Thursday, April 21, 2011

Boleh Mengkodho' sholat qobliyah subuh setelah sholat subuh

Dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260, As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” . Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi (hadist ke-422) dan Abu Dawud (hadist ke- 1267) yang juga di-shahihkan oleh syaikh al-albani sbb:

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?”. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”.

Wednesday, April 13, 2011

MENJADI HAMBA ALLAH YANG BAIK

Bismillahirrohmaanirrohiim.
Assalamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillahi robbul ‘arsyil ‘adhim, alladzi anzala sakiinatan fii quluubil mu’miniin, waja’al sayyidana Muhammadan uswatunaa wa rahmatan lil ‘aalamiin, Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warosuuluh shodiqul ambiyaai wa minal mursaliin.
Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin ……
‘amma ba’du.
Sebelum saya memulai tausiyah ini, saya perkenalkan diri saya terlebih dulu. Karena, kalau kata pepatah, ”tak kenal maka tak sayang”, maka kata Rasulullah SAW yang jauh lebih bermakna, ” tidak sempurna iman seseorang itu manakala ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”, bahkan didalam AlQur’an Allah menyampaikan “sesungguhnya setiap muslim itu adalah bersaudara”, maka dari itu alangkah baiknya kalau saudara saling mengenal.

Saudaraku yang dirahmati Allah, semenjak kita bangun tidur dan pergi untuk tidur kembali, kita merasa bahwa siklus itu berjalan begitu saja. Ketika kita bangun tidur kita langsung beraktifitas merencanakan segala kegiatan yang akan kita lakukan, kita merencanakan kegiatan satu jam kedepan, satu hari kedepan, satu minggu kedepan, dan bahkan sampai sepuluh tahun kedepan kita sudah merencanakan hari itu juga. Ya, tidak salah bila kita lakukan hal tersebut, terutama bila perencanaan tersebut berada dalam konteks yang positif, memang kita diharuskan untuk menrencanakan dan berhati-hati dalam melangkah demi masa depan kita, sebagaimana didalam alqur’an surat. 


Namun, bila perencanaan itu ada dalam konteks yang tidak benar hanya urusan duniawi semata, misalnya nanti satu tahun lagi saya harus punya mobil, saya harus naik jabatan, saya harus ini dan itu. Maka ketika rencana dan harapan itu tidak terwujud maka akan dengan mudah kita putus asa dan stress karenanya, nah perencanaan yang semacam ini yang tidak sesuai dengan konteks ayat tadi. Padahal, Ayat tersebut menurut para mufassirin, ”hari esok” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ”hari akhir kelak”, sehingga makna dari ayat tersebut memberikan arahan agar kita senantiasa mengingat masa depan kita, mempersiapkan bekal apa yang akan kita bawa kelak ketika kita kembali menghadap Allah ta’ala.
Nah, kembali pada kesibukan kita sehari-hari yang sering kali kita jarang memikirkan dan meresapi makna hidup ini secara mendalam. Seolah-olah hidup kita ini menggelinding begitu saja. Padahal, kalau kita mencermati siklus hidup kita ini, rasanya tidak ada waktu lagi bagi kita untuk bersenang-senang, bergurau, apalagi cuma sekedar mencari kesenangan nafsu belaka. Mengapa???? Baik, mari kita perhatikan, semenjak kita bangun tidur sampai tidur kembali, berapa banyak oksigen (udara) yang kita hirup secara GRATIS ? Perhatikan aliran darah kita, sistem saraf kita, pendengaran kita, lidah kita, mata kita, berapa banyak nikmat Allah yang terus mengalir diberikan kepada kita? Berapa ratus juta yang harus kita keluarkan untuk mengganti dan membayar semua nikmat itu setiap harinya? Siapa yang memberi? Bayangkan andai kita harus mengganti dengan melakukan pekerjaan, maka kita tidak akan pernah bisa berhenti bekerja untuk istirahat demi membayar nikmat-nikmat itu. Pantas kalau dalam surat Arrahman Allah mengulang-ulang sebanyak 33 kali ayat : ”Maka nikmat tuhanmu yang manakah lagi yang engkau dustakan”.

Maka dari itu saudaraku, pada kesempatan kali ini, mari kita bermuhasabah, apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup ini, karenanya tema kita kali ini adalah MENJADI HAMBA ALLAH YANG BAIK, semoga bisa memberikan motivasi baru bagi kita semua agar kita lebih bersemangat dalam bersyukur dan beribadah kepada Allah swt. Saudaraku yang diRahmati Allah, setiap hari kita makan 3 kali setidaknya 2 kalilah begitu ya, dengan kualitas makanan yang minimal menyebabkan kita kenyang dan bisa beraktifitas. Meskipun secara gizi kan seharusnya memenuhi 4 sehat 5 sempurna agar stamina terjaga dan tubuh kita tetap sehat. Maksud saya begini, kalau tubuh saja memiliki hak untuk dipenuhi gizi/nutrisinya agar tubuh kita tetap fit. Maka ada hal yang jauh lebih penting untuk diberi gizi/nutrisi, APA ITU?  JIWA DAN RUH kita.






