Monday, September 17, 2012

Kidung Rumekso Ing Wengi


AURA MISTIS DALAM KIDUNG RUMEKSO ING WENGI
Oleh: Sigit Tri Wicaksono
Rois Suriyah PCI NU Taiwan

“Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno”
……………………


Bagi orang jawa (kejawen), tentu tidak asing dengan syair (tembang) diatas. Menurut kepercayaan kejawen, jika tembang di atas dibaca ditengah malam apalagi suasana cukup mendukung, sunyi dan agak gelap disertai wewangian kemenyan/dupa, maka pembacanya akan merasakan sensasi atau aura ghoib yang segera menyapanya. Dan menurut pengalaman para pelaku mistis, biasanya ketika mendendangkan tembang tersebut aura ghoib terasa melingkupi di sekitar tubuh, dan bulu kuduk akan berdiri lalu tubuh akan merasa merinding.
Makna bebas dari tembang diatas kurang lebih demikian:
Ada sebuah syair/lagu  yang dapat menjaga manusia di malam hari. Energinya kuat dan menyelamatkan, semoga yang mendendangkannya dapat terhindar dari berbagai macam penyakit dan berbagai macam malapetaka. Jin, Setan tidak (akan) mau mengganggu. Sihir/tenung/santet tidak ada yang berani (dapat mengenai), Maupun perbuatan jahat lain. Guna-nuna akan meleset, Api (akan sirna karena) tersiram air(khasiat tembang tersebut).Pencuripun akan menjauh dan tidak ada yang mendekat.
Guna-guna yang ditanam akan sirna…..

