Ada
sebuah pepatah jawa yang memiliki nilai yang luhur dan sangat baik untuk
direnungkan bersama: "Ajining diri dumunung ono ing lathi, ajining
rogo dumunung ono ing busono" artinya: Harga diri
(martabat) seseorang terletak pada ucapannya dan kehormatan raga seseorang
terletak pada busananya.
Nampaknya, sebagai orang
yang memiliki adat "ketimuran" pepatah ini sangatlah relevan
dalam kehidupan kita dimanapun dan kapanpun kita berada. Bahwa sangat penting
dalam menjaga harga diri (martabat) dengan kata-kata yang baik, santun dan
bersahabat. Serta menjaga kehormatan raganya melalui busana, yakni busana yang
memiliki karakter mulia sebagai seorang muslim atau muslimah.
Begitu serius agama
Islam memperhatikan perkara lisan atau ucapan ini. Allah SWT dalam Alqur'anul
karim memerintahkan agar kita berkata yang benar dan jujur atau tidak
berdusta. Sekalipun kita mengajak pada kebaikan dan kebenaran kitapun harus
mengajak dengan perkataan yang baik (bilhikmah wal mau'idhotun hasanah)
bahkan ketika harus berdebatpun juga harus berdebat dengan cara yang baik pula
(wa jaadilhum billatii hiya ahsan).
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahl:125)
Demikian pula Allah SWT melarang kita untuk saling mengejek, menghina, mencari-cari kesalahan orang, menggunjing, ghibah dan sebagainya (QS Hujuraat: 11-12). Bahkan meski menghina Berhala orang-orang musyrik sekalipun dilarang dalam ajaran agama Islam.
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan". (QS Al-An'am:108)
Dan jika kita tidak
mampu untuk berkata baik, maka diam adalah pilihan yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sabdanya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata
baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
(HR Bukhari
6018, Muslim 47)
Demikian halnya dengan
perhatian Islam terhadap busana. Islam sangat menekankan pentingnya menggunakan
pakaian muslim/muslimah, yakni pakaian yang menutup aurot sebagai pakaian
kehormatan sekaligus sebagai pakaian yang mencerminkan karakter yang agung dan agar
memiliki kekhasan sehingga mudah dikenal. Khususnya bagi wanita, Alqur'an
memberikan peringatan mengenai pakaian wanita terutama yang bernama Jilbab.
Bahkan ini disebut secara khusus didalam Alqur'anulkariim.
"Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang" (QS Al-Ahzab:59)
"Katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya..." (QS An-Nuur:31)
Kalau kita perhatikan
dengan seksama, sebenarnya agama Islam mengatur bagaimana seharusnya kita
menjaga lisan dan aurot ini tidak lain adalah untuk menjaga kehormatan (iffah)
sebagai pribadi muslim/muslimah dan harga diri (izzah) ummat Islam, yang
salah satunya adalah rasa malu. Malu untuk berkata tidak baik, malu berkata
dusta, malu berbuat maksiat dan malu untuk mengumbar aurot. Dengan Malu
tersebut seseorang akan mampu menampilkan "inner beauty"
(kecantikan dari dalam) atau dalam terminologi Islam disebut Akhlaqul
Karimah.
Dan kalau kita cermati
lagi, pepatah diatas sebenarnya merupakan "pengejawantahan"
dari hadist Rasulullah SAW:
Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al
Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang didapat manusia
dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah
sekehendakmu." (HR. Bukhari, 3483)
Bisa kita bayangkan,
andai kata manusia sudah tidak punya rasa malu. Maka tidak akan ada lagi norma
susila dipakai sebagai pedoman, orang akan berbuat bebas sesuka hatinya. Jika
demikian, lisan atau ucapan yang baik dan busana yang mencerminkan dan menjaga
kehormatan tidak lagi akan menjadi sebuah nilai yang diagungkan, terjual-lah
harga diri ini, terobral-lah aurot ini dengan harga yang murah dan bahkan tanpa
ada nilainya sama sekali, maka mencuri, korupsi, saling memaki, saling sikut
dan menjatuhkan martabat saudara, mengumbar aurot dan melakukan berbagai tindak
kemaksiatan akan menjadi hal yang lumrah dan biasa saja dan bahkan kemungkaran
akan dilakukan dengan terang-terangan, persis seperti binatang, Naudzubillahi
mindzalik.
Malu adalah filter hati
dan cerminan/bagian dari keimanan seseorang (Al-haya’u minal iman: Malu adalah sebagian dari Iman). Ketika
seseorang sudah tidak punya rasa malu lagi maka tercabutlah keimanan dalam
hatinya. Sebab, ia akan melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa memperhatikan
keimanan dan tanpa filter rasa malu.
Dari
Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Iman memiliki lebih
dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR. Bukhari 8 dan Muslim 50)
Dengan rasa malu, justru akan memicu seseorang untuk senantiasa berbuat baik sebagaimana Sabda Nabi SAW “Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.”(HR. Bukhari 6117 dan Muslim 37)
Ada kisah menarik yang digambarkan dalam hadist shahih Bukhori dibawah ini bahwa ada seorang Anshor yang memiliki saudara dengan sifat pemalu, ia malu untuk menuntut haknya, lalu sahabat Anshor ini mencela saudaranya karena malu untuk menuntut haknya:
Dari
Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di
hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu.
Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari
iman.' (HR. Shahih Bukhori 24).
Demikian pula kisah seorang sahabat yang bernama Sa’labah yang malu
telah melihat tanpa sengaja aurot wanita yang bukan mahramnya disebuah rumah
yang pintunya terbuka saat beliau sedang berjalan karena mendapat tugas dari
Rasulullah SAW. Seketika beliau berlari sekencang-kencangnya. Tanpa dirasa telah
jauh melampaui kampung halamanya. Hari berganti-hari, minggu berganti minggu,
bahkan hingga hampir sebulan ia meninggalkan kampung halamannya karena malu dan
takut bila dosanya tidak diampuni oleh ALLAH SWT. Sampai-sampai Rasulullah
mencari-carinya karena tidak kunjung kembali dari menjalankan tugasnya. Akhirnya,
setelah beliau dijemput oleh sahabat yang lain dan menghadap kepada Rasulullah
SAW, beliau menceritakan kisah yang dialaminya, namun beliau masih merasa takut
dan malu telah melihat aurot yang bukan haknya untuk dilihat. Digambarkan rasa
takut dan malunya itu menyebabkan tubuhnya seperti dikerumuni dan disengat oleh ribuan semut.
Bahkan diakhir kisah itu, sahabat Sa’labah jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lamu bish-showab.
No comments:
Post a Comment