Tuesday, May 29, 2012

Hari Anak Sedunia, Pengarusutamaan pendidikan anak dalam keluarga di era globalisasi




Oleh: Sigit Tri Wicaksono

Bismillahirrohmaanirrohiim,ba'da hamdalah dan sholawat,


Sepenggal kisah seorang anak muda belia berjalan mendekati Rasulullah SAW, yang tengah mempersiapkan pasukan menghadapi perang Uhud, dengan membawa sebilah pedang yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, dialah Zaid bin Tsabit r.a yang saat itu masih berusia sekitar 11 tahun. Namun karena usianya yang masih terlalu muda, serta Rasulullah SAW melihat bakat kecerdasan si Zaid kecil yang luar biasa, akhirnya beliau menggantikan tugas jihadnya dengan mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, dan masyaAllah hanya dalam waktu 32 hari kedua bahasa itu bisa dikuasai dengan baik. Lalu kemudian Rasulullah menjadikannya sekretaris untuk menulis dan menghafal wahyu yang diterima Rasulullah, dan dalam waktu yang singkat pula dapat menghafal 17 surat Alqur'an.
Berbeda halnya dengan Rafi' bin Khadij r.a yang usianya sebaya dengan Zaid, agar kelihatan tinggi ia menjinjitkan kakinya. Ia juga didukung oleh ayahnya, Khadij, menyampaikan kepada Rasulullah dengan menunjukkan kelebihan anaknya dalam kelihaian memanah. Akhirnya Rasulullah SAW mengijinkan untuk turut serta dalam perang Uhud. Namun, hal ini menjadikan iri Samurah bin Jundub (r.a) yang kemudian merayu ayah tirinya, Murrah bin Sinan (r.a) agar minta diijinkan perang oleh Rasulullah dengan cara menguji ketangkasan berkelahi melawan Rafi' (r.a) dan karena Samurah berhasil mengalahkan Rafi', akhirnya dia juga diijinkan dalam perang Uhud. Dan masih banyak lagi golongan anak-anak yang sebaya yang memiliki semangat jihad yang begitu membara antara lain,  Usamah bin Zaid (r.a), Zaid bin Arqam (r.a), Barra bin Azib (r.a) Amr bin Hizam (r.a), Usaid bin Zhuhair (r.a), Urabah bin Aus (r.a), dan Abu Sa'id al Khudri (r.a). Ada ibrah yang begitu luar biasa, semangat jihad berperang melawan musuh-musuh Islam. 
Bertolak belakang dengan anak-anak generasi zaman sekarang, yang cenderung manja, penakut, instan dalam meminta hajat kebutuhannya, cengeng dll. Disisi lain mereka nampak lebih dahulu matang sebelum waktunya dalam urusan duniawi, suka begadang, bermain, menghamburkan waktu dan uang, bahkan pada usia yang belum balighpun mereka telah mengetahui bagaimana hubungan suami istri, NA'UDZUBILLAHI MIN DZAALIK !!!!. Itulah kondisi zaman sekarang, mau tidak mau, suka atau tidak suka zaman itu telah terbentang didepan mata kita, ini nyata sobat !!!! Itulah peperangan dan pertarungan yang sejatinya sama dengan kondisi jaman dulu, hanya saja modus peperangannya berbeda. Kalau jaman dulu peperangan terjadi secara fisik, musuhnya nyata dan berhadap-hadapan, perhitungannya pun juga bisa jadi eksak (secara alamiyah yang banyak pasti menang). Namun sekarang, peperangan terjadi justru tidak secara fisik, namun dampaknya jauh lebih destruktif. Kalo peperangan fisik, kalah dalam peperangan hanya akan mengalahkan satu generasi. Tapi peperangan yang sekarang, peperangan peradaban, pihak yang kalah akan sangat mungkin mengalami kekalahan berkepanjangan hingga beberapa generasi. Sebab yang diserang bukanlah fisik, tapi BUDAYA dan PERADABAN. Lalu, bagaimana menanggulanginya ??
Tidak ada cara lain, pendidikan terhadap anak harus menjadi mainstream (arus utama) bagi setiap orang tua, harus dilakukan sejak dini. Rasulullah berpesan agar ummatnya mengajari anak-anaknya untuk menunggang kura, berenang dan memanah. Sejatinya beliau berpesan bahwa ketiga zona peperangan harus dikuasai, baik darat, laut maupun udara dengan berbagai macam teknologinya. Harus ada generasi muslim yang jago mengendarai berbagai kendaraan tempur, harus ada yang menjadi ahli nuklir, hacker, ahli medis, spionase/taktik perang  dan semua bidang ilmu. Nah, kalau sudah bicara hal yang kompleks seperti ini, maka unsur yang paling penting adalah persatuan/Ukhuwah, dan sistem kehidupan yang sistematis dan komprehensif. Tidak bisa lagi kita bicara masalah fiqih, ekonomi, politik, sosial, lingkungan dll secara terpisah dalam dikotomi domain atau ranah yang berbeda. Maka yang dibutuhkan adalah SYUMULIYATUL ISLAM. Palestina telah mengajari kita bagaimana mengorganisir berbagai persoalan secara sistemik meski dalam keadaan Chaos sekalipun. Pendidikan anak tetap menjadi arus utama untuk regenerasi benih-benih para mujahid.



