AURA MISTIS
DALAM KIDUNG RUMEKSO ING WENGI
Oleh: Sigit Tri Wicaksono
Rois Suriyah PCI NU Taiwan
“Ana
kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno”
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno”
……………………
Bagi orang jawa (kejawen), tentu tidak asing dengan syair
(tembang) diatas. Menurut kepercayaan
kejawen, jika tembang di atas dibaca ditengah malam apalagi suasana cukup
mendukung, sunyi dan agak gelap disertai wewangian kemenyan/dupa, maka pembacanya
akan merasakan sensasi atau aura ghoib yang segera menyapanya. Dan menurut
pengalaman para pelaku mistis, biasanya ketika mendendangkan tembang tersebut
aura ghoib terasa melingkupi di sekitar tubuh, dan bulu kuduk akan berdiri lalu
tubuh akan merasa merinding.
Makna bebas dari
tembang diatas kurang lebih demikian:
Ada sebuah syair/lagu
yang dapat menjaga manusia di malam hari.
Energinya kuat dan menyelamatkan, semoga yang mendendangkannya dapat terhindar
dari berbagai macam penyakit dan berbagai macam malapetaka. Jin, Setan tidak (akan)
mau mengganggu. Sihir/tenung/santet tidak ada yang berani (dapat mengenai), Maupun
perbuatan jahat lain. Guna-nuna akan meleset, Api (akan sirna karena) tersiram
air(khasiat tembang tersebut).Pencuripun akan menjauh dan tidak ada yang
mendekat.
Guna-guna yang ditanam akan sirna…..
Guna-guna yang ditanam akan sirna…..
Syair tersebut adalah bait
pertama dari tembang macapat “Dandang Gula” karya kanjeng Sunan Kalijogo
dari keseluruhan tembang yang berjumlah lima bait yang berjudul KIDUNG RUMEKSO ING WENGI. Keseluruhan tembang
ini mengandung doa keselamatan secara umum, dengan bertawashul pada kemuliaan
para Nabi dan Rasul, serta khulafaur-rashyidin dan auliya (para wali).
Sebenarnya kalau
diperhatikan dengan seksama, melalui tembang ini Sunan Kali Jaga bermaksud
mengajarkan dan mengajak manusia agar terjaga dimalam hari, lalu kemudian
melakukan ritual ibadah dan melantunkan tembang (yang dimaksud adalah melakukan
Qiyamul-lail dan melantunkan ayat-ayat ALLAH SWT). Karena ritual dimalam hari
memiliki fadhilah yang luar biasa dan kesan khusus yang dapat menggetarkan hati sebagaimana termaktub
dalam Alqur’anul Kariim berikut ini.
Dan
pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara benar dan berikanlah
kepadaku dari sisi Engkau kekuatan yang menolong. Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil
telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap. Dan Kami turunkan dari Al Quran
suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS 17 Al-Isro’:
79-82).
“Dan
bangunlah (untuk qiyamul-lail) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu
dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk
khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan” (QS 73 Al-Muzammil : 2-6).
Itulah konsep yang hendak
dikenalkan kepada masyarakat jawa. Hanya saja waktu itu, bahasa arab sangatlah
asing ditelinga orang jawa, maka Kanjeng Sunan Kali Jaga menggubahnya menjadi
syair sebuah tembang jawa yang syarat dengan pesan dan makna spiritual. Sungguh
pemikiran yang sangat cerdas dan intuitif dalam melihat peluang dakwah. Beliau
mampu membaur dengan masyarakat namun mampu berbeda (mukhtalithun walakin mutamayyiziin).
Namun sayangnya, pesan
dan makna dibalik tembang tidak dipahami oleh masyarakat secara utuh. Hanya
beberapa saja yang memahami lalu kemudian ter-“shibghah” (terwarnai) dengan hidayah ALLAH akhirnya sadar dan
menjadi orang-orang yang taat dan sholih. Tapi, banyak juga yang hanya memahami
tembang itu sebagai tembang yang memiliki kekuatan magis tanpa memahami
hakekatnya (persis seperti orang memahami bahwa seni untuk seni, ilmu untuk
ilmu, hidup untuk hidup dsb.).