Syair tersebut adalah bait pertama dari tembang macapatDandang Gula” karya kanjeng Sunan Kalijogo dari keseluruhan tembang yang berjumlah lima bait yang berjudul KIDUNG RUMEKSO ING WENGI. Keseluruhan tembang ini mengandung doa keselamatan secara umum, dengan bertawashul pada kemuliaan para Nabi dan Rasul, serta khulafaur-rashyidin dan auliya (para wali).
Sebenarnya kalau diperhatikan dengan seksama, melalui tembang ini Sunan Kali Jaga bermaksud mengajarkan dan mengajak manusia agar terjaga dimalam hari, lalu kemudian melakukan ritual ibadah dan melantunkan tembang (yang dimaksud adalah melakukan Qiyamul-lail dan melantunkan ayat-ayat ALLAH SWT). Karena ritual dimalam hari memiliki fadhilah yang luar biasa dan kesan khusus yang dapat menggetarkan hati sebagaimana termaktub dalam Alqur’anul Kariim berikut ini.
Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara benar dan keluarkanlah (pula) aku secara benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuatan yang menolong. Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS 17 Al-Isro’: 79-82).
“Dan bangunlah (untuk qiyamul-lail) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan (QS 73 Al-Muzammil : 2-6).
Itulah konsep yang hendak dikenalkan kepada masyarakat jawa. Hanya saja waktu itu, bahasa arab sangatlah asing ditelinga orang jawa, maka Kanjeng Sunan Kali Jaga menggubahnya menjadi syair sebuah tembang jawa yang syarat dengan pesan dan makna spiritual. Sungguh pemikiran yang sangat cerdas dan intuitif dalam melihat peluang dakwah. Beliau mampu membaur dengan masyarakat namun mampu berbeda (mukhtalithun walakin mutamayyiziin).
Namun sayangnya, pesan dan makna dibalik tembang tidak dipahami oleh masyarakat secara utuh. Hanya beberapa saja yang memahami lalu kemudian ter-“shibghah” (terwarnai) dengan hidayah ALLAH akhirnya sadar dan menjadi orang-orang yang taat dan sholih. Tapi, banyak juga yang hanya memahami tembang itu sebagai tembang yang memiliki kekuatan magis tanpa memahami hakekatnya (persis seperti orang memahami bahwa seni untuk seni, ilmu untuk ilmu, hidup untuk hidup dsb.). Sehingga, tidak sedikit pula orang yang tersesat lantaran tembang tersebut, dan tak sedikit pula orang yang tersesat dalam memahami hakekat seni, ilmu dan hidup. Persoalannya bukan pada materi yang terkandung dalam tembang itu sendiri, tapi kegagalan meng-kontekstualkan maknanya. 
Nah, terkait dengan hal-hal yang sifatnya mistis, magis atau ghoib yang ditimbulkan oleh tembang tersebut, sering kali masyarakat awam terkecoh dengan bermacam-macam pemahaman yang berkembang disekitarnya. Hal ini disebabkan tiga hal antara lain; kurang komprehensif (lengkap)nya informasi mengenai masalah ghoib tersebut, kurangnya ilmu atau referensi yang dimiliki, keinginan (nafsu) yang menggebu untuk meraih apa yang diinginkan secara instan. Ketiga hal itulah sebagai pembangun pemahaman yang fundamental. Kegagalan dalam tiga hal tersebut akan berdampak pada kegagalan meng-kontekstualisasikan pemahaman terhadap masalah ghoib dalam kehidupannya. Walhasil, keimanannya akan menjadi goyah dan dipertaruhkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Contoh kongkretnya, ketika seseorang pedangang ingin mendapatkan keuntungan dari dagangannya, sementara ilmu untuk berdagang kurang (termasuk pengetahuan untuk mencari kemungkinan peluang dan strategi yang logis dan syar’i juga terbatas), didukung dengan pemahaman tentang masalah ghoib yang sangat kurang, plus keinginan dan dorongan nafsu untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara instan sangat kuat. Maka, kemungkinannya adalah dia akan berbuat curang, atau ia akan pergi ke dukun penglaris. Tentu masih banyak orang-orang yang semacam ini dimasyarakat kita. Bahkan mereka menganggap bahwa pergi ke dukun, paranormal, orang “pintar” atau sejenisnya adalah bagian dari ikhtiar atau usaha untuk menggapai kesuksesan. Dan menganggap bahwa dukun atau paranormal memiliki karomah yang dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah, salah satunya adalah melakukan ritual mistis dengan melantunkan tembang diatas dikesunyian malam untuk memanggil “roh halus” guna dimintai pertolongan.
Nah, ada informasi yang terputus (atau memang orang awam tidak berusaha mencari bagian yang terputus itu) antara pesan yang hendak disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga pada masyarakat Jawa melalui tembang tersebut. Sehingga, seharusnya spirit atau semangat menghidupkan malam dengan Qiyamul-lail dan bacaan Al-qur’an itulah yang diamalkan, sehingga mampu menjadi penjaga malam, penawar/obat bagi yang sakit, pembuka pintu rejeki, penolak bala’, menenangkan hati yang gundah, meneguhkan kedudukan dan izzah orang-orang muslim. Akan tetapi, yang tertinggal hanyalah aura mistis yang diciptakan sendiri dengan menanggalkan pesan spiritual yang mendalam dari sang Kanjeng Sunan. Maka, tak bisa dipungkiri lagi jika kemudian Syetan dan Jin kafir benar-benar menjadikkannya teman dan sarana untuk ber-khalwat untuk meminta bantuannya. Akhirinya, manusia yang menjadikan Jin dan Syetan sebagai teman dan penolongnya (termasuk dukun dan paranormal), ia akan tertipu dan semakin tersesat sejauh-jauhnya.
“…..Sesungguhnya mereka (orang-orang yang tersesat) menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk” (QS 7:30)
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS 72:6)
Wallahu ‘alamu bish-showab.