Dalam konteks Hari Anak Dunia ini,  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak, di antaranya:

1. Mendidik anak dengan cara-cara yang baik dan sabar agar mereka mengenal dan mencintai Allah, yang menciptakannya dan seluruh alam semesta, mengenal dan mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang pada diri beliau terdapat suri tauladan yang mulia, serta agar mereka mengenal dan memahami Islam untuk diamalkan. Ajarkanlah Tauhid, yaitu bagaimana mentauhidkan Allah, dan jauhkan serta laranglah anak dari berbuat syirik. Sebagaimanan nasihat Luqman kepada anaknya,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau memperskutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’” [Luqman: 13]
2. Pada usia balita (sekitar 2-5 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik serta bacaan Al-Qur-an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para Shahabat dan generasi Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah hafal Al-Qur-an pada usia sangat belia.
Allah telah memberikan kelebihan kepada manusia pada masa kecilnya dengan kemampuan menghafal yang luar biasa. Oleh karena itu, orang tua harus pandai memanfaatkan kesempatan untuk mengajarkan anak-nya dengan hal-hal yang bermanfaat pada usia-usia balita. Usaha ini harus terus dijalankan, meskipun mungkin di sekitar tempat tinggal kita tidak ada sekolah semacam tahfizhul Qur-an. Kita dapat mengajarkannya di rumah kita, dengan kemampuan kita, karena pada dasarnya Al-Qur-an itu mudah.
3. Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua kepada anaknya. Shalat merupakan tiang agama, jika seseorang melalaikannya niscaya agama ini tidak bisa tegak pada dirinya. Shalat ini pulalah yang pertama kali akan dihisab oleh Allah di akhirat. Untuk itulah, hendaknya orang tua dengan tiada bosan senantiasa memberikan contoh dengan shalat di awal waktu dengan berjama’ah di masjid, mengajaknya serta menanyakan kepada anaknya apakah dia telah menunaikan shalatnya ataukah belum.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).” [3]
Mengajak isteri dan anak kita untuk melaksanakan shalat di awal waktu, merupakan salah satu perintah dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk tetap sabar dalam menunaikan kewajiban ini, termasuk sabar dalam mengingatkan isteri dan anak kita untuk tetap menegakkannya.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kami-lah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertaqwa.” [Thaahaa : 132]
Jika anak kita sudah berumur 10 tahun, hendaknya sang ayah mengajaknya untuk menunaikan kewajiban shalat dengan berjama’ah di awal waktu di masjid. Ini merupakan pendidikan praktis yang sangat bermanfaat, karena dalam benak si anak akan tertanam kebiasaan dan perhatian yang mendalam tentang kewajiban yang sangat mulia ini. Terdapat banyak sekali hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya.
Seseorang yang lalai dalam shalatnya, maka ia akan mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ
“Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” [Maryam (19): 59]
Bentuk menyia-nyiakan shalat di antaranya adalah melalaikan kewajiban shalat, menyia-nyiakan waktu shalat dengan tidak melaksanakannya di awal waktu. Yang dengan sebab itu, mereka akan menemui kesesatan, kerugian dan keburukan.
Wallaahu a’lam bish shawaab.[4]
4. Perhatian orang tua kepada anaknya juga dalam hal akhlaknya.
Anak harus diajarkan akhlak yang mulia, jujur, berkata baik dan benar, berlaku baik kepada keluarga, saudara, tetangga, juga menyayangi yang lebih kecil serta menghormati yang lebih tua, dan yang harus menjadi penekanan utama adalah akhlak (berbakti) kepada orang tua.
Durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar yang paling besar setelah syirik (menyekutukan Allah). Orang tua haruslah memberikan teladan kepada anaknya dengan cara dia pun berbakti kepada orang tuanya dan berakhlak mulia.
5. Juga perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh jelek temannya akan berimbas pada perilaku dan akhlak anaknya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
“Seseorang bergantung pada agama temannya. Maka hendaknya ia melihat dengan siapa dia berteman.” [5]
Apalagi kita mengetahui bahwa sesuatu yang jelek akan mudah sekali mempengaruhi hal-hal yang baik, namun tidak sebaliknya, terlebih dalam pergaulan muda-mudi seperti sekarang ini yang cenderung melanggar batas-batas etika seorang muslim. Mereka saling berkhalwat (berdua-duaan antara lawan jenis), sehingga bisikan syaitan mudah sekali menjerumuskan dirinya ke jurang kenistaan.
Atau pengaruh obat-obat terlarang yang dapat menjadikan dirinya bergantung dan merasa ketagihan terhadap obat-obat penenang yang diharamkan oleh Allah. Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan (NARKOBA) yang dilakukan generasi muda kaum muslimin telah banyak menjeremuskan mereka kepada kehinaan dan kesengsaraan.
Usaha yang telah kita curahkan beberapa tahun bisa saja menjadi sia-sia hanya karena anak kita salah memilih teman bermain atau teman di sekolah. Untuk itu, haruslah diperhatikan akhlak teman anak kita, apakah temannya itu memiliki pemahaman agama yang baik, apakah shalatnya baik, apakah dia senan-tiasa nasihat-menasihati dan tolong-menolong dalam kebajikan??
6. Berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu-waktu yang mustajab
Di samping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya sebagai isteri yang shalihah, hendaknya sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu-waktu yang mustajab (waktu terkabulkannya do’a), seperti sepertiga malam yang terakhir, agar keluarganya dijadikan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, agar dia, isterinya, dan anak-anaknya dijadikan orang-orang yang shalih dan shalihah.
Seperti do’a yang tercantum di dalam Al-Qur-an:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]
Paling tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya, dihormati oleh sang isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi hamba-hamba Allah yang shalih dan shalihah, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Aamiin.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), Ahmad (II/5, 54, 111) dari Ibnu ‘Umar radhi-yallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 292) dan Ibnu Hibban (no. 1562) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Al-Hafizh Ibnu Hajar menshahihkan hadits ini dalam Fat-hul Baari (XIII/113), lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1636).
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 495), Ahmad (II/180, 187) dengan sanad hasan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallaahu ‘anhum.
[4]. Lihat Tafsiir Ibnu Katsir (III/141-143).
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4833), at-Tirmidzi (no. 2378), Ahmad (II/303, 334) dan al-Hakim (IV/171), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