Agar jiwa dan ruh kita tidak lengah, tidak lalai tetap dalam jalan yang diRidhoi Allah, maka kita harus memberi nutrisi/gizi yang cukup. Apa gizinya? Syahadat, Sholat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji bila mampu itu adalah gizi utamanya (karbohidratnya). Sedangkan sayurnya, lauknya, buahnya, dan susunya adalah Amalan-amalan sunnah yang lain seperti puasa sunnah, sholat-sholat sunnah, shodaqoh, berbuat baik kepada sesama, dll, termasuk mendengarkan tausiyah ini adalah bagian dari nutrisi Jiwa atau Ruh, dan yang lebih penting adalah mengamalkan apa yang ditausiyahkan itu.
Saudaraku yang dirahmati Allah, untuk menjadi Hamba Allah yang baik secara sederhana begini. Kita tahu bahwa kita diciptakan Allah didunia ini sebenarnya tugas utamanya adalah ’Ibadah/mengabdi dengan setulus-tulusnya dan semurni-murninya pengabdian hanya kepada Allah semata, perhatikan surat:
  

Nah, bagaimana caranya kita mengabdi kepada Allah???
Saudaraku hamba dan kekasih Allah... Amiin. Bayangkan andaikata kita ditaruh disebuah pulau yang kita tidak tahu sama sekali seluk beluk pulau itu, maka apakah kita tahu kemana kita pergi bila tidak ada petunjuk? Jawabnya pasti kita bingung dan tidak tahu kemana dan apa yang akan kita perbuat.
Tapi, Allah SWT Maha Rahman dan Rahim, Allah memberi petunjuk kepada kita berupa Alqur’an, dengan Alqur’an itu kita bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, bagaimana kita seharusnya bermasyarakat, mengatur negara, dll. Tidak cukup itu, Allah juga memodelkan Alqur’an itu dengan sosok figur manusia, yang sangat mungkin untuk kita contoh perilakunya, yang memang diciptakan untuk menjadi suri tauladan bagi kita semua, Beliau adalah Rasulullah muhammad SAW, sang Qur’an berjalan. Sebagaimana yang sayyidah A’isyah r.a katakan ”kaana Rasuulullahi khuluquhul qur’aan”. Yang mana perilaku, ucapan dan diamnya Rasulullah adalah menjadi pedoman teknis hidup kita yang tertuang sebagai HADIST. Dan bahkan manakala kita melakukan teknis peribadatan, bilamana tidak sesuai dengan yang beliau contohkan maka akan tertolak sebagaimana HSR Muslim 1718 (bisa kita lihat dalam kitab Arba’in Nawawi hadist ke 5) ”Barang siapa melakukan amal yang tidak ada contohnya dari ku (Rasul) maka akan tertolak”.
Nah, ada 4 hal yang perlu kita perhatikan agar kita menjadi Hamba Allah yang baik.
  1. Yang pertama, Nadhiifatu washshohiihatul Imaan (Iman yang bersih dan benar)
  2. Yang kedua Al-Ikhlaashunniyyah (Niat yang Ikhlash)
  3. Yang ketiga Sholiihul A’mal (Amal yang sholeh)
  4. Yang keempat Istiqoomatusy-syajaa’ah (Semangat yang Istiqomah)

BAB 1.  Nadhiifatu washshohiihatul Imaan (Iman yang bersih dan benar)
Untuk menjadi hamba Allah yang baik yang pertama adalah Iman kita harus bersih dan benar. Bersih dari apa...?
(i)                 iman harus bersih saking SYIRIK
(ii)               iman harus bersih saking NIFAQ
jama’ah sekalian, 2 perkara ini sangat penting sekali untuk kita perhatikan. Karena, orang hanya akan masuk surga kalau dalam hatinya ada iman dan iman itu hanya akan ada dalam hati seseorang manakala dalam hatinya tidak ada SYIRIK dan tidak ada NIFAQ.
Ibaratnya, kalo iman itu air minum (air putih misalnya) maka SYIRIK itu adalah Oli. Njenengan semerep oli?, oli niku nek disok teng toyo saged nyampur nopo mboten, nah Iman niku mboten purun kecampuran SYIRIK.
Sedangkan Nifaq itu ibaratnya Racun. kalau air minum dikasih racun, sinten sing purun ngunjuk? Njenengan purun? Allahumma sholli ’alaa Muhammad!

Jama’ah daarusysyafa’ah yang dirahmati Allah, kenapa kok iman harus bersih dari syirik? Sebabe....
1.      Syirik niku tergolong doso paling BUAHAYA sing mboten diampuni gusti Allah SWT, Na’udzubillahi min...dzalik
Monggo disimak baik-baik dawuhipun Gusti Allah SWT wonten ing surat 4 (Annisa’) ayat 48 kale ayat 116. wonten sing ngasto Alqur’an ? monggo di waos..!
Jama’ah sekalian yang berbahagia, kita harus berhati-hati dengan syirik, kadang kala syirik niku mboten disadari, mboten ketingal, tuipis bedane kale iman. Pernah sekelompok penduduk saba’ yang hidup makmur diingatkan oleh seorang Rasul karena menjadikan berhala-berhala alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (tawassul), kisah ini diabadikan dalam surat Azzumar, yang turun setelah surat Saba’
Saba' adalah nama suatu kabilah dari kabilah-kabilah Arab yang tinggal di daerah Yaman sekarang ini. Mereka mendirikan kerajaan yang terkenal dengan nama kerajaan Sabaiyyah, ibukotanya Ma'rib; telah dapat membangun suatu bendungan raksasa, yang bernama Bendungan Ma'rib, sehingga negeri meka subur dan makmur. Kemewahan dan kemakmuran ini menyebabkan kaum Saba' lupa dan ingkar kepada Allah yang telah melimpahkan nikmatnya kepada mereka, serta mereka mengingkari pula seruan para rasul. Karena keingkaran mereka ini, Allah menimpahkan kepada mereka azab berupa sailul 'arim (banjir yang besar) yang ditimbulkan oleh bobolnya bendungan Ma'rib. Setelah bendungan ma'rib bobol negeri Saba' menjadi kering dan kerajaan mereka hancur.
Kisah yang mirip seperti itu banyak terjadi dikalangan ummat ini, mereka bertawassul kepada benda-benda yang tidak dibenarkan baik menurut hukum-hukum Allah yang berlaku dialam semesta ini secara kauniyah (dalam hal ini ilmu pengetahuan sains dan teknologi) maupun menurut nas-nas Allah atau secara Qouliyah.