Thursday, September 13, 2012

Belajar Dari Lebah


Rasulullah  saw   bersabda  :  “Perumpamaan  orang  beriman  itu  bagaikan  lebah.  Ia  makan  yang bersih,  mengeluarkan  sesuatu   yang  bersih,  hinggap  di  tempat   yang  bersih   dan   tidak  merusak   atau   mematahkan  (  yang  dihinggapinya  ).”   (  HR.  Ahmad,  Al-Hakim,  dan  Al-Bazzar).
Seorang  pemimpin   (mukmin)  adalah  sosok  yang  memiliki  kepribadian  unggul.  Kepribadian  itulah membuatnya  memiliki  keistimewaan.  Sehingga  di  mana  pun  ia  berada,  kemana  pun  ia  pergi, apapun  yang  ia  lakukan,  peran  apa  saja  yang  ia  lakoni  akan  selalu  menghasilkan  mashlahat   (kebaikan)  bagi  yang  lain  bukan  mafsadat  ( keburukan).  Maka  jadilah  ia  sosok  sebagaimana  dijelaskan   Rasulullah  saw  : “Manusia   paling  baik  adalah  yang  paling  banyak  memberikan manfaat  bagi  manusia  lain.”
Kehidupan  ini  agar  menjadi  indah  dan   menyenangkan,  membutuhkan   pemimpin  seperti  itu.  Menjadi  apa  pun,  ia  akan  menjadi  yang  terbaik  ;  apa  pun  peran  dan  fungsinya maka  segala  yang  ia  lakukan  adalah  hal  -  hal  yang  membuat  orang  lain,  lingkungannya menjadi  tenang,  aman,  bahagia  dan  sejahtera.   Apalagi  jika  Ia  adalah  seorang  pemimpin  yang di  pilih  langsung  oleh  rakyat  yang  merupakan  wujud  rahmatan  lil  ‘alamin  (  bukan  hanya  bagi  yang  memilihnya  tapi  juga  bagi  seluruh  lapisan  masyarakat  )
Nah,  perumpamaan  pemimpin  unggul  itu  antara  lain  terdapat  pada  seekor  lebah.  Rasulullah  saw dengan   dalam  hadits  di  atas  mengisyaratkan  agar  kita  meniru  karakter  positif   yang  dimiliki oleh  seekor   lebah.   Allah  berfirman,  “Dan  Rabbmu  mewahyukan  (mengilhamkan)  kepada lebah   :  “Buatlah  sarang  -  sarang  di  bukit  -  bukit,  di  pohon  -  pohon  kayu,  dan  di  tempat  -  tempat yang  dibuat   manusia.  Kemudian  makanlah  dari  tiap  -  tiap  (macam)  buah  -  buahan  dan tempuhlah   jalan  Rabbmu  yang  telah  dimudahkan  (bagimu).   Dari  perut  lebah  itu  keluar minuman  (madu)  yang  bermacam  -  macam  warnanya,  di  dalamnya  terdapat  obat  yang menyembuhkan  bagi  manusia.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar  -  benar  terdapat tanda  (kebesaran Rabb)  bagi  orang  -  orang   yang  memikirkan.”  (An  -  Nahl :  68  -  69).
Sekarang,  mari  kita  bandingkan  apa  yang  dilakukan  oleh  lebah  dengan  apa  yang  seharusnya dilakukan  seorang  mukmin,  seperti  berikut  ini  :
  1. 1.       Hinggap  di  tempat   yang  bersih  dan  menghisap  hanya  yang  bersih.
Seekor  Lebah  hanya  hinggap  di  pohon  dan  bunga  pilihan.  Dia  sangat   jauh  berbeda  dengan lalat.  Lalat  sering  kita  temui  di  tempat  sampah,  kotoran,  dan  tempat  -  tempat  yang  berbau busuk.  Tapi  lebah,  ia  hanya  akan  mendatangi  bunga  -  bunga,  buah  -  buahan  atau  tempat-tempat  bersih  lainnya  yang  mengandung  bahan  madu  atau  nektar.