Thursday, May 17, 2012

Peran Wanita dalam Dakwah


Ketika Rasulullah SAW diutus ke dunia, beliau bersabda, “Sesungguhnya wanita itu adalah pendamping pria.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sejak saat itu paradigma pemikiran dan perlakuan terhadap wanita berubah seratus delapan puluh derajat. Derajat wanita diangkat dan dimuliakan. Wanita dikatakan sebagai pendamping pria karena pada setiap kesuksesan seorang pria, pasti ada peran wanita yang sangat signifikan. Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri. Banyak tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita. Maka, atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai tokoh penting di belakang layar.
Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang syahid di jalan Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah.
Selain Khadijah Ra. dan Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim, Sumayyah, Nusaibah, Asma binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di Mekkah dan Madinah. Dalam kitab-kitab sirah (sejarah) dikisahkan, setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu pertama di gua Hira, beliau pulang dalam keadaan menggigil. Tubuhnya gemetar ketakutan. Setibanya di rumah, Beliau meminta istrinya, Khadijah Ra., menyelimuti tubuhnya. Lalu, Khadijah menyelimuti dan mendekap tubuh Rasulullah Saw. dengan penuh kasih sayang, hingga hilang rasa takutnya. Khadijah tidak langsung menanyakan apa yang telah terjadi pada suaminya, hingga Rasulullah Saw. sendiri berkata, “Wahai Khadijah, tahukah engkau mengapa tubuhku tadi gemetar?” Belum sempat Khadijah menjawab, Rasulullah berkata lagi, “Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku sendiri.” Khadijah menjawab, “Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang bersikap baik kepada kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu yang lemah, menolong yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Mendengar ucapan itu, Nabi menjadi tenang.
Jawaban Khadijah bukanlah sekadar untuk membesarkan hati Nabi, tapi merupakan pengungkapan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw. bukan tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima masyarakat.
Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu Nabi Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam membangun dakwah Rasulullah Saw.
Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi Rasulullah Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang berkumpul dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu Bakar berbicara mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang selain-Nya.
Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin Quraisy memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolah-olah mereka dihina. Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang Abu Bakar dengan pukulan bertubi-tubi. Rasulullah Saw. berusaha melindungi Abu Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah Abu Bakar sulit dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama ‘Atabah bin Rabi’ah menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Darah pun mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar. Luka memar membiru menghiasi pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah Abu Bakar, datang melerai dan menarik orang-orang yang menganiaya Abu Bakar. Empat pemuda Banu Tamim lalu membawa Abu Bakar pulang ke rumahnya.
Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak, Salma, ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil Abu Bakar. “Atiq…Atiq…Atiq!” Abu Bakar tidak menjawab panggilan ibunya. Dia masih tidak sadarkan diri.
Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya dengan penuh kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu Bakar agar anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak. Salma bertanya, “Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?”
Abu Bakar balik bertanya, “Bagaimana keadaan Rasulullah.”
“Kami tidak tahu,” jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja mendengarkan percakapan istri dan anaknya.
“Pergilah ibu temui Fathimah binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar Rasulullah,” pinta Abu Bakar. Salma segera menemui Fathimah dan menjelaskan apa yang menimpa Abu Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan duduk di samping Abu Bakar yang masih terkapar.
“Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul Arqam,” jelas Fathimah.

Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga, ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya. Salma, ibunda Abu Bakar mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah Saw. Penggalan kisah ini menggambarkan betapa besar peran Salma dan Fathimah dalam menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu Bakar. Di saat Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu Tamim bingung melihat kondisi yang menimpa Abu Bakar, Salma dan Fathimah tampil sebagai “decision maker”.
Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang wanita, Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah saudara perempuannya Arwa binti Kariz, ibunda Utsman, untuk menceritakan kabar kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang lurus.
Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan berita yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan tentang Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Utsman sebenarnya tertarik dengan berita itu, tapi ia cepat mengalihkan pembicaraan ke seputar keluarga.
Malamnya Utsman tak bisa tidur lantaran kabar tentang Muhammad yang diceritakan bibinya terus terngiang di telinga. Ia heran, mengapa kabar itu terus mengganggu pikirannya. Ternyata Su’da amat baik dan runut dalam menceritakan kabar kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas di pikiran Utsman.
Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman akrabnya, Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar bertanya, “Apa yang sedang kamu pikirkan, Utsman?”
“Tidak ada,” jawabnya. “Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang kehadiran seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu terus mengganggu pikiranku,” lanjut Utsman.
Abu Bakar membenarkan berita yang disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu mengajaknya menemui Rasulullah Saw. Tak berpanjang kata, Utsman menyatakan diri masuk Islam.

Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran seorang wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan kasus penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh Abu Jahal. “Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)! Apa yang hendak kau perbuat seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami kemenakanmu, Muhammad. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara Muhammad tidak berkata apa-apa kepadanya,” ujar ibunda Hamzah.
Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi menemui Abu Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tanpa ba-bi-bu Hamzah memukul Abu Jahal dengan busurnya hingga berdarah. Hamzah berkata, “Engkau berani memaki Muhammad? Ketahuilah aku telah memeluk agamanya!”
Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari Muhammad untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu bahwa adiknya Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat mencari Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah adiknya lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang mengucur dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar melihat secarik kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan berkata, “Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini.” Setelah itu Umar menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya.
Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa Rasulullah Saw.
Saat ini, tuntutan jaman berbeda dengan jaman Rasulullah SAW, namun karakteristik dakwah Islam masih sama saja. Pertarungan antara Al-HAQ dan Bathil selalu saja ada dimana saja, kapanpun kita berada.
Dalam Hal ini, Tanggung Jawab dakwah akan sangatlah berat jika hanya terbeban pada pundak Laki-laki. Sebagaimana peran dakwah itu telah dipikul oleh kaum wanita dijaman Rasulullah SAW sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan memang tanggung jawab dakwah ini adalah tanggungjawab orang mukmin, laki-laki maupun perempuan tanpa pandang bulu. bahkan ALLAH SWT tidak membedakan kewajiban dakwah ini antara laki-laki dan perempuan. 
Hanya saja, ada batasan-batasan teknis yang memang harus diperhatikan dalam pelaksanaan dakwah ini.
Pada dasarnya, hukum syara' itu dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Tidak ditemukan perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal taklif (pembebanan hukum), kecuali bila terdapat nash-nash yang membedakannya.  