Jama’ah sekalian, Sealain syirik itu dosa besar yang dapat menghalangi seseorang masuk surga dan menjerumuskan manusia kepada Neraka, Yang kedua....
2.  Syirik niku dapat menghapus semua amalan, Na’udzubillahi min...dzalik 
Karena itu para jama;ah sekalian, rasulullah mengajarkan kita untuk berdo’a:
”Allahumma innaa na’uudzubika min annusyrika bika syai’an na’lamuh, wanastaghfiru limaa laa na’alamuh” Ya Allah kami berlindung dari perbuatan syirik yang kami ketahui dan dari perbuatan syirik yang tidak kami ketahui.
Jamaa’ah yang dirahmati Allah, selain iman harus bersih, iman juga harus benar, nopo maksude? Nopo wonten iman sing mboten bener? Nggih wonten, iman sing ngawur, iman sing mboten dielmoni...!
Monggo dipenthelengi nopo iman sing bener niku...
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya di Dalam kitab Arba’iin nawawi hadis yang ke-2.
Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu 'anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata," Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam " Rasulullah menjawab,"Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya." Orang itu berkata,"Engkau benar," kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Iman" Rasulullah menjawab,"Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk" Orang tadi berkata," Engkau benar" Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Ihsan" Rasulullah menjawab,"Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu." Orang itu berkata lagi,"Beritahukan kepadaku tentang kiamat" Rasulullah menjawab," Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya." selanjutnya orang itu berkata lagi,"beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya" Rasulullah menjawab," Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan." Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, "Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab," Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui" Rasulullah berkata," Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu".

Hadist ini disamping menjelaskan pokok-pokok tentang iman, juga menjelaskan keterkaitan antara Islam, Iman dan Ihsan. Bahwa seseorang akan dapat merasakan manisnya iman apabila ia terlebih dahulu berIslam dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, dan apabila seseorang telah berIman dengan benar, maka Indikasinya adalah mampu menampilkan pribadi yang Ihsan. Dengan beriman yang benar, maka seseorang akan merasakan kehadiran Allah dekat dengan dirinya. Tidak perduli sedang dilihat orang, tidak peduli sedang dilihat calon mertua ia tetap melakukan amal ibadah secara khusyu’. Dengan iman yang benar, seseorang akan terjaga dari berbuat maksiat kepada Allah SWT, mampu menahan nafsu syahwatnya, amarahnya dll.

BAB 2. Al-Ikhlaasunniyyah (niat yang ikhlas).
Jama’ah sekalian yang dirahmati Allah… Ada dua hal penting (dua kata kunci) dalam materi kita kali ini, yakni NIAT dan IKHLAS.
Niat adalah keinginan (krentege ati) dengan kesadaran penuh untuk melakukan sesuatu perbuatan. Sedangkan ikhlas adalah harapan untuk mendapatkan ridhoAllah semata dalam melakukan setiap amal perbuatan. Saking pentingnya perkara niyat ini, dalam setiap rukun ibadah niat itu diletakkan pada urutan pertama dan bahkan Imam Nawawi menjadikan wajibnya ikhlas sebagai bab pertama dalam kitab Riyadhush Shalihin beliau.
Niat dan Ikhlas adalah dua perkara yang saling terkait. Orang yang melakukan perbuatan, dapat dikategorikan dalam 3 kelompok:
1. Orang yang melakukan perbuatan dengan niat saja tanpa rasa ikhlas, maka orang yang semacam ini tidak akan mendapatkan pahala disisi Allah SWT bahkan ia di Akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi, ia hanya akan mendapatkan sesuatu dari apa yang diusahakan saja.
Dikisahkan ada seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah dengan niat untuk menikahi perempuan bernama Ummu Qais, sampai ia mendapat julukan Muhajir Ummu Qais dan bahkan diabadikan dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhori 1 dan muslim 1907,

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
Seseorang yang beramal bukan dalam rangka mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala, berarti dia telah menjadikan sekutu dan tandingan bagi Allah subhanahu wata'ala dalam ibadah. Inilah kesyirikan yang dilarang dalam agama ini. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,
"Barang siapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan (tidak mempedulikan) pelakunya dan perbuatannya." (HR. Muslim)

2. Kategori yang kedua, adalah ...Orang yang melakukan perbuatan dengan niat diiringi keihlasan kepada Allah SWT.
Nah kategori orang yang kedua ini bila ia melakukan suatu amal perbuatan, ia tidak akan perduli dengan kondisi apapun yang menimpa dirinya, ia akan tetap teguh melaksanakan niatnya itu. Sebab, tidak ada tendensi apapun terhadap perbuatannya kecuali Ridho Allah SWT.
Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam semua amalan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala adalah firman-Nya,
Wa maa umiruu illa liya’budullaha mukhlishiina lahuddiin
"Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya." (Al Bayyinah: 5)

3. kategori ketiga adalah, Orang yang melakukan perbuatan tanpa niat apapun dan tentu saja tidak mungkin bisa ikhlas, karena bagaimana dia bisa ikhlas sedangkan ia sendiri tidak sadar dengan apa yang diperbuat (misalnya orang ngelindur atau kesurupan). Maka orang yang dalam kategori ini, tidak mendapatkan balasan apapun terhadap apa yang dilakukan baik pahala maupun dosa, wallahu a’lam.