Begitupula  hendaknya  sifat  seorang  pemimpin  (  mukmin  ).  Ketika  ia  menjalani  proses  pemilihan,  ia tempuh  dengan  cara  dan   sarana  yang  tidak  bertentangan  dengan  hukum  Allah  (  berbohong,  menebar  fitnah,  ingkar  janji  )   dan  peraturan  manusia  (  sogok  menyogok,  intimidasi,  mark up data   dll  ).  Jika  ia  diberikan  amanah  ia  akan  menjaganya dengan  sebaik  -  baiknya.  Ia  tidak  akan  melakukan    penyalahgunaan  wewenang   jabatan,  manipulasi,  markup,  dan  penipuan.  Sebab,  ia  yakin  bahwa  Allah  Maha  mengetahui  apa  saja  yang  dilakukan  makhluknya  ;  baik  yang  nampak  maupun  tersembunyi. Rasulullah Saw  bersabda  :  “Hendaklah   engkau  beribadah  kepada  Allah  seolah  -  olah  engkau  melihat -Nya.  Namun   jika  engkau  tidak  dapat  (beribadah  seolah  -  olah)  melihat  -  Nya,  sesungguhnya Ia  melihat  engkau.” .  Allah  Swt  berfirman  :
“Hai  manusia,  makanlah  yang  halal  lagi  baik  dari  apa  yang  terdapat  di  bumi  dan  janganlah kamu  mengikuti  langkah  -  langkah  syaitan  ;  karena  sesungguhnya  syaitan  adalah  musuh  yang nyata  bagimu.”  (Al  -  Baqarah  : 168).
  1. 2.      Menghasilkan  yang  bersih.
Siapa  yang  tidak  kenal  madu  lebah.  Semuanya  tahu  bahwa  madu  mempunyai  khasiat  untuk kesehatan  manusia.  Tapi  dari  organ  tubuh  manakah  keluarnya  madu  itu  ?  Itulah  salah  satu keistimewaan  lebah.  Dia  produktif  menghasilkan  kebaikan,  bahkan  dari  organ  tubuh  pada makhluk  lain  hanya  melahirkan  sesuatu  yang  menjijikkan.  Begitulah  sebaiknya  seorang  pemimpin  (mukmin)  yaitu  “produsen  kebaikan. “  Allah berfirman  :  “Hai  orang  -  orang  yang  beriman, rukuklah  kamu,  sujudlah  kamu,  sembahlah  Rabbmu  dan  perbuatlah  kebajikan,  supaya  kamu mendapat  kemenangan.”  (Al  -  Hajj : 77).
Dr.  Yusuf  qardhawi  dalam  bukunya  “Al  Ibadah   fil  Islam”  mengungkapkan  :  “Al –khair  artinya  kebaikan  dan  merupakan  bagian  dari  ibadah,  akan  tetapi  al  -  khair  dalam  ayat tersebut  bukan  hanya  pada  ibadah  ritual  saja.  Sebab,  perintah  untuk  ibadah  ritual  sudah terwakili  dengan  kalimat  “rukuklah  kamu,  sujudlah  kamu,  sembahlah  Rabbmu”  (irka’u, wasjudu,  wa’budu  rabbakum).  Al  -  khair  di  dalam  ayat  itu  justru  bermakna  kebaikan  yang hasilnya  dinikmati  oleh  manusia  dan  makhluk  lainnya.  Islam  sebagai  risalah  terakhir  memiliki peran  yang  syamil  (menyeluruh)  dan  kamil  (sempurna)  untuk  mewujudkan  konsep  rahmatan  lil ‘alamin. ”
