Friday, March 8, 2013

ANTARA DUA CINTA


"Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat", itulah kata mutiara tentang cinta yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka. Namun, tidak jarang kita jumpai pada sisi dibelahan hati yang lain, masih banyak kasus keresahan, kegalauan, kebimbangan, keputusasaan dan bahkan berakhir pada bunuh diri, tidak saja dinegara-negara miskin atau berkembang bahkan dinegara maju pun terjadi fenomena yang sama. Bahwa cinta bisa bahkan sangat bisa membuat orang buta mata dan buta hati. Karier, jabatan dan pangkat serta strata sosial yang tinggi, kekayaan yang banyak, tiba-tiba lenyap dan terpuruk pada lembah kenistaan hanya dikarenakan cinta. Sebenarnya, ada apa dengan cinta? adakah yang salah dengan cinta?
Pada dasarnya, manusia itu dilengkapi oleh sang Khalik dengan "satu set" komponen pelengkap yang jika salah satunya tiada, maka tidak dia bisa dinamakan manusia. Satu set komponen pelengkap itu dinamakan "an-nafs". An-nafs adalah sebuah tendensi/kecenderungan untuk melakukan sesuatu, apakah sesuatu itu bersifat baik maupun buruk. Dengan adanya an-nafs inilah, kehidupan manusia menjadi dinamis, tidak statis. Demikian pula Jin, makhluk selain manusia yang juga dilengkapi dengan an-nafs, juga mengalami dinamika kehidupan mirip dengan manusia, hanya saja dimensinya yang berbeda. Namun, tidak demikian dengan malaikat, Malaikat tidaklah dilengkapi dengan an-nafs, sehingga dia tidaklah sesempurna manusia. Oleh karenanya, kehidupan malaikat itu monoton. Bagi malaikat yang ditugaskan untuk mengatur curah hujan, maka selamanya ia akan mengerjakan tugas itu. Bahkan bagi malaikat yang ditugaskan untuk sujud, maka ia akan sujud terus hingga hari kiamat. Apakah tidak protes? tidak bisa..!! karena malaikat tidak memiliki rasa untuk protes. Nah, bagaimana sebenarnya eksistensi manusia atau jin ini terkait dengan an-nafs ini?
Dalam Al-Qur'an surat Asy-Syams ayat 7-8 ALLAH SWT berfirman:
"Dan demi an-nafs serta penyempurnaannya (yang menjadikannya pelengkap). Maka ALLAH mengilhamkan/memberikan potensi pada an-nafs itu sebuah tendensi kearah keburukan (al-fujur) dan kebaikan (at-taqwa)"
Maka jika kita cermati, sesungguhnya secara kodrati an-nafs itu memiliki keinginan-keinginan apakah kejalan yang buruk atau kejalan yang baik. Namun, secara umum, kecenderungan an-nafs adalah menuju ke jalan yang menyenangkan dirinya, apalagi jika dibiarkan tanpa dibimbing oleh petunjuk. Maka ia akan terus mengikuti keinginanya ke jalan yang fujur yang pada akhirnya ia menzalimi dirinya sendiri. Tendensi kearah keburukan inilah yang kemudian disebut sebagai al-hawa an-nafs yang sering disebut sebagai syahwat atau HAWA NAFSU. Hal ini di sindir oleh ALLAH SWT dalam Alqur'an surat Al-Qashash:50:
"...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".
Dalam ayat diatas, nampak bahwa secara eksplisit menunjukan ada an-nafs yang dibiarkan atau tidak diberi petunjuk dan an-nafs yang diberi petunjuk oleh ALLAH SWT. Hal ini, selaras dengan makna kalimat dalam ayat 53 QS Yusuf bahwa keumuman an-nafs itu menuju kepada arah yang buruk kecuali an-nafs yang di Rahmati ALLAH SWT :
"Dan aku tidak berlepas diri dari an-nafs, karena sesungguhnya an-nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali an-nafs yang diberi rahmat oleh Tuhanku...."