Fadhilah niat yang Ikhlas yang menyertai setiap perbuatan
Allah akan menjaga orang-orang yang dalam setiap amal perbuatannya senantiasa diiringi dengan keikhlasan.
Allah SWT berfirman dalam QS 15 (Al Hijr): 39

"Iblis berkata: "Wahai Rabbku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Dan dalam HR Muslim, nabi pernah bersabda:
"Sesungguhnya setan akan selalu hadir menggoda salah seorang diantara kalian pada setiap keadaannya."
Dari ayat dan hadist tersebut jelaslah, bahwa semua orang akan mendapat tipu daya setan, siapakah yang akan selamat???
Dalam QS Al-Hijr ayat berikutnya, ayat ke 40 (illa 'ibadaka minhumul mukhlashiin)
Artinya: ”Kecuali golongan hamba-hamba Engkau yang ikhlas."
Pada kesempatan yang lalu saya sempat menyinggung bahwa dampak seseorang yang beriman dengan benar adalah: timbulnya Ihsan...masih ingat definisi ihsan menurut Hadist yang pernah saya baca dulu? Al-Ihsaanu anta’budallahu, ka annaka taroohu, faiilam takuntaroohu fainnahu yarooka.Nah menurut Ibnu Taimiyah, Ihsan itu sangat erat hubungannya dengan Ikhlas, beliau mendefinisikan Ihsan sebagai upaya untuk membaguskan amal perbuatan karena Ikhlas, karena ingin mendapat Ridho Allah semata.

Akibat tidak Ikhlas
"Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman, ‘Kamu berdusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).
Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur'an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’. Ia menjawab, ‘Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur'an untuk-Mu’. Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu belajar Al Qur'an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur'an agar dikatakan sebagai seorang Qari' (ahli membaca Al Qur'an), dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.
Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi’. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar." (HR. Muslim)
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala lemparkan mereka ke dalam An Nar. Na’uudzubillahi mindzaalik….
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut., dan menjadi orang-orang yang ikhlas dalam melakukan setiap amal kebaikan….Allahumma….Amiin.

Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka dia tidak akan mendapatkan aroma Al Jannah pada hari kiamat nanti." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)


