliau sebagaimana tertera dalam firman Allah berikut ini:
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا (30) وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا (31) وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا (32)
Artinya: "Berkata Isa: "Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah, dia memberiku Al Kitab (Injil) dan dia menjadikan Aku seorang nabi. Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup;  Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan Aku seorang yang sombong lagi celaka" (QS. Maryam: 30-32).

Nabi Ibrahim pun sudah ada kewajiban shalat sebagaimana dalam firman Allah di bawah ini:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
Artinya: "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat...."(QS. Ibrahim: 37)

Nabi Ismail pun demikian, sebagaimana dalam firmanNya:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (54) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (55)
Artinya: "Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya  untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya" (QS. Maryam ayat 54, 55)

Nabi Zakaria pun demikian, sebagaimana firman Allah:
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ
Artinya: "Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab ....." (QS. Ali Imran: 39).

Demikian juga dengan Nabi Ishaq dan Ya'kub, sebagaimana dalam firmanNya:
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلًّا جَعَلْنَا صَالِحِينَ (72) وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ (73)
Artinya: "Dan kami Telah memberikan kepada-Nya (Ibrahim) lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). dan masing-masingnya kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah" (QS. Al-Anbiya: 72-73).
Dari berbagai dalil di atas menunjukkan bahwa shalat sudah ada dan diwajibkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Untuk itu, bukanlah sesuatu yang aneh apabila Rasulullah saw memimpin shalat di Baitul Maqdis, karena shalat sudah diwajibkan sebelumnya. Hanya, sekali lagi shalat yang diwajibkan setelah peristiwa Mi'raj itu adalah shalat dalam bentuk dan cara serta jumlah dan waktu seperti yang kita lakukan sekarang ini. Wallahu 'alam.

Kembali kepada peristiwa  yang Rasulullah saw dapatkan ketika Mi'raj, terdapat banyak keterangan yang berbicara seputar hal itu. Salah satunya adalah apa yang terdapat dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari.

Rasulullah saw lalu naik ke langit dunia (langit pertama) dan beliau bertemu dengan Nabi Adam as yang apabila melihat ke sebelah kanan, ia tesenyum (melihat keturunannya yang masuk surga) serta apabila melihat ke arah sebelah kiri, ia menangis (melihat keturunannya yang masuk neraka). Di langit pertama ini juga Rasulullah saw melihat dua buah sungai yang mengalir terus menerus tidak terputus dengan airnya yang banyak dan bersih. Ketika ditanyakan kepada Jibril, Jibril menjawab: "Ini adalah sungai Nil dan Efrat".

Rasulullah juga mendapatkan sungai lainnya  yang di atasnya terdapat istana yang terbuat dari intan berlian serta mengeluarkan wangi yang sangat harum. Ketika ditanya, Jibril menjawab: "Ini adalah sungai Kautsar yang Allah siapkan untukmu".

Lalu Rasulullah saw naik lagi ke langit kedua dan mendapatkan dua pemuda gagah yaitu Nabi Isa as dan Nabi Yahya as.

Lalu naik ke langit ketiga, beliau mendapatkan Nabi Yusuf as. Naik lagi ke langit keempat dan mendapatkan  Nabi Idris as. Di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun as. Di langit keenam, bertemu dengan Nabi Musa as. Serta di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim as.
Kemudian beliau menuju Sidratul Muntaha bertemu dengan Allah, tanpa disertai Jibril lagi, karena Jibril tidak sanggup dan tidak kuat naik ke Sidratul Muntaha. Di sanalah Rasulullah saw menerima perintah shalat lima waktu sebagaimana yang kita lakukan seperti saat ini.

Pentingnya shalat

Hasil terbesar dari peristiwa Isra' Mi'raj ini adalah diwajibkannya shalat. Dari sekian banyak jenis ibadah, hanya shalat yang Allah wajibkan langsung kepada Nabi Muhammad saw tanpa melalui perantara Jibril. Plus, hanya shalat yang Allah wajibkan di langit sementara yang lainnya diwajibkan di bumi. Puasa, Zakat, Haji dan yang lainnya, Allah wajibkan melalui perantara Jibril serta diwajibkan di bumi.