Apabila terdapat seruan seperti: "Hai orang-orang yang beriman", maka seruan tersebut selain ditujukan untuk kaum lelaki mencakup pula wanita. Dengan demikian, tidak perlu ada seruan khusus untuk kaum wanita, misalnya: "Wahai orang-orang wanita yang beriman".

Dalam bahasa arab terdapat kaidah yang menyatakan bahwa seruan bagi kaum laki-laki sekaligus mencakup seruan bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan seruan bagi perempuan, tidak mencakup bagi laki-laki; ia terbatas hanya untuk kaum wanita saja. Atas dasar tersebut dapat dipahami bahwa seruan-seruan Allah SWT seperti: "Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan para pemimpin  (pejabat yang menerapkan Islam)  dari  kalangan  kamu";

Walaupun kata-kata yang terdapat dalam firman Allah SWT di atas semuanya berbentuk mudzakkar (jenis laku-laki), akan tetapi seruan yang demikian telah disepakati bahwa ia juga mencakup bagi wanita.  

Tentang peran wanita muslimah dalam mengemban dakwah Islam; sebenarnya aktifitas tersebut bukanlah perbuatan yang berdiri sendiri. Sehingga dakwah untuk kalangan wanita mempunyai sejumlah hukum syara'. Berikut ini hanya akan disebutkan sebagian saja dari hukum-hukum tersebut:
1.    Menuntut ilmu tentang hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan berbagai urusan /perbuatan wanita ada lah wajib. Begitu pula dengan laki-laki terhadap perbuatan yang dikhususkan baginya.
2.    Aktifitas amar ma'ruf nahi munkar adalah wajib bagi wanita, sama halnya bagi laki-laki, tetapi masing-masing melakukannya sesuai dengan kemampuannya.
3.    Mengoreksi tingkah laku penguasa merupakan bagian dari amar ma'ruf nahi munkar yang sifatnya wajib atas wanita dan laki-laki.
4.    Mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kaum  muslimin serta memerangi pemikiran-pemikiran kufur dan sesat, merupakan kewajiban atas kaum laki-laki dan wanita.

Berkaitan dengan hukum-hukum di atas terdapat sejumlah keadaan wanita yang berkaitan dengan hukum syara’ yang lain, misalnya:

(1)     Wanita tidak boleh keluar rumah, tanpa izin dari walinya sendiri. Misalnya, ayah, saudara laki-laki, suami, paman, dan sebagainya. Ketentuan ini membatasi gerak dakwahnya.
(2)    Apabila tidak disertai suami atau salah seorang muhrim dari keluarganya, maka wanita tidak boleh mendatangi tempat-tempat khusus [rumah, apartemen, dan sebagainya] yang di dalamnya terdapat laki-laki asing yang bukan muhrimnya. Ketentuan ini juga membatasi gerak dakwahnya.
(3)    Apabila seorang wanita telah bergabung ke dalam suatu gerakan Islam dan pimpinan gerakan tersebut menyuruhnya melaksanakan suatu perintah, sementara walinya menyuruhnya dengan perintah yang lain, maka ia wajib menaati perintah walinya selama perintah itu bukan berupa maksiat yang nyata.

Secara umum jika kita perhatikan, peran wanita dimana saja, tidak lepas dari posisinya dalam dakwah:
1. Sebagai seorang muslimah dan anak yang sholihah (ketika masih belum berkeluarga)
2. Sebagai Seorang Istri
3. Sebagai Seorang Ibu 

Peran Wanita Dalam Rumah Tangga
Telah termaktub dalam Al Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah: "Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian." (Al Ahzab: 33)


Intinya, Wanita menjadi tulang punggung dakwah ini, tiada pernah kenal lelah dalam dakwah, itulah wanita-wanita yang dibutuhkan oleh generasi sekarang, wanita pencetak kader-kader dakwah, menghasilkan generasi yang akan menghantarkan Islam jaya kembali sebagaimana masa dijaman para sahabat dan generasi Rasulullah SAW.

Wallahu a'lamu bish-showab.