Dari kedua jenis an-nafs ini (an-nafs yang selalu ingin menuju kearah keburukan dan an-nafs yang selalu ingin menuju kearah kebaikan), jika kemudian dikategorikan lagi, maka kita akan jumpai penggolongan an-anfs ini menjadi 3, an-nafsul Amarah, lawwamah dan muthmainnah.
Nafsu amarah ini tergolong dalam nafsu yang tidak diridhoi, atau nafsu yang secara umum cenderung untuk menuju kearah keburukan. Sedangkan nafsu lawwamah (nafsu yang cenderung menyesali perbuatan buruk) dan nafsu muthmainnah (nafsu yang ingin melakukan perbuatan yang diridhoi ALLAH SWT) adalah termasuk nafsu yang di rahmati dan diberi petunjuk.
Dalam perjalanannya, masing-masing nafsu itu kemudian semakin kuat tendensinya dan pada akhirnya sampai pada suatu kondisi yang disebut CINTA atau dalam bahasa arabnya adalah MAHABBAH. Nafsu yang terbimbing oleh petunjuk atau nafsu yang dirahmati ini akan menghasilkan MAHABATULLAH (cinta kepada ALLAH diatas segala-galanya), sedangkan nafsu yang tak terbimbing akan menghasilkan MAHABBAH GHOIRULLAH (cinta yang berlebihan kepada selain ALLAH). Ketika nafsu ini sudah pada sampai level CINTA maka tinggal menunggu hasilnya apakah KETERPURUKAN/KEGAGALAN atau KEBAHAGIAAN/KESUKSESAN. Dalam gaya bahasa yang begitu indah, ALLAH SWT mengingatkan kita dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 24:
"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (yang selalu mengotori dirinya dengan memperturutkan hawa nafsunya)".
Dalam hal ini, tidaklah mungkin an-nafs itu berada pada dua kondisi GAGAL dan SUKSES, pastilah ada pada kondisi salah satunya, kalau tidak GAGAL ya SUKSES. Nah, selama proses membentuk cinta itulah, an-nafs bertarung saling mempengaruhi dan saling mendominasi. Jika yang mendominasi adalah nafsu yang dirahmati dan diridhoi dan menghasilkan MAHABATULLAH itu, maka ia akan menemukan jalan dan menggapai kesuksesan, sebaliknya, karena MAHABBAH GHOIRULLAH ia akan menemukan jalan dan menggapai kegagalan. Itulah kenyataan hidup kita, berada dalam dualisme CINTA atau MAHABATAIN. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan CINTA hanya saja kita perlu menempatkan pada porsi yang proporsional. Kita boleh cinta keada keluarga, orang-tua, saudara, anak, harta, kedudukan, bisnis, rumah, sawah ladang, kendaraan dan lain-lain karena itu semua adalah fitroh/kodrati yang tidak mungkin bisa dihilangkan, sebagaimana Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 14:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
TAPI sekali lagi, itulah fitroh untuk mendapatkan kesenangan didunia dan jangan sekali-kali kecintaan kepada semuanya itu mendominasi kehidupan kita. Justru CINTA KEPADA ALLAH SWT itulah yang harus mendominasi kehidupan kita diatas cinta kepada segala sesuatu.
Nah, sekarang tinggal keputusan anda, ingin sukses/bahagia atau gagal/sengsara ??



Thursday, March 7, 2013

Sholat Awwabiin


Shalat awwabin adalah istilah untuk shalat dhuha yang dikerjakan di saat matahari sudah panas (di akhir waktu dhuha) atau shalat dhuha secara umum. Namun ada anggapan dari sebagian orang yang menamakan shalat sunah yang dilaksanakan antara maghrib dan isya’ dengan istilah shalat awwabin. Benarkah penggunaan istilah ini?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menjaga shalat dhuha kecuali orang awwab (sering bertaubat). Dan dia (dhuha) adalah shalat awwabin (shalatnya orang yang suka bertaubat).” (Silsilah As-Shahihah, no. 703).
Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat setelah maghrib dengan “Shalat Awwabin”, karena penamaan ini tidak ada asalnya.” (Shahih Targhib wa Tarhib, 1:423).
Terdapat beberapa hadis yang menganjurkan shalat sunah antara magrib dan isya, diantaranya hadis yang diriwayatkan An-Nasa’i, dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya shalat magrib bersama beliau. Kemudian beliau shalat (sunah) sampai isya. Al-Mundziri dalam At-Targhib wa Tarhib menyatakan, sanad hadis ini jayid.
Setelah membawakan berbagai dalil tentang anjuran shalat sunah antara magrib dan isya, As-Syaukani mengatakan:
“Ayat dan hadis yang disebutkan menunjukkan disyaratkannya memperbanyak shalat antara magrib dan isya. Al-iraqi mengatakan, ‘Di antara sahabat yang shalat antara magrib dan isya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Salman Al-Farisi, dan Ibnu Malik dari kalangan Anshar. Kemudian di kalangan tabi’in, ada Al-Aswad bin Yazid, Utsman An-Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali bin Husain, Abu Abdi Rahman Al-Uhaili, Qodhi Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal. Sementara ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyan At-Tsauri. (Nailul Authar, 3:60)
Sementara ulama dari empat mazhab menegaskan dianjurkannya melaksanakan shalat antara magrib dan isya, berdasarkan hadis dan praktik para sahabat. Bahkan ulama Mazhab Hambali menyebutnya sebagai qiyamul lail. Karena waktu malam itu antara magrib sampai subuh. Dari sinilah, sebagian ulama menyebut shalat antara magrib dan isya sebagai shalat al-awabin.
Dalam Mughni Al-Muhtaj dinyatakan:
Di antara shalat sunah adalah shalat awwabin. Dinamakan juga dengan shalat al-ghaflah (waktu lalai), karena umumnya orang lalai dari shalat ini disebabkan makan malam, tidur, atau semacamnya. Jumlahnya 20 rakaat, antara magrib dan isya. Al-Mawardi mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya dan beliau menyatakan, ‘Ini adalah shalat awwabin’. Disimpulkan dari hadis ini dan hadis dari Hakim, bahwa istilah shalat awabin bisa digunakan untuk menyebut shalat antara maghrib dan isya dan shalat dhuha”. (Mughni Al-Muhtaj, 3:151)
Hanya saja, hadis yang berisi pernyataan bahwa shalat sunah antara maghrib dan isya sebagai shalat awwabin, termasuk hadis yang dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Hadis tersebut didhaifkan Al-Albani, karena hadis tersebut termasuk hadis mursal.
Allah a’lam
Disadur: Fatawa Syabakah islamiyah, no. 27572


Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/apakah-shalat-awwabin/#ixzz2Mvt8gk6v

ANNAFS

Dari segi tahapan nafsu terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Nafsu amarah
Yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Nafsu ini berada pada tahap pertama yang tergolong sangat rendah, karena yang memiliki nafsu ini masih cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang maksiat. Secara alami nafsu amarah cenderung kepada hal-hal yang tidak baik. Bahkan, karena kebiasaan berbuat keburukan tersebut, bila mana dia tidak melakukannya, maka dia akan merasa gelisah, sakau dan gundah gulana. 
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an 
Artinya: Sesungguhnya nafsu itu suka mengajak ke jalan kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan rahmat Tuhanku (QS. Yusuf : 53).
2. Nafsu Lawwamah
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi. 
Ustadz Arifin ilham pernah mengatakan , bahwa orang yang masih memiliki nafsu lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali. Selain itu ia juga menyesal kenapa ia tidak dapat berbuat kebaikan lebih banyak Nafsu ini tergolong pada tahap kedua, nafsu ini disinyalir Al-Qur’an :
Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al- Qiyamaah : 2).
3. Nafsu Mutmainnah
Yakni jiwa tenang, tentram, karena nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang sempurna berada dalam kebenaran dan kebajikan, itulah nafsu yang dipanggil dan dirahmati oleh Allah SWT, Sebagaimana firman-Nya:
Artinya : Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. (QS. Al - Fajr : 27-28).
Dalam ayat lain Allah menghiburnya yaitu :
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS. Asy – Syams : 9).