Semua ini menunjukkan bahwa shalat mempunyai kedudukan sangat istimewa dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.  Bukti lain bahwa shalat mempunyai kedudukan sangat penting adalah dengan diwajibkannya kepada para Nabi sebelumnya sebagaimana telah penulis sampaikan di atas.

Di samping itu, hanya shalat ibadah satu-satunya yang harus dilakukan dalam semua kondisi dan keadaan. Ia harus dilakukan selama nyawa ada di kandung badan. Bagi orang kaya maupun miskin tetap wajib shalat. Ketika berada di tempat harus shalat, ketika bepergian juga harus shalat. Ketika sehat harus shalat ketika sakitpun tetap harus shalat. Ketika sedang sakaratpun, selama masih sadar, juga tetap wajib melakukan shalat. Bahkan setelah mati pun wajib dishalati.

Sementara ibadah lainnya tidak demikian. Puasa boleh dibatalkan manakala sedang bepergian. Bagi ibu-ibu hamil dan sudah sangat tua, diperbolehkan tidak berpuasa dengan jalan diganti fidyah. Orang yang sakit tidak wajib berpuasa. Bahkan orang yang meninggal dunia pada waktu bulan Ramadhan, menurut pendapat yang lebih kuat, tidak ada kewajiban  bagi ahli waritsnya untuk menggantikan si mati berpuasa pada hari-hari yang tidak sempat dijalaninya.

Zakat dan haji pun demikian, ia hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah masuk katagori mampu. Bagi yang belum mampu, tidak ada kewajiban untuk melakukannya.

Karena pentingnya kedudukan shalat ini, Rasulullah saw dalam hadits shahih mengatakan bahwa shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab kelak di hari Kiamat. Apabila shalatnya baik, maka baik pula seluruh amal lainnya. Apabila shalatnya buruk, maka buruk juga amalan-amalan lainnya.
عن أبي هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة)) [رواه النسائى وأبو داود وغيرهم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya amal yang pertama kali akan dihisab kelak pada hari kiamat adalah shalat" (HR. Nasai, Abu Daud dan lainnya).
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa shalat adalah tiangnya agama dan kunci masuk ke dalam suraga:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ألا أخبركم برأس الأمر وعموده؟ قلت: بلى, يا رسول الله. قال: رأس الأمر: الإسلام, وعموده الصلاة)) [رواه أحمد]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Maukah aku kabarkan kepala dan tiang agama?" Aku menjawab: "Tentu ya Rasulullah". Rasulullah saw bersabda kembali: "Kepala agama adalah Islam dan tiangnya adalah shalat" (HR. Ahmad).
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مفتاح الجنة الصلاة)) [رواه الترمذى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Kunci surga itu adalah shalat" (HR. Turmudzi).

Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa shalat adalah Mi'rajnya orang-orang mukmin. Ini artinya, bahwa seorang mukmin juga dapat melakukan Mi'raj melalui shalatnya. Oleh karena itu, adalah menjadi kewajiban seorang muslim, melalui Isra' Mi'raj ini untuk lebih menjaga dan melaksanakan shalat, baik yang wajib maupun sunnah, dengan sebaik dan serajin mungkin. Baik shalat dalam wujud ritual ibadah, maupun dalam bentuk sosial di masyarakat.

Yang saya maksudkan dengan shalat dalam wujud sosial adalah pengejawantahan shalat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh para ulama, bahwa shalat sarat akan formalitas yang penuh makna. Seseorang yang melakukan shalat misalnya, pertama kali yang dilakukan adalah mengucapkan takbiratul ihram: Allahu Akbar (Allah Maha Besar) sambil mengangkat kedua belah tangan. Ini adalah bentuk sumpah seorang hamba kepada rabnya. Seorang bupati, gubernur, ketua pengadilan atau apa saja, apabila diambil sumpah, maka harus mengangkat sebelah tangan sebagai bukti kesetiaan dan janjinya.