Yang  dihasilkan  dari  diri  seorang  pemimpin  (mukmin)  semuanya  adalah  kebaikan.  Seluruh  anggota tubuhnya  melahirkan   nilai  -  nilai  kebaikan ;  bibirnya  memperlihatkan  senyuman  bukan  menebar ghibah  apalagi  fitnah  mematikan,  tangannya  hanya  menyentuh  sesuatu  yang  halal  bukan mengumpulkan  kekayaan  dari  hasil  berbagai  pola  kecurangan ,  matanya  berupaya  terhindar  dari  fitnah  syahwat,  otaknya  selalu  berfikir  merancang   proyek   kemashlahatan  (kebaikan)   bukan   proyek  kemafsadatan  (keburukan),  kakinya  diarahkan  untuk  menapaki  tempat  keshalihan   bukan   tempat  kebatilan.
  1. 3.      Tidak   merusak
Lebah  tidak  pernah  merusak  atau  mematahkan  ranting  yang  dia  hinggapi.  Begitulah  seharusnya seorang  pemimpin  (mukmin).  Dia  tidak  hoby  melakukan  perusakan  dalam  hal  apa  pun  dan  dimanapun  ;  baik  material  maupun  nonmaterial.  Bahkan  dia  selalu  melakukan  perbaikan  -  perbaikan  terhadap   masyarakat  dengan  cara  -  cara  yang  tepat  dan  bijak.  Dia  melakukan  ishlah  (perbaikan)  akidah,  moral,  sosial,  politik,  ekonomi,  budaya  dan  seluruh  aspek  kehidupan.  Hatinya  jauh  dari prasangka  buruk,  iri,  dengki,  lidahnya  tidak  mengeluarkan  kata  -  kata  kecuali  yang  baik,  jika  tidak  mampu  maka  ia  akan  diam,   perilakunya  tidak  menyengsarakan  orang  lain  melainkan justru  membahagiakan,  hartanya  bermanfaat  bagi  banyak  manusia  bukan  menjadi  laknat,   kalau dia  memimpin  atau  memegang  amanah  tertentu,  dimanfaatkannya  untuk kemaslahatan  bukan menimbulkan  kerusakan  yang  berakhir  kehancuran,  kepemimpinannya  dicintai  dan  dipuji  bukan dibenci  apalagi  dicaci.
  1. 4.      Bekerja  secara  jama’i  
Lebah  selalu  hidup  dalam  koloni  besar,  tidak  pernah  menyendiri.  Mereka  pun  bekerja  secara bersama  -  sama   (jama’i),  dan  masing  -  masing   mempunyai  peran.  Ketika  mereka mendapatkan  sumber  sari  madu,  mereka  akan  berkoordinasi  teman  -  temannya  untuk menghisapnya.  Demikian  pula  ketika  ada  bahaya,  seekor  lebah  akan   mengeluarkan  feromon (suatu  zat  kimia  yang  dikeluarkan  oleh  binatang  tertentu  untuk  memberi  isyarat  tertentu)  untuk memanggil  teman-temannya  agar  membantu  dirinya.  Itulah  seharusnya  sikap  seorang pemimpin  (mukmin).  Allah  berfirman  :  “Sesungguhnya   Allah  menyukai  orang  -  orang   yang  berperang  di  jalan  -  Nya  dalam  barisan yang  teratur  seakan  -  akan  mereka  seperti  suatu  bangunan  yang  tersusun  kokoh.”  (Ash  – Shaff  : 4).
Itulah  beberapa  karakter  lebah  yang  patut  ditiru  oleh  seorang  pemimpin   (mukmin).  Dan  tidaklah  sia  -  sia  Allah  menyebut  -  nyebut  dan  mengabadikan  binatang  kecil  itu  dalam  Al  -  Quran  sebagai  salah  satu  nama  surah  :  An-Nahl.  Kita  do’akan  bersama  semoga  pilkada  di  Aceh  yang  baru  saja  berakhir  betul  -  betul  melahirkankan  sosok  pemimpin  yang  berkarakter  lebah  idaman  rakyat  Aceh.  Wallahu a’lam.