BAB 3. Sholiihul ‘amal (Amal yang sholeh). 
Dua kata kunci dalam pembahasan kita kali ini adalah Sholih dan ‘amal. Sholih artinya baik dan proporsional (seimbang) dilandasi keikhlasan maksudnya sesuai dengan syariat (sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW kalau itu menyangkut ibadah Mahdhoh) sekaligus tidak bertentangan dengan kaidah, tatanan, norma atau nilai-nilai universal. Sedangkan ‘amal artinya perbuatan.
Sebagai contoh, misalnya kita melihat teman kita berbuat salah lalu kita menegurnya secara langsung, kita sadari atau tidak ternyata teguran kita tersebut menyebabkan teman kita jadi malu/sakit hati, mungkin karena dilihat banyak orang. Nah, dalam kondisi seperti ini, perbuatan kita secara syar’i tidak salah, hanya saja secara kaidah dalam fiqih da’wah, kita telah menimbulkan mudhorot (dalam hal ini rasa malu) kepada teman kita yang bersangkutan, sehingga perbuatan kita masih tergolong belum sholih. Mengapa?? Karena timbulnya dampak yang kurang baik terhadap perbuatan baik yang telah kita lakukan. Maka, dalam konteks keimanan kepada Allah, Amal yang Sholih ini dibutuhkan dalam rangka meraih ridho Allah dengan dilandasi keimanan yang benar kepada Allah SWT yang dampaknya, dari sebuah amal sholih ini, adalah terciptanya hubungan yang baik dan seimbang antara seorang Hamba kepada Rabbnya (Allah SWT) dan seorang manusia kepada sesamanya, dan bahkan kepada makhluk lain dimuka bumi ini. Amal sholih yang dilandasi keimanan akan melahirkan akhlaqul kariimah, Akhlaq yang terpuji, baik ketika bersama orang lain maupun ketika sendirian. Nah, disinilah letak perbedaan antara orang yang baik dari segi norma masyarakat dan orang yang baik dari segi akhlaq. Kalau orang yang baik secara norma saja, biasanya kebaikannya itu hanya bersifat lipsink, hanya untuk mencari penilaian dihadapan manusia, supaya dipuji atau dihargai sehingga ia menjaga image (bahasa gaul: ”jaim”). Misalnya, saat bersama banyak orang yang dianggap penting seolah-olah nampak alim, khusuk, penampilannya benar-benar menampilkan sosok muslim atau muslimah sejati, tapi kebiasaan baik itu tiba-tiba lenyap ketika dia tidak lagi bersama orang-orang yang dianggap penting tadi. Contoh, di daerah saya itu jamaah sekalian, biasanya ibu-ibu muslimat kalo ada acara pengajian itu, masyaAllah luarbiasa, nampak sholihah sekali, bajunya full menutup aurot, juga sopan santun, tapi begitu acara arisan RT, naudzubillah mindzaliik, bajunya full buka aurot. Yang kalo acara pengajian pakai jilbab, ini blas gak pakai penutup apa-apa bahkan pake youkengsi berangkat arisan RT. Niku ten nggon kulo mawon Tapi, insyaAllah jama’ah darusy-syafa’ah mboten ngoten nggih. Alhamdulillah.
Nah, kalo orang yang baik akhlaqnya para jama’ah, baik ia banyak orang maupun sendirian ia tetap berpegang teguh pada syari’at Allah SWT dan nabi Muhammad SAW.
Nah, dalam konteks keimanan kepada Allah, antara Iman dan Amal Sholih ini kaitannya sangat erat, tidak dikatakan beramal sholih bila perbuatan itu tidak dilandasi dengan keimanan dan tidak dikatakan beriman bila seseorang tidak melakukan Amal Sholih, oleh karena itu berdasarkan kaitan antara iman dan amal sholih ini, seseorang dikategorikan dalam 3 kelompok:
1.      Kategori pertama, Orang yang mengaku ber-Iman saja tanpa melakukan amal sholih (aliran kepercayaan). Kategori orang semacam ini, termasuk orang pendusta atau bahkan fasik, karena meskipun mereka mengaku beriman tapi perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan keimanan, bahkan melanggar syari’at. Jama’ah sekalian, tidak mungkin seseorang mengaku beriman, tanpa melakukan amal sholih, karena definisi iman itu sendiri secara syar’i adalah:
Tashdiqun fii qalbi, wa iqroorun billisaan, ’amalu bil arkaan (bersaksi dalam hati, diucapkan di lisan dan dilakukan dengan amal perbuatan). Jadi, antara iman dan amal sholih itu adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bahkan didalam alqur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyebutkan kata imaan yang diikuti dengan amal sholih. Contohnya: Surat Al-’ashr. Wal- Ashr, innal insaana lafii khusr, illalladziina aamanuu wa ’amilushshoolihaati....
Bahkann kata syaikhul islam, imam Al-ghozali mengatakan: semua orang dimuka bumi ini akan rugi kecuali orang-orang berilmu, semua orang yang berilmu akan rugi kecuali orang-orang yang beramal dan semua orang yang beramal akan rugi kecuali orang-orang yang ikhlas. Ilmu yang dimaksud disini adalah keyakinan (ilmu yang melandasi keimanan). Kan ada 3 macam keyakinan yang menyebabkan derajad keimanan seseorang itu berbeda. Pertama, ’Ilmul yaqiin (keyakinan karena ilmu yang dikuasai), contoh kita yakin bahwa bila air itu dimasukkan dalam ruangan yang bersuhu NOL DERAJAD pastilah jadi beku/keras seperti batu), mana mungkin orang yang tidak tahu proses pembekuan air akan percaya, akan yakin bahwa air bisa jadi batu???. Kedua, ’ainul yaqiin (keyakinan karena telah melihat dengan mata kepala sendiri suatu proses kejadian), misalnya, kita akan yakin dan beriman kepada Allah melalui Alqur’an bahwa Janin itu terbuat dari pertemuan sel telur dan air mani lalu berubah menjadi segumpal dari, lalu segumpal daging, lalu jadilah makhluk yang sempurna. Karena kita bisa melihat proses itu dari rekaman yang proses pembentukan janin yang dilakukan oleh para peneliti, dan banyak lagi contoh yang lain. Ketiga, Haqqul yaqiin (keyakinan/keimanan yang timbul karena kita mengetahui HAKIKAT dari sesuatu), keyakinan ini akan kerbuka nanti ketika telah dibuka semua rahasia oleh Allah SWT.
Firman Allah SWT,
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya (barang siapa yang mengaku beriman), maka hendaknya dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada-Nya." (Al Kahfi: 110)
Nah, kembali lagi ke Laptop,
2.      Kategori kedua, kaitan antara iman dan amal sholih ini adalah, orang yang melakukan Amal sholih tanpa dilandasi iman. Jama’ah sekalian, orang semacam ini amalannya akan sia-sia (amalan orang kafiir). Orang yang melakukan amal, tanpa iman, tentu saja dalam melakukan amal tersebut jelas orang itu tidak akan mengharap ridho Allah SWT. Dan pastilah yang dicari sebagai efeknya adalah sanjungan, pujian wal hasil kalau dilihat orang dia akan bekerja seolah-olah serius, tapi kalau tidak ada yang melihat maka ia akan bekerja semaunya, dan kalaupun ia bekerja serius pastilah yang dicari hanyalah dunia, harta atau sesuatu tujuan tertentu saja. Dalam konteks ibadah kepada Allah, Orang semacam ini termasuk dalam kategori orang MUNAFIK. Bagus nampak luarnya, namun busuk didalamnya. Ia melakukan sesuatu tanpa iman, bagaimana ia bisa Ikhlas. Bisa jadi antara ucapan, perbuatan dan bahkan hatinya sama sekali berlainan.

Jama’ah sekalian, muslim yang baik adalah terjalinnya keserasian antara hati, lisan dan perbuatan sebagaimana definisi iman tadi. Tashdiqun fii qalbi, wa iqroorun billisaan, ’amalu bil arkaan  (bersaksi dalam hati, diucapkan di lisan dan dilakukan dengan amal perbuatan). Masih ingat, kisah gembong munafiq??? dia adalah Abdullah bin Ubay (bisa dilihat kalo tidak salah diceritakan dalam Surat Attaubah ayat 23 sd 53) monggo dicek sebagai PR. InsyaAllah setelah materi kita tentang menjadi hamba Allah yang baik ini selesai InsyaAllah akan saya sambung dengan ciri-ciri orang yang beriman, kafir, munafiq, fasik dll.

