Monday, December 26, 2011

Ayat Qur'an dan Hadist tentang berbakti kepada orang tua



Alqur'an:
(17. Al-isro'/bani Isro'il:23-24). 23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil."25. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
(46. Al Ahqaaf:15) Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(29. Al 'Ankabuut:8) Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(4. An Nisaa': 36) Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(6. Al An'aam:151) Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
(2. Al Baqarah:83) Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....
(31. Luqman:14) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.


Hadist:
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata,”Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.” [HR.Abu Dawud dengan sanad shohih.lihat Shohih Targhib: 2481]


Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang anak belum dikatakan berbakti kepada kedua orangtua, kecuali kalau dia menemukan orangtuanya menjadi budak kemudian membeli dan memerdekakannya." (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Di dalam riwayat Imam Muslim diketengahkan, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku ingin berbaiat kepadamu untuk berhijrah dan berjihad semata-mata mencari pahala dari sisi Al­lah." Kemudian Rasulullah bertanya: "Adakah di antara kedua orangtuamu ada yang masih hidup?" Jawabnya: "Ya, ada." Lalu Rasulullah bersabda: "Kembalilah kepada orangtuamu dan berbuat baiklah kepadanya."

Sahabat Abdillah bin Mas'ud ra berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah:" Ya Rasulallah, manakah amal yang paling disukai Allah?" Jawab Rasulullah: "Shalat tepat pada waktunya." Kemudian aku bertanya lagi: "Lalu apa lagi, ya Rasulal­lah?" Jawab beliau: "Berbakti kepada orangtua." Aku bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Jawab Rasulullah: "Berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah" saw telah bersabda: "Berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya kelak anak-anakmu akan berbakti kepadamu, Dan peliharalah kehormatan dirimu, niscaya istri-istrimu akan selalu memelihara kehormatannya." (HR. Thabrani dengan sanad hasan).

Sahabat Asma' binti Abu Bakar ra telah berkata: Di zaman Rasulullah pernah ibu datang kepadaku, padahal dia masih musyrik. Lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah: "Ya Rasu­lallah, ibuku yang masih musyrik datang kepadaku karena dia sangat mencintaiku. Adakah aku harus menyambuhg silaturrahmi dengannya?" Jawab Rasulullah: "Ya, kamu harus tetap menjaga tali kekeluargaan dengan ibumu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abi Usaid Malik bin Rabiah As-Sa'idiy ra berkata: Pada suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang lelaki dari Bani Sal amah menghadap beliau seraya berkata: "Ya Rasulullah, masih adakah kewajibah berbakti kepada kedua orangtua setelah mereka meninggal''" Jawab Rasulullah: "Ya, masih. Yakni dengan cara menyalati ketika meninggal, memintakan ampunan kepadanya, melestarikan janji-janji yang telah dibuatnya, menyambung tali silaturra­hmi dengan sanak familinya, dan menyambung tali persaudaraan dengan teman-teman karibnya sewaktu masih hidup." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya)

Sahabat Mughirah bin Syu'ban ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepadamu berani kepada kedua orangtua, menanam hidup-hidup anak perempuan, mencegah barang haq, berkata begini dan begitu yang tiada menentu, memperbanyak pertanyaan, dan menghambur-hamburkan harta." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abi Bakar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Bersediakah aku memberi khabar kepadamu tentang dosa yang paling besar?" Sabda Rasulullah ini diulang hingga-tiga kali. Lalu kami menjawab: "Ya Rasulallah, kami bersedia menerimanya." Kemudian beliau bersabda: "Yakni menyekutukan Allah dan berani kepada orangtua." Ketika Rasu­lullah bersabda demikian, beliau sedang duduk bersandar. Lalu beliau bangkit, duduk tegak seraya bersabda: "Dan berbicara bohong serta menjadi saksi palsu." Rasulullah mengulangi sabdanya ini berkali-kali, sehingga aku menyangka bahwa beliau tidak akan berhenti mengulangi sabda tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abdillah bin Amrin bin Ash ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Termasuk bagian dari dosa besar adalah berkata jorok kepada orangtua." Para sahabat bertanya: "Ya Rasulallah, adakah seseorahg yang tega berkata jorok terhadap orang tuanya?" Jawab Rasulullah: "Ya, ada. Yakni seseorang yang mengatakan suatu perkataan jorok kepada ayah orang lain kemudian orang itu berbalik membalas mengatakan sesuatu yang jorok kepada orangtuanya. Demikian pula terhadap ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Umar bin Murrah Al-Juhani ra berkata: Ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata: " Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan yang pantas disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah. Dan aku telah mengerjakan shalat lima waktu, membayar zakat atas harta bendaku, dan melakukan puasa di bulan Ramadhan. Bagaimanakah nasibku nanti?" Jawab Rasulullah: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan sebagaimana diungkapkan di atas, maka pada hari kiamat nanti dia akanberada di sisi para nabi, para shidiqin, dan para syuhada'." Lalu Rasulullah mengacungkan jari tangannya seraya bersabda: "Selagi orang itu tldak durhaka terhadap kedua orangtuanya." (HR. Ahmad dan Thabrani dengan dua sanad, yang satu di antaranya adalah shahih).