Demikian juga dengan Allah. Melalui takbiratul ihram hakikatnya kita berjanji dan bersumpah kepada Allah bahwa hanya Allah yang Maha; Maha Agung, Maha Gagah, Maha Besar, Maha Kaya dan seterusnya. Dari sini kemudian akan melahirkan sikap tawadhu' rendah hati, tidak sombong. Karena ketika dia kaya, sesungguhnya ada yang lebih dan Maha Kaya yaitu Allah. Ketika dia berkedudukan dan berpangkat tinggi, ia ingat ada  yang Maha Tinggi dan bahkan yang memberikannya kedudukan dan pangkat yakni Allah swt.

Ketika merasa pintar, ia ingat ada  yang Maha Pintar dan yang telah memberinya kepintaran yaitu Allah. Dengan kesadaran dan keyakinan itu semua, lahirlah sikap rendah hati dan tidak sombong. Ketika dia sombong dengan apa yang dimilikinya, maka ini berarti ia telah melanggar sumpahnya dengan Allah tadi.

Mengapa yang diangkat mesti dua tangan, mengapa tidak satu tangan saja? Dua tangan adalah bukti bahwa sumpah dan janji yang disampaikan kepada Allah adalah sumpah dan janji secara total bukan setengah-setengah; segenap jiwa dan raga, lahir dan bathin. Tidak akan ada lagi sikap ambivalen, lain di mulut lain di hati. Tidak akan ada lagi bentuk hipokrit, munafik. Mengapa? Karena sumpah yang dilakukan dengan dua tangan. Bilangan dua adalah simbol kesempurnaan dan penyeluruhan. Umumnya hidup ini hanya terdiri dari dua hal; ada siang ada malam, ada lahir ada batin, ada jiwa ada raga, ada luar ada dalam dan seterusnya.

Demikian juga dengan gerakan-gerakan shalat lainnya, semuanya mempunyai makna dan arti yang harus digali dan diwujudkan dalam wujud sosial sehari-hari (untuk lebih jelas mengenai Filsafat gerakan shalat dapat dilihat dalam makalah penulis bertajuk: "Shalat dan Peranannya Dalam Kehidupan Sehari-Hari").

Itulah shalat yang dikehendaki oleh ajaran Islam, yakni shalat yang bukan semata ritual gerakan-gerakan, akan tetapi menerapkan makna dibalik gerakan-gerakan itu. Ketika keduanya sudah terwujud, maka itulah yang dikehendaki oleh Allah dengan mengatakan: "Sesungguhnya shalat (yang dikehendaki) itu yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar" (QS. Al-Ankabut: 45).

Penjelasan ayat tentang Isra' 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, peristiwa Isra' Mi'raj ini di antaranya disampaikan oleh Allah dalam surat al-Isra' ayat 1:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (1)
Artinya: "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Isra' ayat 1).

Dalam ayat di atas, Allah memulai bahasan Isra' ini dengan perkataan: "Maha suci" (subhana). Perkataan 'mahasuci' ini mengisyaratkan dua hal. Pertama, bahwa kejadian Isra' Mi'raj adalah kejadian luar biasa yang tidak mungkin lahir semata dari kekuatan dan daya manusia. Tapi dari kekuatan yang Luar biasa yaitu dari Allah yang telah menciptakan manusia.

Bayangkan, perjalanan dari Masjidil Haram (Mekah) menuju Masjidil Aqsha (Palestina) yang apabila ditempuh dengan perjalanan biasa memakan waktu lebih dari satu bulan, ini dapat digapai hanya dalam satu sampai dua jam saja. Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila bukan dari yang Maha, yakni dari Allah swt. Seolah Allah hendak mengatakan, bahwa ingatlah manusia, kekuatan dan kemampuan yang kalian miliki, belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang Aku (Allah) miliki. Karena itu tidak sepatutnya manusia untuk sombong di hadapan Allah.