3.      Kategori ke tiga adalah, orang yang beramal sholih dengan keimanan yang benar dan keihlasan karena Allah. Inilah golongan orang mukmin yang sejati (keselarasan antara hati-lisan danperbuatan).
Jama’ah sekalian yang dirahmati Allah, ketika seseorang itu beramal, hendaknya setiap amal itu dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlash, niat yang baik dan ikhlash ini adalah wujud dari keimanan yang benar kepada Allah SWT.
Amal sholih yang kita lakukan berupa apapun dan sekecil apapun insyaAllah akan memiliki catatan tersediri disisi Allah SWT dan dapat menjadi bekal kehidupan kita baik didunia terlebih lagi diAkhirat kelak.
Ada sebuah hadist yang patut kita renungkan agar kita semakin giat untuk beramal sholih dalam rangka berinvestasi demi bekal kita hingga akhir kehidupan ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ: إِذَا مَاتَ الْعَبْدُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَاِلحٍ يَدْعُوْ لَه   --  رواه مسلم ُ


BAB 4. Istiqoomatusy-syajaa’ah (Semangat/keberanian yang Istiqomah)

Jama’ah  yang semoga senantiasa rindu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Amiin.
Dalam kitab arba’iin nawawi hadis ke-21, diriwayatkan oleh imam Muslim (38)

Kata ‘Istiqomah’ berasal dari kata ”qaama” yang artinya berdiri tegak. Secara bahasa istiqomah berarti tegak dan lurus. Banyak definisi dari para salafus sholih tentang istiqomah yang intinya adalah senantiasa tegak dan lurus. Saya ambil dua pendapat saja:
Menurut Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu : ‘Istiqomah mengandung 3 macam arti : istiqomah dengan lisan (yaitu bertahan terus mengucapkan kalimat syahadat), istiqomah dengan hati (artinya terus melakukan niat yang jujur) dan istiqomah dengan amal (senantiasa melaksanakan ibadah dan ketaatan secara terus-menerus).
Menurut imam An Nawawi : istiqomah= Tetap dalam ketaatan (Kitab Riyadhus Shalihin) Sehingga istiqomah mengandung pengertian : ‘tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang lurus dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla’.
Jama’ah sekalian,
Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah didalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”.
Betapa pentingnya istiqomah ini, ibnu Abbas r.a. berkata: tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini (surat huud). Sampai-sampai jama’ah sekalian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”.
Dalam hadis di muqodimah tadi Rasulullah bersabda kepada Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu. ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’.
Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau menyuruh Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah untuk selalu memperbarui imannya dengan ucapan lisan dan mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar sebagaimana yang dikatakan sayyidina Umar bin khaththab: “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti berpalingnya musang”.
Jama’ah tahu gimana musang berpaling??? Nah, sayyidina Umar menggambarkan, bahwa yang dimaksud istiqomah adalah tetap lurus dan teguh dalam melaksanakan ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Sedikit saja menoleh, kata sayyidina Umar sudah dikatakan tidak istiqomah.
Jama’ah sekalian, kalau tingkatan tertinggi dari keimanan adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Maka istiqomah adalah manifestasi/implementasi tertinggi dari keimanan yakni mengamalkan konsep Laa ilaaha illallah dalam segala aspek kehidupan kita.  Istiqomah meliputi dimensi hati, ucapan dan amal. Tidak mungkin seseorang bisa istiqomah kalau keimanannya tidak sempurna, kalau hatinya, ucapannya dan perbuatannya tidak sama. Sebagai contoh, sholat subuh misalnya. Ketika keimanan kita sedang naik, sholat shubuh bisa tepat waktu dan berjamaah. Tapi ketika cuaca dingin, tubuh sedang capek, atau sedang tidak enak badan, mampukah kita istiqomah untuk sholat subuh tepat waktu dan berjamaah????
Nah begitu berat untuk dapat istiqomah dijalan Allah ini jama’ah sekalian, sehingga pantas kalau Allah berfirman dalam QS. 41 (Fushshilat) : 30-32 untuk menghibur orang-orang yang beristiqomah:


Jama’ah sekalian, untuk mencapai derajad istiqomah tidaklah mudah, kita mesti sabar dan ikhlas dalam menghadapi segala problematika kehidupan kita, seseorang yang mampu mencapai derajad istiqomah ini, fainsyaAllah akan terpancar kepribadian yang ikhlas dan sabar, sementara jama’ah sekalian untuk bisa sabar itu sendiri butuh energi/perjuangan yang besar.
Sabar menurut Syeikh Muhammad bin Shahih Al-Utsman terbagi tiga macam, yaitu:
1.          Ash-shobru ’alath-thoo’ah (Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah)
2.          Ash-shobru ’alaa tartiilil ma’shiyyah (Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah swt, yaitu sabar menjauhi maksiat)
3.          Ash-shobru ’alal mushiibah (Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah).

Akan tetapi para jamaah, ada trik jitu agar kita bisa istiqomah, apa itu?? BERGABUNG DALAM JAMA’AH.

Merujuk pada kitab Fathul Bari’ 13:316, Sunan Tirmidzi 4:465, Syaraf Ashabul Hadits, hlm. 26-27. bahwa secara umum: ”definisi jama’ah adalah sekumpulan orang yang beri’tikad untuk istiqomah menegakkan kalimah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW dengan komitmen-komitmen, dengan tanggungjawab sebagaimana yang dipikulkan dalam jama’ah tersebut”. Jadi, tidak termasuk jama’ah sekumpulan orang yang mengadakan kegiatan apapun tanpa ada ikatan komitmen yang dipikul, baik bersama maupun individu sebagai tugas/tanggung jawab dalam jama’ah tersebut. Serta bila tidak ada efek/dampak yang ditimbulkan dari jama’ah terhadap pola pikir bahkan pola hidup dari para pengikut jama’ah tersebut.

Semoga apa yang kita pelajari, kita pahami dapat kita amalkan bersama, dan semoga kita bisa inkhlas melaksanakan amalan tersebut dan dapat senantiasa istiqomah dijalan Allah.

Wallahu a'lamu bish-showab
Wallahu muwaffiq ilaa aqwamith-thoriiq, wal 'afwu minkum
wassalamu'alaikum wr wb.