Sahabat Tsauban ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Ada tiga perkara yang menyebabkan amal seseorang tidak akan diterima di sisi Allah. Yakni menyekutukan Allah, berani kepada kedua orangtua, dan melarikan diri dari barisan perang." (HR. Thabrani).

Ayat Qur'an dan Hadist tentang berbakti kepada orang tua



Alqur'an:
(46. Al Ahqaaf:15) Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(29. Al 'Ankabuut:8) Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(4. An Nisaa': 36) Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(6. Al An'aam:151) Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
(2. Al Baqarah:83) Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....
(31. Luqman:14) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.


Hadist:
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata,”Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.” [HR.Abu Dawud dengan sanad shohih.lihat Shohih Targhib: 2481]


Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang anak belum dikatakan berbakti kepada kedua orangtua, kecuali kalau dia menemukan orangtuanya menjadi budak kemudian membeli dan memerdekakannya." (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Di dalam riwayat Imam Muslim diketengahkan, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku ingin berbaiat kepadamu untuk berhijrah dan berjihad semata-mata mencari pahala dari sisi Al­lah." Kemudian Rasulullah bertanya: "Adakah di antara kedua orangtuamu ada yang masih hidup?" Jawabnya: "Ya, ada." Lalu Rasulullah bersabda: "Kembalilah kepada orangtuamu dan berbuat baiklah kepadanya."

Sahabat Abdillah bin Mas'ud ra berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah:" Ya Rasulallah, manakah amal yang paling disukai Allah?" Jawab Rasulullah: "Shalat tepat pada waktunya." Kemudian aku bertanya lagi: "Lalu apa lagi, ya Rasulal­lah?" Jawab beliau: "Berbakti kepada orangtua." Aku bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Jawab Rasulullah: "Berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah" saw telah bersabda: "Berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya kelak anak-anakmu akan berbakti kepadamu, Dan peliharalah kehormatan dirimu, niscaya istri-istrimu akan selalu memelihara kehormatannya." (HR. Thabrani dengan sanad hasan).

Sahabat Asma' binti Abu Bakar ra telah berkata: Di zaman Rasulullah pernah ibu datang kepadaku, padahal dia masih musyrik. Lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah: "Ya Rasu­lallah, ibuku yang masih musyrik datang kepadaku karena dia sangat mencintaiku. Adakah aku harus menyambuhg silaturrahmi dengannya?" Jawab Rasulullah: "Ya, kamu harus tetap menjaga tali kekeluargaan dengan ibumu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abi Usaid Malik bin Rabiah As-Sa'idiy ra berkata: Pada suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang lelaki dari Bani Sal amah menghadap beliau seraya berkata: "Ya Rasulullah, masih adakah kewajibah berbakti kepada kedua orangtua setelah mereka meninggal''" Jawab Rasulullah: "Ya, masih. Yakni dengan cara menyalati ketika meninggal, memintakan ampunan kepadanya, melestarikan janji-janji yang telah dibuatnya, menyambung tali silaturra­hmi dengan sanak familinya, dan menyambung tali persaudaraan dengan teman-teman karibnya sewaktu masih hidup." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya)