Di samping itu, Allah juga hendak mengingatkan bahwa dalam kehidupan dunia ini, tidak semua dapat diukur oleh akal. Akal bukanlah penghukum segala hal, ia hanya pendukung saja apa yang datang dari Allah  swt. Ketika sesuatu datang dari Allah melalui wahyu, baik dapat diterima akal maupun tidak, tetap harus diterima. Sebab, sekali lagi akal bukanlah penentu dan penetap sesuatu. Karena tidak semua dapat ditangkap oleh akal inilah, maka manusia harus sadar bahwa agama Islam bukanlah agama yang harus disesuaikan dengan akal seluruhnya. Ada ruang-ruang dan bagian-bagian yang harus diterima dan dilaksanakan sekalipun tidak masuk akal, misalnya mengapa Dhuhur empat rakaat, mengapa mengusap sarung kaki hanya bagian atasnya saja, tidak termasuk bagian bawahnya, dan lain sebaginya. Semua yang tidak dapat diterima akal itu harus diterima sebagai panggilan keimanan, sebagaimana menyakini terjadinya peristiwa Isra' dari Makkah ke Palestina yang hanya ditempuh dalam durasi satu atau dua jam saja.

Kedua, perkataan 'mahasuci' juga mengisyaratkan bahwa apa yang akan disampaikan pada kalimat berikutnya adalah sesuatu yang agung dan hebat. Karena, tidaklah Allah memuji sendiri melainkan untuk hal yang luar biasa. Dalam al-Qur'an, hampir semua surat atau ayat yang diawali dengan perkataan 'subhana' menunjukkan bahwa berita yang akan disampaikan adalah berita agung dan hebat, bukan berita biasa.

Dalam surat Yasin ayat 36 misalnya dikatakan:
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ (36)
Artinya: "Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS. Yasin: 36).

Apa berita yang luar biasanya? Yakni peristiwa Isra', yang diluar jangkauan akal manusia. Akal tidak akan menerima peristiwa tersebut, di sinilah diperlukan keimanan untuk meyakininya. Sekali lagi, ketika wahyu datang, baik masuk akal ataupun tidak, ia tetap harus diterima dan diyakini sekaligus dilaksanakan.

Petikan ayat berikutnya adalah: "yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha". Apabila dipahami secara benar, potongan ayat ini, hemat penulis, adalah jawaban sekaligus rasionalitas peristiwa Isra' Mi'raj. Apakah peristiwa Isra' Mi'raj secara umum betul-betul tidak masuk akal? Potongan ayat ini mencoba menjawabnya. Bahwa, sesungguhnya peristiwa Isra' Mi'raj dapat diterima akal secara analogi. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa dalam ayat tersebut Allah menggunakan  fi'il muta'adi (transitif) yaitu kata: 'asra' (yang menjalankan), bukan fi'il lazim (intransitif) 'sara' (berjalan sendiri). Dengan demikian peristiwa Isra' Mi'raj bukan Rasulullah saw yang berjalan sendiri akan tetapi beliau dijalankan oleh Allah. Hakikatnya, Allahlah yang menjalankan dan menyampaikan Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan terus ke langit dalam waktu kurang dari satu malam.

Penulis mencoba memberikan satu ilustrasi mudah bagi para pembaca. Berapa waktu yang diperlukan oleh jarum jam apabila dari angka 12 hendak sampai ke angka 12 lagi? Tentu jawabannya, membutuhkan waktu 12 jam. Apabila penulis sampaikan, jarum jam dapat bergerak dari angka 12 ke angka 12 lagi dalam hitungan tidak lebih dari 4 detik. Apakah anda akan percaya? Tentu harus. Hitungan membutuhkan waktu dua belas jam itu, apabila yang berjalannya adalah jarum jam sendiri, tidak dijalankan. Namun, apabila penulis yang memutarnya sendiri, tentu tidak membutuhkan waktu lama, hanya dalam hitungan detik saja. Mengapa? Sekali lagi, karena kini jarum jam bukan jalan sendiri tapi dijalankan oleh saya. Demikian juga dengan Isra' Mi'raj. Apabila yang berjalannya adalah Rasulullah saw sendiri, tentu tidak masuk akal perjalanan Isra' Mi'raj hanya dalam waktu kurang dari satu malam.. Namun apabila Allah yang menjalankannya, apakah tetap tidak mungkin? Tentu tidak, karena sebagaimana jarum jam tadi dapat bergerak ke angka sebelumnya hanya dalam hitungan detik saja, manakala digerakkan dan dijalankan oleh orang lain.