ARTI SYAFAAT


7

AGU
Dari Abu Hurairah r.a beliau menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi was sallam bersabda, “Setiap Nabi alaihis salam memiliki doa yang mustajab, maka setiap nabi telah menggunakan doa tersebut. Dan aku menyimpannya sebagai syafa’at bagi ummatku, kelak di hari kiamat. Maka, syafa’at tersebut Insya Allah akan didapati oleh setiap orang dari umatku yang wafat dalam keadaan tidak menyekutukan Allah ta’ala dengan suatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syafaat berasal dari kata asy-syafa’ (ganda) yang merupakan lawan kata dari al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat, dan sebagainya. Ini pengertian secara bahasa.
Sedangkan secara istilah, syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak mudharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang itu atau menolak mudharatnya.
Syafaat adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Syafa’at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafaat orang-orang kafir.
Syafaat disebutkan pertama kali dalam Al-Qur’an adalah pada QS. al-Baqarah ayat 47:
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”
وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
Dalam ayat tersebut terdapat perintah Allah kepada Bani Israil untuk bertaqwa dengan alasan di akhirat nanti tidak akan ada syafaat (pertolongan) dari siapapun kecuali amal manusia masing-masing.
Syafaat hakikatnya adalah doa, atau memerantarai orang lain untuk mendapatkan kebaikan dan menolak keburukan. Atau dengan kata lain syafaat adalah memintakan kepada Allah di akhirat untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian meminta syafa’at berarti meminta doa, sehingga permasalahan syafaat ialah sama dengan doa.
Hukum Meminta Syafaat
Bagaimanakah hukumnya meminta syafaat. Telah kita ketahui bersama bahwa syafaat adalah milik Allah, maka meminta kepada Allah hukumnya disyariatkan, yaitu meminta kepada Allah agar para pemberi syafaat diizinkan untuk mensyafaati di akhirat nanti. Seperti, “Ya Allah, jadikanlah Muhammad Saw pemberi syafaaat bagiku. Dan janganlah engkau haramkan atasku syafaatnya.”
Adapun meminta kepada orang yang masih hidup, maka jika ia meminta agar orang tersebut berdoa kepada Allah agar ia termasuk orang yang mendapatkan syafaat di akhirat maka hukumnya boleh, karena meminta kepada yang mampu untuk melakukanya. Namun, jika ia meminta kepada orang tersebut syafaat di akhirat maka hukumnya syirik, karena ia telah meminta kepada seseorang suatu hal yang tidak mampu dilakukan selain Allah. Adapun meminta kepada orang yang sudah mati maka hukumnya syirik akbar baik dia minta agar didoakan atau meminta untuk diberi syafaat dari orang tersebut.
Macam-macam Syafaat
Syafaat terdiri dari dua macam, yaitu:
Pertama: Syafaat yang didasarkan pada dalil yang kuat dan shahih, yaitu yang ditegaskan Allah Swt dalam Kitab-Nya , atau dijelaskan Rasulullah. Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas; karena Abu Hurairah berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling bahagia mendapatkan syafaatmu?” Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan, ‘Laa ilaaha illallah’ dengan ikhlas dalam hatinya.” (HR. Bukhari, kitab Al-Ilm).
Syafaat mempunyai tiga syarat:
  1. Allah meridhai orang yang memberi syafaat.
  2. Allah meridhai orang yang diberi syafaat.
  3. Allah mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
Syarat-syarat di atas secara global dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An- Najm: 26).
Kemudian firman Allah: “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255).
Lalu firman Allah:  “Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thahaa: 109).
Kemudian firman Allah: “Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya: 28).
Agar syafaat seseorang diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas. Menurut penjelasan para ulama, syafaat yang diterima, dibagi menjadi dua macam:
  1. Syafaat umum. Makna umum, Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syaaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, nabi-nabi lainnya, orang-orang jujur, para syuhada, dan orangorang shalih. Mereka memberikan syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang-orang beriman yang berbuat maksiat agar mereka keluar dari neraka.
  2. Syafaat khusus, yaitu syafaat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad Saw dan merupakan syafaat terbesar yang terjadi pada hari Kiamat. Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yang tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orangorang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bisa memberikan syafaat hingga mereka datang kepada Nabi saw, lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk kedudukan terpuji yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya : “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Al-Israa’: 79).
Di antara syafaat khusus yang diberikan kepada Rasulullah Saw adalah syafaatnya kepada penghuni syurga agar mereka segera masuk surga, karena penghuni surga ketika melewati jembatan, mereka diberhentikan di tengah jembatan yang ada di antara surga dan neraka. Hati sebagian mereka bertanya-tanya kepada sebagian lain, hingga akhirnya mereka bersih dari dosa. Kemudian mereka baru diizinkan masuk surga. Pintu surga itu bisa terbuka karena syafaat Nabi saw.
Kedua. Syafaat batil yang tidak berguna bagi pemiliknya, yaitu anggapan orang-orang musyrik bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memintakan syafaat kepada Allah. Syafaat semacam ini tidak bermanfaat bagi mereka seperti yang difirmankan-Nya, “Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Mudatstsir: 48).
Demikian itu karena Allah tidak rela kepada kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu dan tidak mungkin Allah memberi izin kepada para pemberi syafaat itu, untuk memberikan syafaat kepada mereka; karena tidak ada syafaat kecuali bagi orang yang diridhai Allah. Allah tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kafir dan Allah tidak senang kepada kerusakan.
Ketergantungan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan mereka dengan menyembahnya dan mengatakan, “Mereka adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18), adalah ketergantungan batil yang tidak bermanfaat. Bahkan demikian itu tidak menambah mereka kecuali semakin jauh, karena orang-orang musyrik itu meminta syafaat kepada berhala-berhala itu dengan cara yang batil, yaitu menyembahnya. Itulah kebodohan mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebenarnya tidak lain hanya menjadikan mereka semakin jauh.