Sahabat Mughirah bin Syu'ban ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepadamu berani kepada kedua orangtua, menanam hidup-hidup anak perempuan, mencegah barang haq, berkata begini dan begitu yang tiada menentu, memperbanyak pertanyaan, dan menghambur-hamburkan harta." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abi Bakar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Bersediakah aku memberi khabar kepadamu tentang dosa yang paling besar?" Sabda Rasulullah ini diulang hingga-tiga kali. Lalu kami menjawab: "Ya Rasulallah, kami bersedia menerimanya." Kemudian beliau bersabda: "Yakni menyekutukan Allah dan berani kepada orangtua." Ketika Rasu­lullah bersabda demikian, beliau sedang duduk bersandar. Lalu beliau bangkit, duduk tegak seraya bersabda: "Dan berbicara bohong serta menjadi saksi palsu." Rasulullah mengulangi sabdanya ini berkali-kali, sehingga aku menyangka bahwa beliau tidak akan berhenti mengulangi sabda tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abdillah bin Amrin bin Ash ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Termasuk bagian dari dosa besar adalah berkata jorok kepada orangtua." Para sahabat bertanya: "Ya Rasulallah, adakah seseorahg yang tega berkata jorok terhadap orang tuanya?" Jawab Rasulullah: "Ya, ada. Yakni seseorang yang mengatakan suatu perkataan jorok kepada ayah orang lain kemudian orang itu berbalik membalas mengatakan sesuatu yang jorok kepada orangtuanya. Demikian pula terhadap ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Umar bin Murrah Al-Juhani ra berkata: Ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata: " Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan yang pantas disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah. Dan aku telah mengerjakan shalat lima waktu, membayar zakat atas harta bendaku, dan melakukan puasa di bulan Ramadhan. Bagaimanakah nasibku nanti?" Jawab Rasulullah: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan sebagaimana diungkapkan di atas, maka pada hari kiamat nanti dia akanberada di sisi para nabi, para shidiqin, dan para syuhada'." Lalu Rasulullah mengacungkan jari tangannya seraya bersabda: "Selagi orang itu tldak durhaka terhadap kedua orangtuanya." (HR. Ahmad dan Thabrani dengan dua sanad, yang satu di antaranya adalah shahih).

Sahabat Tsauban ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Ada tiga perkara yang menyebabkan amal seseorang tidak akan diterima di sisi Allah. Yakni menyekutukan Allah, berani kepada kedua orangtua, dan melarikan diri dari barisan perang." (HR. Thabrani).

Ayat Qur'an dan Hadist tentang berbakti kepada orang tua

Alqur'an:
(46. Al Ahqaaf:15) Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(29. Al 'Ankabuut:8) Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(4. An Nisaa': 36) Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(6. Al An'aam:151) Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
(2. Al Baqarah:83) Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....
(31. Luqman:14) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.


Hadist:
Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang anak belum dikatakan berbakti kepada kedua orangtua, kecuali kalau dia menemukan orangtuanya menjadi budak kemudian membeli dan memerdekakannya." (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Di dalam riwayat Imam Muslim diketengahkan, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku ingin berbaiat kepadamu untuk berhijrah dan berjihad semata-mata mencari pahala dari sisi Al­lah." Kemudian Rasulullah bertanya: "Adakah di antara kedua orangtuamu ada yang masih hidup?" Jawabnya: "Ya, ada." Lalu Rasulullah bersabda: "Kembalilah kepada orangtuamu dan berbuat baiklah kepadanya."

Sahabat Abdillah bin Mas'ud ra berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah:" Ya Rasulallah, manakah amal yang paling disukai Allah?" Jawab Rasulullah: "Shalat tepat pada waktunya." Kemudian aku bertanya lagi: "Lalu apa lagi, ya Rasulal­lah?" Jawab beliau: "Berbakti kepada orangtua." Aku bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Jawab Rasulullah: "Berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah" saw telah bersabda: "Berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya kelak anak-anakmu akan berbakti kepadamu, Dan peliharalah kehormatan dirimu, niscaya istri-istrimu akan selalu memelihara kehormatannya." (HR. Thabrani dengan sanad hasan).