Ilustrasi kedua yang hendak penulis sampaikan, apabila ada orang berkata: "Lalat dapat terbang dari Jakarta ke Malaysia dalam waktu hanya 2 jam", apakah anda akan menerimanya? Tentu anda tidak akan menerimanya. Bagaimana mungkin lalat yang malas terbang bisa sampai ke Malaysia hanya dalam waktu dua jam? Pernyataan tersebut tentu apabila lalat tersebut berjalan sendiri. Namun, apabila lalat tersebut menempel di baju atau barang salah seorang penumpang pesawat jurusan Jakarta Malaysia, apakah lalat masih tidak dapat sampai di Malaysia dalam waktu dua jam? Tentu tidak. Lalat tersebut akan sampai di Malaysia dalam waktu dua jam seiring dengan turunnya dan sampainya penumpang yang ditungganginya. Mengapa? Karena kini lalat bukan jalan sendiri, tapi dijalankan oleh hal lain yang dalam hal ini oleh pesawat dan orang yang dihinggapinya. Jadi sekali lagi, dengan memahami kata 'asra' (menjalankan), peristiwa Isra' Mi'raj dapat dicerna dengan baik oleh akal sekalipun.

Lalu apa sesungguhnya tujuan dari Isra' Mi'raj tersebut? Ayat di atas memberikan di antara tujuan tersebut yakni 'untuk menunjukkan  di antara tanda-tanda kekuasaan Allah'. Seolah Allah hendak mengatakan, bahwa apabila Allah berkehendak apa saja, maka akan terwujud dan terlaksana. Di samping itu, bahwa kekuasaan dan kegagahan Allah tidak mungkin ada yang menandinginya satu pun. Karena itu, kekuatan akal harus tunduk dan berada di bawah wahyu, karena hakikatnya akal itu terbatas dan lemah.

Di akhir ayat Allah mengakhirinya dengan perkataan: "Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". Pertanyaannya, mengapa Allah mengakhiri ayat Isra' ini dengan paragraf di atas, Maha mendengar dan Maha Mengetahui? Mengapa Allah tidak mengatakan misalnya: "Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu", atau "Maha Kasih dan Maha Sayang"?.
Jawabannya adalah karena setelah meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah, orang kafir Quraish makin berani mengganggu dan menyakiti Rasulullah saw. Semua tuduhan, hinaan, siksaan, pelecehan, embargo, upaya pembunuhan  yang dilakukan oleh Kafir Quraisy, Allah telah mendengar dan telah mengetahuinya. Karena itu Allah mengatakan di akhir ayat tersebut, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Wallahu a'lam.