Menumbuhkan INNER BEAUTY dengan RASA MALU

Ada sebuah pepatah jawa yang memiliki nilai yang luhur dan sangat baik untuk direnungkan bersama: "Ajining diri dumunung ono ing lathi, ajining rogo dumunung ono ing busono" artinya: Harga diri (martabat) seseorang terletak pada ucapannya dan kehormatan raga seseorang terletak pada busananya. 

Nampaknya, sebagai orang yang memiliki adat "ketimuran" pepatah ini sangatlah relevan dalam kehidupan kita dimanapun dan kapanpun kita berada. Bahwa sangat penting dalam menjaga harga diri (martabat) dengan kata-kata yang baik, santun dan bersahabat. Serta menjaga kehormatan raganya melalui busana, yakni busana yang memiliki karakter mulia sebagai seorang muslim atau muslimah.

Begitu serius agama Islam memperhatikan perkara lisan atau ucapan ini. Allah SWT dalam Alqur'anul karim memerintahkan agar kita berkata yang benar dan jujur atau tidak berdusta. Sekalipun kita mengajak pada kebaikan dan kebenaran kitapun harus mengajak dengan perkataan yang baik (bilhikmah wal mau'idhotun hasanah) bahkan ketika harus berdebatpun juga harus berdebat dengan cara yang baik pula (wa jaadilhum billatii hiya ahsan). 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahl:125)

Demikian pula Allah SWT melarang kita untuk saling mengejek, menghina, mencari-cari kesalahan orang, menggunjing, ghibah dan sebagainya (QS Hujuraat: 11-12). Bahkan meski menghina Berhala orang-orang musyrik sekalipun dilarang dalam ajaran agama Islam.

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan". (QS Al-An'am:108)

Dan jika kita tidak mampu untuk berkata baik, maka diam adalah pilihan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sabdanya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
(HR Bukhari 6018, Muslim 47)

Demikian halnya dengan perhatian Islam terhadap busana. Islam sangat menekankan pentingnya menggunakan pakaian muslim/muslimah, yakni pakaian yang menutup aurot sebagai pakaian kehormatan sekaligus sebagai pakaian yang mencerminkan karakter yang agung dan agar memiliki kekhasan sehingga mudah dikenal. Khususnya bagi wanita, Alqur'an memberikan peringatan mengenai pakaian wanita terutama yang bernama Jilbab. Bahkan ini disebut secara khusus didalam Alqur'anulkariim. 
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Ahzab:59)
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..." (QS An-Nuur:31)

Kalau kita perhatikan dengan seksama, sebenarnya agama Islam mengatur bagaimana seharusnya kita menjaga lisan dan aurot ini tidak lain adalah untuk menjaga kehormatan (iffah) sebagai pribadi muslim/muslimah dan harga diri (izzah) ummat Islam, yang salah satunya adalah rasa malu. Malu untuk berkata tidak baik, malu berkata dusta, malu berbuat maksiat dan malu untuk mengumbar aurot. Dengan Malu tersebut seseorang akan mampu menampilkan "inner beauty" (kecantikan dari dalam) atau dalam terminologi Islam disebut Akhlaqul Karimah

Dan kalau kita cermati lagi, pepatah diatas sebenarnya merupakan "pengejawantahan" dari hadist Rasulullah SAW:
Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari, 3483)

Bisa kita bayangkan, andai kata manusia sudah tidak punya rasa malu. Maka tidak akan ada lagi norma susila dipakai sebagai pedoman, orang akan berbuat bebas sesuka hatinya. Jika demikian, lisan atau ucapan yang baik dan busana yang mencerminkan dan menjaga kehormatan tidak lagi akan menjadi sebuah nilai yang diagungkan, terjual-lah harga diri ini, terobral-lah aurot ini dengan harga yang murah dan bahkan tanpa ada nilainya sama sekali, maka mencuri, korupsi, saling memaki, saling sikut dan menjatuhkan martabat saudara, mengumbar aurot dan melakukan berbagai tindak kemaksiatan akan menjadi hal yang lumrah dan biasa saja dan bahkan kemungkaran akan dilakukan dengan terang-terangan, persis seperti binatang, Naudzubillahi mindzalik.

Malu adalah filter hati dan cerminan/bagian dari keimanan seseorang (Al-haya’u minal iman: Malu adalah sebagian dari Iman). Ketika seseorang sudah tidak punya rasa malu lagi maka tercabutlah keimanan dalam hatinya. Sebab, ia akan melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa memperhatikan keimanan dan tanpa filter rasa malu.

Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR. Bukhari 8 dan Muslim 50)

Dengan rasa malu, justru akan memicu seseorang untuk senantiasa berbuat baik sebagaimana Sabda Nabi SAW “Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.”(HR. Bukhari 6117 dan Muslim 37)

Ada kisah menarik yang digambarkan dalam hadist shahih Bukhori dibawah ini bahwa ada seorang Anshor yang memiliki saudara dengan sifat pemalu, ia malu untuk menuntut haknya, lalu sahabat Anshor ini mencela saudaranya karena malu untuk menuntut haknya:

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.' (HR. Shahih Bukhori 24).

Demikian pula kisah seorang sahabat yang bernama Sa’labah yang malu telah melihat tanpa sengaja aurot wanita yang bukan mahramnya disebuah rumah yang pintunya terbuka saat beliau sedang berjalan karena mendapat tugas dari Rasulullah SAW. Seketika beliau berlari sekencang-kencangnya. Tanpa dirasa telah jauh melampaui kampung halamanya. Hari berganti-hari, minggu berganti minggu, bahkan hingga hampir sebulan ia meninggalkan kampung halamannya karena malu dan takut bila dosanya tidak diampuni oleh ALLAH SWT. Sampai-sampai Rasulullah mencari-carinya karena tidak kunjung kembali dari menjalankan tugasnya. Akhirnya, setelah beliau dijemput oleh sahabat yang lain dan menghadap kepada Rasulullah SAW, beliau menceritakan kisah yang dialaminya, namun beliau masih merasa takut dan malu telah melihat aurot yang bukan haknya untuk dilihat. Digambarkan rasa takut dan malunya itu menyebabkan tubuhnya seperti  dikerumuni dan disengat oleh ribuan semut. Bahkan diakhir kisah itu, sahabat Sa’labah jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Semoga bermanfaat. Wallahu a'lamu bish-showab.

Wednesday, September 12, 2012

Hakikat CINTA



يُوْشِكُ أَنْ تَدَا عَىعَلَيْكُمُ اْلاُمَمُ كَمَا تَدَا عَىاْلأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، قِيْلَ: اَوَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بَلْ اِنَّكُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرُوْنَ، وَلكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَقَدْ نَزَلَ بِكُمُ الْوَهْنُ، قِيْلَ: وَمَاالْوَهْنُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَاوَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ.


Dapat diperkirakan bahwa kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok. Para sahabat bertanya: “apakah saat itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali, tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn”. Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu, ya Rasululla?”. Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).


Cinta adalah perkara fitroh, setiap makhluk namanya manusia telah di-ilhamkan oleh Sang Khaliq dengan sebuah rasa yang namanya "Syahawaat" (kecenderungan-kecenderungan) yang disebut  "Fitroh Nafsiyyahyang karena kecenderungan ini begitu kuat maka jadilah ia CINTA.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (QS Ali 'Imron:14)

Tidak dipungkiri jika fitroh nafsiyyah ini pulalah manusia mengalami perkembangan peradaban, budaya dan teknologi. Tanpa ada fitroh nafsiyyah ini, barangkali kita saat ini masih kemana-mana pergi menggunakan kuda/onta, masih menggunakan lampu teplok sebagai penerangan dsb. Maka, dengan fitroh nafsiyyah inilah, teknologi berkembang, budaya dan peradaban juga berkembang, kesejahteraan pun berkembang.

Namun, yang menjadi persoalan adalah jika fitroh nafsiyyah itu tidak dikendalikan sebagaimana kehendak Sang Kholiq maka, sisi buruk dari perkembangan teknologi dan peradaban itu juga tidak dapat dielakkan. Oleh karenanya. Allah SWT memberikan panduan berupa "Fitroh Ruhiyahnya",ALLAH SWT berfirman:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS Al-A'raf:172)

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim dan hamba yang baik, sudah sepatutnya kita meletakkan firtoh itu pada proporsinya yakni dengan menggunakan fitroh nafsiyahnya dengan benar, pada tempat yang dihalalkan sesuai dengan petunjuk (A-qur'an dan Sunnah). Sebab, tanpa petunjuk, maka fitroh nafsiyah akan terjerumus dan tersesat, Allah SWT berfirman:

"..Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim" (QS:Al Qashash:8)

Nah, Allah SWT telah memberikan petunjuk bagaimanakah meletakkan Fitroh Nafsiyyah agar sesuai dengan Fitroh Ruhiyyah tersebut:

"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik". (QS Attaubah:24)


Dikisahkan dalam sebuah kitab karangan Imam Al-Ghazali  bahawa pada suatu hari Nabi Isa a.s berjalan di hadapan seorang pemuda yang sedang menyiram air di kebun. Bila pemuda yang sedang menyiram air itu melihat kepada Nabi Isa a.s berada di hadapannya.
Maka dia pun berkata, “Wahai Nabi Isa a.s, kamu mintalah dari Tuhanmu agar Dia memberi kepadaku seberat semut Jarrah cintaku kepada-Nya.”
Berkata Nabi Isa a.s, “Wahai saudaraku, kamu tidak akan berdaya untuk seberat Jarrah itu.”
Berkata pemuda itu lagi, “Wahai Isa a.s, kalau aku tidak berdaya untuk satu Jarrah, maka kamu mintalah untukku setengah berat Jarrah.” Oleh karena keinginan pemuda itu untuk mendapatkan kecintaannya kepada Allah, maka Nabi Isa a.s pun berdoa, “Ya Tuhanku, berikanlah dia setengah berat Jarrah cintanya kepada-Mu.” Setelah Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun berlalu dari situ.
Selang beberapa lama Nabi Isa a.s datang lagi ke tempat pemuda yang memintanya berdoa, tetapi Nabi Isa a.s tidak dapat berjumpa dengan pemuda itu. Maka Nabi Isa a.s pun bertanya kepada orang yang lalu-lalang di tempat tersebut, dan berkata kepada salah seorang yang berada di situ bahwa pemuda itu telah gila dan kini berada di atas gunung.
Setelah Nabi Isa a.s mendengat penjelasan orang-orang itu maka beliau pun berdoa kepada Allah S.W.T, “Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku tentang pemuda itu.” Selesai Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun dapat melihat pemuda itu yang berada di antara gunung-gunung dan sedang duduk di atas sebuah batu besar, matanya memandang ke langit.
Nabi Isa a.s pun menghampiri pemuda itu dengan memberi salam, tetapi pemuda itu tidak menjawab salam Nabi Isa a.s, lalu Nabi Isa berkata, “Aku ini Isa a.s.”Kemudian Allah S.W.T menurunkan wahyu yang berbunyi, “Wahai Isa, bagaimana dia dapat mendengar perbicaraan manusia, sebab dalam hatinya itu terdapat kadar setengah berat Jarrah cintanya kepada-Ku. Demi Keagungan dan Keluhuran-Ku, kalau engkau memotongnya dengan gergaji sekalipun tentu dia tidak mengetahuinya.”
Barangsiapa yang mengakui tiga perkara tetapi tidak menyucikan diri dari tiga perkara yang lain maka dia adalah orang yang tertipu.
1. Orang yang mengaku kemanisan berzikir kepada Allah, tetapi dia mencintai dunia.
2. Orang yang mengaku cinta ikhlas di dalam beramal, tetapi dia ingin mendapat sanjungan dari manusia.
3. Orang yang mengaku cinta kepada Tuhan yang menciptakannya, tetapi tidak berani merendahkan dirinya.


Rasulullah S.A.W telah bersabda, “Akan datang waktunya umatku akan mencintai lima lupa kepada yang lima

1. Mereka cinta kepada dunia. Tetapi mereka lupa kepada akhirat.
2. Mereka cinta kepada harta benda. Tetapi mereka lupa kepada hisab.
3. Mereka cinta kepada makhluk. Tetapi mereka lupa kepada al-Khaliq.
4. Mereka cinta kepada dosa. Tetapi mereka lupa untuk bertaubat.
5. Mereka cinta kepada gedung-gedung mewah. Tetapi mereka lupa kepada kubur.”