Tuesday, May 15, 2012

Larangan Meminta-minta dan Haram Hukumnya Bagi yang Berkecukupan

Allah SWT berfirman, "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengatahui," (Al-Baqarah: 273).
Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya seseorang terus meminta-minta hingga ia akan datang nanti pada hari Kiamat tanpa ada sepotong daging pun di wajahnya'," (HR Bukhari [1474] dan Muslim [1040]).
Dari Mu'awiyah r.a, ia berkata, Rasululullah saw. bersabda, "Janganlah banyak meminta-minta, demi Allah tidaklah seseorang meminta sesuatu kepadaku lalu permintaannya itu aku penuhi sementara aku tidak rela memberikannya melainkan apa yang aku berikan itu tidak akan ada berkah baginya," (HR Muslim [1038]).
Dari 'Auf bin Malik al-Asyja'i r.a, ia berkata, "Suatu ketika kami berada di dekat Rasulullah saw, kira-kira sembilan, delapan atau tujuh orang. Beliau berkata, 'Tidakkah kalian membai'at Rasulullah?' Saat itu kami baru saja berbai'at. Kami menjawab, 'Kami sudah membai'atmu wahai Rasulullah!' Kemudian beliau berkata lagi, 'Tidakkah kalian membai'at Rasulullah?' Kami menjawab, 'Kami sudah membai'atmu wahai Rasulullah!' Belaiu berkata lagi, 'Tidakkah kalian membai'at Rasulullah?' Maka kami pun mengulurkan tangan dan berkata, 'Kami akan membai'atmu wahai Rasulullah, atas apakah kami membai'atmu?' Rasulullah berkata,'Untuk menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, menegakkan shalat lima waktu, tetap taat dan -beliau melirihkan suara sambil berkata- janganlah kalian meminta-minta kepada manusia.' Sungguh aku lihat sebagian dari mereka yang jatuh cambuknya namun ia tidak meminta tolong kepada seorang pun untuk mengambilkannya," (HR Muslim [1043]).
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya ia telah meminta bara api, silahkan ia mau menyedikitkannya atau memperbanyaknya'!" (HR Muslim [1041])
Dari Samurah bin Jundud r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya meminta-minta itu adalah bekas cakaran, seseorang mencakar wajahnya sendiri dengan meminta-minta. Kecuali seseorang meminta kepada sultan sesuatu yang harus ia minta'," (Shahih, HR Abu Dawud [1639], at-Tirmidzi [681], an-Nasa'i [V/100], Ahmad [V/10], al-Baghawi [1624], Ibnu Abi Syaibah [III/208] dan Ibnu Hibban [3386 dan 3397]).
Dari 'Imran bin Hushain r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Orang kaya (berkecukupan) yang meminta-minta akan menjadi cacat di wajahnya pada hari Kiamat nanti," (Shahih, HR Ahmad [IV/426 dan 436], ath-Thabrani [18/356, 362 dan 400] dan al-Bazzar [922])
Dari Jabir bin 'Abdillah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepadaku untuk meminta sesuatu lalu aku memberinya kemudian ia pergi. Tidaklah ia memikul di pundaknya kecuali api Neraka," (Shahih, HR Ibnu Hibban [3392]).
Kandungan Bab:
  1. Haram hukumnya meminta-minta tanpa ada kebutuhan atau hanya untuk memperbanyak harta. 
  2. Meminta-minta kepada orang tanpa ada kebutuhan akan mendatangkan kehinaan di dunia dan adzab di akhirat. 
  3. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan kaya yang tidak boleh meminta-minta:
    1. Barangsiapa memiliki lima puluh dirham atau emas seharga itu, maka ia tidak boleh meminta-minta. Para ulama berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits 'Abdullah bin Mas'ud r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa meminta-minta kepada manusia sementara ia memiliki kecukupan, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan bekas cakaran atau bekas garukan di wajahnya." Ada yang bertanya, "Apakah batasan kecukupan itu wahai Rasulullah?" beliau berkata, "Lima puluh dirham atau emas yang seharga dengan itu," (Shahih, HR Abu Dawud [1626], at-Tirmidzi [650], an-Nasa'i [V/97], Ibnu Majah [1840], Ahmad [I/388 dan 441], ad-Darimi [I/386], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [1600]).
      At-Tirmidzi (III/41), "Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian rekan kami. Dan juga pendapat yang dipilih oleh ats-Tsauri, 'Abdullah bin al-Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka berkata, 'Jika seseorang memiliki lima puluh dirham, maka tidak halal baginya shadaqah'." 