Menjadi Hamba Allah Yang Baik - Pengantar


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Assalamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillahi robbul ‘arsyil ‘adhim, alladzi anzala sakiinatan fii quluubil mu’miniin, waja’al sayyidana Muhammadan uswatunaa wa rahmatan lil ‘aalamiin, Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warosuuluh shodiqul ambiyaai wa minal mursaliin.
Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin ……
‘amma ba’du.

Sebelum saya memulai tausiyah ini, saya perkenalkan diri saya terlebih dulu. Karena, kalau kata pepatah, ”tak kenal maka tak sayang”, maka kata Rasulullah SAW yang jauh lebih bermakna, ” tidak sempurna iman seseorang itu manakala ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”, bahkan didalam AlQur’an Allah menyampaikan “sesungguhnya setiap muslim itu adalah bersaudara”, maka dari itu alangkah baiknya kalau saudara saling mengenal.

Saudaraku yang dirahmati Allah, semenjak kita bangun tidur dan pergi untuk tidur kembali, kita merasa bahwa siklus itu berjalan begitu saja. Ketika kita bangun tidur kita langsung beraktifitas merencanakan segala kegiatan yang akan kita lakukan, kita merencanakan kegiatan satu jam kedepan, satu hari kedepan, satu minggu kedepan, dan bahkan sampai sepuluh tahun kedepan kita sudah merencanakan hari itu juga. Ya, tidak salah bila kita lakukan hal tersebut, terutama bila perencanaan tersebut berada dalam konteks yang positif, memang kita diharuskan untuk menrencanakan dan berhati-hati dalam melangkah demi masa depan kita, sebagaimana didalam alqur’an QS 59:18.
Namun, bila perencanaan itu ada dalam konteks yang tidak benar hanya urusan duniawi semata, misalnya nanti satu tahun lagi saya harus punya mobil, saya harus naik jabatan, saya harus ini dan itu. Maka ketika rencana dan harapan itu tidak terwujud maka akan dengan mudah kita putus asa dan stress karenanya, nah perencanaan yang semacam ini yang tidak sesuai dengan konteks ayat tadi. Padahal, Ayat tersebut menurut para mufassirin, ”hari esok” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ”hari akhir kelak”, sehingga makna dari ayat tersebut memberikan arahan agar kita senantiasa mengingat masa depan kita, mempersiapkan bekal apa yang akan kita bawa kelak ketika kita kembali menghadap Allah ta’ala.
Nah, kembali pada kesibukan kita sehari-hari yang sering kali kita jarang memikirkan dan meresapi makna hidup ini secara mendalam. Seolah-olah hidup kita ini menggelinding begitu saja. Padahal, kalau kita mencermati siklus hidup kita ini, rasanya tidak ada waktu lagi bagi kita untuk bersenang-senang, bergurau, apalagi cuma sekedar mencari kesenangan nafsu belaka. Mengapa???? Baik, mari kita perhatikan, semenjak kita bangun tidur sampai tidur kembali, berapa banyak oksigen (udara) yang kita hirup secara GRATIS ? Perhatikan aliran darah kita, sistem saraf kita, pendengaran kita, lidah kita, mata kita, berapa banyak nikmat Allah yang terus mengalir diberikan kepada kita? Berapa ratus juta yang harus kita keluarkan untuk mengganti dan membayar semua nikmat itu setiap harinya? Siapa yang memberi? Bayangkan andai kita harus mengganti dengan melakukan pekerjaan, maka kita tidak akan pernah bisa berhenti bekerja untuk istirahat demi membayar nikmat-nikmat itu. Pantas kalau dalam surat Arrahman Allah mengulang-ulang sebanyak 33 kali ayat : ”Maka nikmat tuhanmu yang manakah lagi yang engkau dustakan”.