Beberapa pelajaran (hikmah) yang dapat dipetik dari peristiwa Isra' Mi'raj

Di antara pelajaran  yang dapat ditarik dari peristiwa Isra' Mi'raj ini adalah:
1.Peristiwa Isra' Mi'raj adalah di antara upaya menghibur Rasulullah saw yang sedang sedih setelah ditinggal  pamannya, Abu Thalib, dan isterinya, Siti Khadijah.
2.Peristiwa Isra' Mi'raj juga menunjukkan bahwa sesungguhnya kemampuan dan kekuasaan manusia ini apabila dibandingkan dengan kekuasaan Allah, tidak ada apa-apanya. Kekuasaan yang Super Hebat hanyalah Kekuasaan Allah swt
3.Akal bukanlah satu-satunya parameter hidup. Banyak hal yang berada di luar jangkauan akal. Karena itu, akal harus tunduk di bawah wahyu. Selama ada wahyu, baik masuk akal ataupun tidak, tetap harus diterima, diyakini dan diamalkan.
4.Tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk berbuat apa saja. Menggerakkan dan menjalankan orang dari waktu yang seharusnya lama menjadi sangat singkat, adalah sesuatu yang mudah. Demikian juga hal lainnya. Bukan hal yang sulit bagi Allah untuk membuat orang miskin menjadi orang kaya dalam waktu singat, sebaliknya, sangat mudah bagi Allah untuk menjadikan orang sangat kaya menjadi orang yang sangat miskin dalam hitungan jari. Karena itu, tidak pantas manusia sombong dan menyombongkan apa yang dimilikinya, karena semua itu hanyalah amanah dan sementara saja.
5.Setiap muslim dan manusia tidak bisa hanya menyerahkan diri begitu saja kepada Allah secara pasrah tanpa ada usaha atau sebab. Tawakkal bukan berarti berserah diri saja, bukan berarti berdoa saja, akan tetapi juga perlu ada usaha nyata. Lakukan dan laksanakan seluruh usaha tersebut dengan tidak lupa berdoa. Ketika semuanya sudah serba mentok, baru di sanalah saatnya berserah diri kepada Allah. Dan Allah tentu akan memberikan yang terbaik bagi yang bersangkutan.
6.Shalat sangat urgen peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya shalat yang Allah turunkan langsung  kepada Nabi Muhammad saw, tanpa melalui pelantara Jibril. Oleh karena itu menjaga dan memelihara shalat, baik wajib atau sunnat, adalah kewajiban dan keharusan bagi seorang muslim. Dengan shalat, seorang muslim dapat naik derajat dan kedudukannya di hadapan Allah. Karena itu, Rasulullah saw mengatakan: "Shalat itu adalah Mi'rajnya orang mukmin". Wallahu a'lam bis shawab.
Katamea, 31 Agustus 2006 pukul 12.00 siang hari
Email penulis: aepmesir@yahoo.com

DAFTAR BACAAN
1.Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Isra' wal Mi'raj, Darul Hadits, Kairo, 2002.
2.Imam as-Suyuthi, al-Isra' wal Mi'raj, Darul Hadits, Kairo, 2002.
3.Syaikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, al-Isra' wal Mi'raj, Darul Muslim, Kairo, t.th.
4.Imam Bukhari, Muslim, Qurthubi, Ibn Katsir dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Shahih al-Isra' wal Mi'raj, Maktabah al-Qudsy, Kairo, 2000.
5.Syaikh Syu'aib bin Sa'ad bin Abdul Kafi, ar-Raudh al-Faiq fil Mawa'izh war Raqaiq, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, t.th.
6.Ahmad Farid, Waqafaat Tarbawiyyah Ma'as Sirah an Nabawiyyah, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, T.th.
7.Abdurrahman bin Abdus Salam ash-Shafuri asy-Syafi'i, Nuzhatul Majalis wa Muntakhab an-Nafais, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, T.th.
8.Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil 'Ibad, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, T.th.
9.Muhyiddin ath-Tha'mi, al-Isra' wal Mi'raj Lil Imam Ibn Abbas, Dar ar-Raudah, Kairo, t.th.
10.Khalid Sayyid Ali, al-Isrâ wal Mi'râj: Mu'jizah wa Haqâiq, Asrâr wa Fawâid, Al-Yamamah, Beirut dan maktabah at-Turats Wal Iman, Kuwait, Cetakan Kedua, 2001.
11.Imam Muhammad bin Yusuf ash-Shâlihi asy-Syâmi, al-Isrâ wal Mi'râj (Khulâshah al-Fadhl al-Fâiq Fî Mi'râj Khairil Khâliq), Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan Kedua, 2005.

No comments:

Post a Comment