    2. Sebagian ulama berpendapat, barangsiapa memiliki uqiyyah seharga empat puluh dirham, maka ia tidak boleh meminta-minta. Mereka berdalil dengan riwayat seorang laki-laki dari Bani Asad, ia bercerita, "Aku dan keluargaku singgah di Baqi' Gharqad. Keluargaku berkata kepadaku, 'Pergilah kepada Rasulullah dan mintalah sesuatu kepada beliau untuk dapat kita makan.' Maka mereka pun menyebutkan beberapa kebutuhan mereka. Aku pun pergi menemui Rasulullah saw. dan aku dapati seorang laki-laki sedang meminta kepada beliau. Rasulullah berkata, 'Aku tidak punya sesuatu untuk kuberikan padamu!' Laki-laki itu pun pergi sambil menggerutu dan berkata, 'Demi Allah, engkau hanya memberi orang yang engkau kehendaki.' Rasulullah berkata, 'Dia marah kepadaku karena aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan padanya. Barangsiapa dari kalian meminta-minta sementara ia memiliki uqiyyah atau yang seharga dengannya berarti ia telah melakukan ilhaf (adalah terus menerus meminta hingga diberi)'."
      Al-Asadi (yakni laki-laki dari Bani Asad) berkata, 'Sungguh, seekor unta milik kami lebih baik daripada satu uqiyyah -Imam Malik berkata, 'Satu uqiyyah sama dengan empat puluh dirham'- Lalu ia berkata, 'Aku pun kembali dan tidak jadi meminta.' Kemudian setelah itu Rasulullah saw. kepada kami hingga akhirnya Allah SWT memberi kecukupan kepada kami," (Shahih, HR Malik [II/999], Abu Dawud [1627], an-Nasa'i [V/98-99], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [1601]). 
    3. Sebagian ulama berpendapat bahwa barangsiapa memiliki makanan untuk makan siang atau makan malam, maka ia tidak boleh meminta-minta. Mereka berdalil dengan hadits Sahal bin Hanzhaliyah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa meminta-minta sementara ia memiliki kecukupan, maka sesungguhnya ia sedang memperbanyak bagian dari api Neraka." Ia bertanya, "Apakah batasan kecukupan itu wahai Rasulullah?" Rasul berkata, "Sekadar kecukupan untuk makan siang dan makan malam," (Shahih, HR Abu Dawud [1629], Ahmad [IV/180-181]).
  4. Sebagian ahli ilmu berusaha menggabungkan antara hadits-hadits di atas sebagai berikut:
    1. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa hadits Sahal bin al-Hanzhaliyah mansukh (telah dihapus hukumnya). 
    2. Sebagian ahli ilmu berpendapat hadits Sahal bin al-Hanzhaliyah berlaku atas orang yang tidak dibolehkan meminta-minta. Barangsiapa memiliki kebutuhan pokok sehari-hari maka ia tidak boleh meminta-minta. Dan mereka membolehkan memberi shadaqah kepada orang yang tidak memiliki harta mencapai nishab, meskipun ia seorang yang sehat dan punya usaha. cSebagian ulama berpendapat, hadits sahal bin al-Hanzhaliyah berlaku atas orang yang secara kontinyu memiliki kebutuhan pokok yang mencukupi.
      Saya katakan, "Klaim hadits Sahal ini mansukh tidaklah benar karena tidak ada indikasi yang menguatkan bagi hadits ini mansukh tidaklah benar karena tidak ada indikasi yang menguatkan bagi hadits ini atas yang lainnya. Sementara proses penggabungan masih bisa dilakukan. Barangsiapa memiliki kebutuhan pokok sehari-hari secara kontinyu, maka ia tidak halal menerima zakat. Barangsiapa tidak punya harta yang mencapai nishab sementara ia memiliki tanggungan keluarga, maka ia boleh diberi shadaqah tanpa memintanya. Karena syari'at memerintahkan agar menerima zakat dari orang-orang kaya untuk diserahkan kepada kaum fakir. Jadi jelaslah, barangsiapa tidak punya harta yang mencapai nishab, maka ia tergolong fakir, wallaahu a'lam.
  5. Tidak boleh meminta-minta kecuali orang yang menanggung hutang atau orang yang tertimpa musibah yang meludeskan hartanya atau orang yang ditimpa kemelaratan yang sangat. Berdasarkan hadits Qabishah bin al-Mukhariq al-Hilali r.a, ia berkata, "Aku menanggung hamaalah lalu aku menemui Rasulullah saw. meminta bantuan kepada belaiu. Rasulullah saw. bersabda, "Tunggulah di sini, apabila datang harta zakat, kami akan memberikan bagian untukmu." Kemudian beliau bersabda, "Hai Qabishah, meminta-minta tidaklah dihalalkan kecuali bagi tiga orang: Pertama, seorang yang memikul tanggungan hutang (hamalah), maka ia boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya kemudian berhenti meminta. Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang meludeskan seluruh hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat menutupi kebutuhan pokoknya. Atau hingga ia dapat mencukupi kebutuhan pokoknya. Ketiga, seorang yang ditimpa melaratan hingga tiga orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian: 'Si fulan telah ditimpa kemelaratan', maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat menutupi kebutuhannya. Selain dari tiga macam itu hai Qabishah, hanyalah merupakan barang haram yang dimakan oleh si peminta-minta sebagai barang haram," (HR Muslim [1044]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/601-602.
Oleh: Fani