Sehingga, tidak sedikit pula orang yang tersesat lantaran tembang tersebut, dan
tak sedikit pula orang yang tersesat dalam memahami hakekat seni, ilmu dan
hidup. Persoalannya bukan pada materi yang terkandung dalam tembang itu
sendiri, tapi kegagalan meng-kontekstualkan maknanya.
Nah, terkait dengan
hal-hal yang sifatnya mistis, magis atau ghoib yang ditimbulkan oleh tembang
tersebut, sering kali masyarakat awam terkecoh dengan bermacam-macam pemahaman
yang berkembang disekitarnya. Hal ini disebabkan tiga hal antara lain; kurang
komprehensif (lengkap)nya informasi mengenai masalah ghoib tersebut, kurangnya
ilmu atau referensi yang dimiliki, keinginan (nafsu) yang menggebu untuk meraih
apa yang diinginkan secara instan. Ketiga hal itulah sebagai pembangun
pemahaman yang fundamental. Kegagalan dalam tiga hal tersebut akan berdampak
pada kegagalan meng-kontekstualisasikan pemahaman terhadap masalah ghoib dalam
kehidupannya. Walhasil, keimanannya akan menjadi goyah dan dipertaruhkan untuk
mendapatkan apa yang diinginkan.
Contoh kongkretnya, ketika
seseorang pedangang ingin mendapatkan keuntungan dari dagangannya, sementara
ilmu untuk berdagang kurang (termasuk pengetahuan untuk mencari kemungkinan
peluang dan strategi yang logis dan syar’i juga terbatas), didukung dengan
pemahaman tentang masalah ghoib yang sangat kurang, plus keinginan dan dorongan
nafsu untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara instan sangat kuat. Maka,
kemungkinannya adalah dia akan berbuat curang, atau ia akan pergi ke dukun
penglaris. Tentu masih banyak orang-orang yang semacam ini dimasyarakat kita.
Bahkan mereka menganggap bahwa pergi ke dukun, paranormal, orang “pintar” atau
sejenisnya adalah bagian dari ikhtiar atau usaha untuk menggapai kesuksesan.
Dan menganggap bahwa dukun atau paranormal memiliki karomah yang dapat membantu
mereka dalam menyelesaikan masalah, salah satunya adalah melakukan ritual
mistis dengan melantunkan tembang diatas dikesunyian malam untuk memanggil “roh
halus” guna dimintai pertolongan.
Nah, ada informasi yang
terputus (atau memang orang awam tidak berusaha mencari bagian yang terputus
itu) antara pesan yang hendak disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga pada
masyarakat Jawa melalui tembang tersebut. Sehingga, seharusnya spirit atau
semangat menghidupkan malam dengan Qiyamul-lail dan bacaan Al-qur’an itulah
yang diamalkan, sehingga mampu menjadi penjaga malam, penawar/obat bagi yang
sakit, pembuka pintu rejeki, penolak bala’, menenangkan hati yang gundah,
meneguhkan kedudukan dan izzah
orang-orang muslim. Akan tetapi, yang tertinggal hanyalah aura mistis yang
diciptakan sendiri dengan menanggalkan pesan spiritual yang mendalam dari sang
Kanjeng Sunan. Maka, tak bisa dipungkiri lagi jika kemudian Syetan dan Jin
kafir benar-benar menjadikkannya teman dan sarana untuk ber-khalwat untuk
meminta bantuannya. Akhirinya, manusia yang menjadikan Jin dan Syetan sebagai
teman dan penolongnya (termasuk dukun dan paranormal), ia akan tertipu dan
semakin tersesat sejauh-jauhnya.
“…..Sesungguhnya
mereka (orang-orang yang tersesat) menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka)
selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk”
(QS 7:30)
“Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS 72:6)
Wallahu ‘alamu
bish-showab.
semoga bisa menambah keimanan..amiin
ReplyDeleteTerimakasih untuk infonya... Semoga bermanfaat..
ReplyDeleteTerimakasih untuk infonya... Semoga bermanfaat..
ReplyDeleteTerimakasih untuk infonya... Semoga bermanfaat..
ReplyDeleteTerimakasih untuk infonya... Semoga bermanfaat..
ReplyDelete