Sahabat Asma' binti Abu Bakar ra telah berkata: Di zaman Rasulullah pernah ibu datang kepadaku, padahal dia masih musyrik. Lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah: "Ya Rasu­lallah, ibuku yang masih musyrik datang kepadaku karena dia sangat mencintaiku. Adakah aku harus menyambuhg silaturrahmi dengannya?" Jawab Rasulullah: "Ya, kamu harus tetap menjaga tali kekeluargaan dengan ibumu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abi Usaid Malik bin Rabiah As-Sa'idiy ra berkata: Pada suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang lelaki dari Bani Sal amah menghadap beliau seraya berkata: "Ya Rasulullah, masih adakah kewajibah berbakti kepada kedua orangtua setelah mereka meninggal''" Jawab Rasulullah: "Ya, masih. Yakni dengan cara menyalati ketika meninggal, memintakan ampunan kepadanya, melestarikan janji-janji yang telah dibuatnya, menyambung tali silaturra­hmi dengan sanak familinya, dan menyambung tali persaudaraan dengan teman-teman karibnya sewaktu masih hidup." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya)

Sahabat Mughirah bin Syu'ban ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepadamu berani kepada kedua orangtua, menanam hidup-hidup anak perempuan, mencegah barang haq, berkata begini dan begitu yang tiada menentu, memperbanyak pertanyaan, dan menghambur-hamburkan harta." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abi Bakar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Bersediakah aku memberi khabar kepadamu tentang dosa yang paling besar?" Sabda Rasulullah ini diulang hingga-tiga kali. Lalu kami menjawab: "Ya Rasulallah, kami bersedia menerimanya." Kemudian beliau bersabda: "Yakni menyekutukan Allah dan berani kepada orangtua." Ketika Rasu­lullah bersabda demikian, beliau sedang duduk bersandar. Lalu beliau bangkit, duduk tegak seraya bersabda: "Dan berbicara bohong serta menjadi saksi palsu." Rasulullah mengulangi sabdanya ini berkali-kali, sehingga aku menyangka bahwa beliau tidak akan berhenti mengulangi sabda tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Abdillah bin Amrin bin Ash ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Termasuk bagian dari dosa besar adalah berkata jorok kepada orangtua." Para sahabat bertanya: "Ya Rasulallah, adakah seseorahg yang tega berkata jorok terhadap orang tuanya?" Jawab Rasulullah: "Ya, ada. Yakni seseorang yang mengatakan suatu perkataan jorok kepada ayah orang lain kemudian orang itu berbalik membalas mengatakan sesuatu yang jorok kepada orangtuanya. Demikian pula terhadap ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Umar bin Murrah Al-Juhani ra berkata: Ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata: " Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan yang pantas disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah. Dan aku telah mengerjakan shalat lima waktu, membayar zakat atas harta bendaku, dan melakukan puasa di bulan Ramadhan. Bagaimanakah nasibku nanti?" Jawab Rasulullah: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan sebagaimana diungkapkan di atas, maka pada hari kiamat nanti dia akanberada di sisi para nabi, para shidiqin, dan para syuhada'." Lalu Rasulullah mengacungkan jari tangannya seraya bersabda: "Selagi orang itu tldak durhaka terhadap kedua orangtuanya." (HR. Ahmad dan Thabrani dengan dua sanad, yang satu di antaranya adalah shahih).

Sahabat Tsauban ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Ada tiga perkara yang menyebabkan amal seseorang tidak akan diterima di sisi Allah. Yakni menyekutukan Allah, berani kepada kedua orangtua, dan melarikan diri dari barisan perang." (HR. Thabrani).

Thursday, December 15, 2011

Rukun dan Syarat Akad Nikah

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albanirahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsahkecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Footnotes:
  1. Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
  2. Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
  3. Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
  4. Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633

Tuesday, December 13, 2011

Tawassul, gimana caranya?

Salah seorang pembaca media Online terkemuka di Inndonesia menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. “Apakah bertawasul/berdo’a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo’akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan,” katanya.
Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, ” (Al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. “Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.”
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
H M. Cholil Nafis

Bacaan Tahlil dan sedekah untuk mayyit, bergunakah??

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
KH Nuril Huda