Monday, May 14, 2012

Nasehat untuk putriku tercinta.


Wahai putriku, kini engkau telah sampai pada usia dimana engkau telah memiliki kewajiban mengemban amanah kehidupan dari sang Robbul 'Izzati...

Kamu tentu tahu apa arti sebuah barang yang tersegel, tertutup rapat, menunjukkan bahwa barang itu orisinil/asli dari pabriknya.
Maka, tutuplah aurotmu rapat-rapat. Karena itu WAJIB putriku, sekali lagi WAJIB, BUKAN SUNNAH dan BUKAN pula ADAT. Janganlah engkau meniru dalam berhias, berdandan dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah. coba silahkan dilihat Al-Qur'an mu surat An-Nuur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 33 dan 59 agar hatimu yakin.

Putriku, Agama kita mendidik agar ummat Islam memiliki karakter yang "tamayyuz" (berbeda) dengan agama lain. Maka ikutilah milah Rasulullah SAW saja. InsyaALLAH kamu dan kita semua akan selamat.
Jangan seperti orang-orang yang apriori terhadap sebuah perintah, mereka mencari-cari alasan untuk membangkang. Dengan berdalih "ah, belum tentu yang terbungkus itu barang baik, buktinya, masih banyak yang terbungkus tapi busuk kelakuannya". Ingatkah putriku, dalih seperti itu adalah bagian dari "khuthuwatisy-syaithoon" yang akan menjeratmu kepada pemikiran liberal. Mereka tidak paham dengan substansi sebuah perintah, mereka salah dalam mengambil kesimpulan dari premis-premis logic, karena "fii quluubihim marodhun" hati mereka tertutup, ada penyakit. Maka, tinggalkan cara berpikir mereka.

Ikuti saja panggilan ALLAH SWT, bersamaan dengan belajar menjaga berbagai konsekwensinya. Kalaupun dirimu melihat ada orang yang 'terbungkus' namun masih berkelakuan kurang baik, pahamilah, dia adalah manusia, yang tak bisa lepas dari salah. BUKAN KARENA BUNGKUSNYA yang menyebabkan ia berkelakuan kurang baik. Tapi karena ia khilaf. Jika yang terbungkus saja sangat mungkin berbuat salah APALAGI YANG TIDAK TERBUNGKUS?? Secara, dhohir saja ia telah berani membangkang dari perintah ALLAH SWT, bagaimana dia akan mempertahankan syari'at yang lain??
Masalah isi hati adalah masalah hidayah "hiya biyadillah !!" yang mutlak di "tangan" ALLAH SWT. ITU SEBAGAI LANGKAH KEMUDIAN setelah kita berusaha untuk menggapai hidayah dengan mengikuti panggilanNya mengulurkan hijab keseluruh tubuh yang wajib ditutup, SEBAGAI LANGKAH PERTAMAnya.
Semoga ALLAH SWT senantiasa merahmati dan membimbingmu serta kita semua wahai putriku tercinta.
Wallahu ma'alladziina yadzkuruunahu fiikulli makaan wa fii kulli saa'atan...

Dari Ayahandamu.

MasyaAllah, betapa senang hati ini ketika seorang anak yang beranjak remaja memiliki keinginan untuk menjadi seorang hafidz.
Ya, Allah bimbinglah kami untuk dapat mendidik anak-anak kami menggapai cita-citanya yang mulia, meraih Ridho-Mu...
Amiin.