Maka dari itu saudaraku, pada kesempatan kali ini, mari kita bermuhasabah, apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup ini, karenanya tema kita kali ini adalah MENJADI HAMBA ALLAH YANG BAIK, semoga bisa memberikan motivasi baru bagi kita semua agar kita lebih bersemangat dalam bersyukur dan beribadah kepada Allah swt. Saudaraku yang diRahmati Allah, setiap hari kita makan 3 kali setidaknya 2 kalilah begitu ya, dengan kualitas makanan yang minimal menyebabkan kita kenyang dan bisa beraktifitas. Meskipun secara gizi kan seharusnya memenuhi 4 sehat 5 sempurna agar stamina terjaga dan tubuh kita tetap sehat. Maksud saya begini, kalau tubuh saja memiliki hak untuk dipenuhi gizi/nutrisinya agar tubuh kita tetap fit. Maka ada hal yang jauh lebih penting untuk diberi gizi/nutrisi, APA ITU?  JIWA DAN RUH kita.
Agar jiwa dan ruh kita tidak lengah, tidak lalai tetap dalam jalan yang diRidhoi Allah, maka kita harus memberi nutrisi/gizi yang cukup. Apa gizinya? Syahadat, Sholat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji bila mampu itu adalah gizi utamanya (karbohidratnya). Sedangkan sayurnya, lauknya, buahnya, dan susunya adalah Amalan-amalan sunnah yang lain seperti puasa sunnah, sholat-sholat sunnah, shodaqoh, berbuat baik kepada sesama, dll, termasuk mendengarkan tausiyah ini adalah bagian dari nutrisi Jiwa atau Ruh, dan yang lebih penting adalah mengamalkan apa yang ditausiyahkan itu.
Saudaraku yang dirahmati Allah, untuk menjadi Hamba Allah yang baik secara sederhana begini. Kita tahu bahwa kita diciptakan Allah didunia ini sebenarnya tugas utamanya adalah ’Ibadah/mengabdi dengan setulus-tulusnya dan semurni-murninya pengabdian hanya kepada Allah semata, perhatikan QS 51:56
Nah, bagaimana caranya kita mengabdi kepada Allah???
Saudaraku hamba dan kekasih Allah... Amiin. Bayangkan andaikata kita ditaruh disebuah pulau yang kita tidak tahu sama sekali seluk beluk pulau itu, maka apakah kita tahu kemana kita pergi bila tidak ada petunjuk? Jawabnya pasti kita bingung dan tidak tahu kemana dan apa yang akan kita perbuat.
Tapi, Allah SWT Maha Rahman dan Rahim, Allah memberi petunjuk kepada kita berupa Alqur’an, dengan Alqur’an itu kita bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, bagaimana kita seharusnya bermasyarakat, mengatur negara, dll. Tidak cukup itu, Allah juga memodelkan Alqur’an itu dengan sosok figur manusia, yang sangat mungkin untuk kita contoh perilakunya, yang memang diciptakan untuk menjadi suri tauladan bagi kita semua, Beliau adalah Rasulullah muhammad SAW, sang Qur’an berjalan. Sebagaimana yang sayyidah A’isyah r.a katakan ”kaana Rasuulullahi khuluquhul qur’aan”. Yang mana perilaku, ucapan dan diamnya Rasulullah adalah menjadi pedoman teknis hidup kita yang tertuang sebagai HADIST. Dan bahkan manakala kita melakukan teknis peribadatan, bilamana tidak sesuai dengan yang beliau contohkan maka akan tertolak sebagaimana HSR Muslim 1718 (bisa kita lihat dalam kitab Arba’in Nawawi hadist ke 5) ”Barang siapa melakukan amal yang tidak ada contohnya dari ku (Rasul) maka akan tertolak”.
Nah, Secara sederhana, kita telah mengetahui konsep hidup (ini masih konsep, insyaAllah akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang secara detail), bahwa agar kita menjadi Hamba Allah yang baik adalah dengan cara meniru perilaku rasulullah SAW. insyaAllah kita akan selamat dunia wal akhirat. Sebagai penutup tausiyah kali ini, mari kita selalu mengingat-ingat pesan rasulullah ketika Haji wada’ setelah proses fathul makkah hadits dari Jabir bin Abdillah yang sangat panjang yang intinya bahwa Rasulullah mewasiatkan dua perkara yang bila kita teguh memegangnya niscaya kita tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni Alqur’an dan Assunnah.

Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah untuk istiqomah dijalanNya dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah Muhammad SAW.
Wal ’afwu minkum, subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Hukum Perjalanan Wanita Tanpa Mahram

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan terutama dalam bidang komunikasi dan transportasi yang telah mengantarkan manusia memasuki era informasi dan globalisasi. Pada era informasi dan globalisasi ini, manusia lebih cenderung untuk memilih pola kehidupan yang materialistik (lebih mementingkan hal-hal yang bersifat materi dari pada spiritual), liberalistik (terbebas dari hilai-nilai agama dan norma-norma susila), dan sekularistik (memisahkan agama dari kehidupan dunia).

Di antara bukti berbagai kecenperungan di atas adalah keinginan kaum wanita untuk bebas melakukan apa saja dan pergi ke mana saja tanpa mengindahkan hukum-hukum dan norma-norma agama. Akibatnya, banyak wanita yang bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahramnya. Menghadapi realitas tersebut, untuk meluruskan pandangan hidup, sikap dan prilaku yang tidak sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma agama, MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan tentang hukum perjalanan wanita tanpa mahram, sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, kaum wanita muslimat diharamkan menempuh perjalanan jauh (safar) tanpa disertai suami, atau mahram, atau rombongan yang dapat menjamin keselamatan dan kesucian jasmani serta rohani mereka, karena dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan -seperti gangguan kaum pria, perkosaan, perzinaan dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:

a. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةً يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا (رواه البخاري ومسلم

Artinya :

“ Dari sahabat Abu Hurairah beliau berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda; 'Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir bepergian (safar) dalam waktu satu hari satu malam, kecuali disertai mahramnya". (H.R. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).

b. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari sahabat Abdullah ibn Umar RA:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُسَافِرُ اْلمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ ( رواه البخاري ومسلم

Artinya:
"Dari sahabat Ibnu Umar beliau berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda; 'Tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) dalam waktu tiga hari, kecuali disertai mahramnya". (H.R. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).

c. Hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Said RA:

سَمِعْتُ أَبَا سَعِيْدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.... نَهَىَ أَنْ تُسَافِرَ الْمَرْأَةُ مَسِيْرَةَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُوْ مَحْرَمٍ( رواه المسلم

Artinya:

"Dari Abu Said, bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang wanita bepergian (musafir) selama dua hari dua malam, kecuali disertai suami atau mahramnya", (H.R. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).

d. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُوْنُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوْهَا أَوْ إِبْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوْهَا أَوْ ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا ( رواه المسلم

Artinya:

"Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian (musafir) selama tiga hari atau lebih, kecuali disertai ayah, suami, saudara laki-laki, atau orang yang menjadi mahramnya".

e. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Nu'man RA:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنَ بَشِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبِعَيْهِ اِلىَ أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيْنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقىَ الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعض فِي الْحَرَامِ كَارَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمْىَ يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلىَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمىً أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ ( رواه البخاري و مسلم

Artinya:

"Barangsiapa menghindarkan diri dari syubhat, maka dia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus kedalam sesuatu yang syubhat, maka dia pasti akan terjatuh dalam jurang yang dalam. Seperti seorang pengembala yang mengembala hewan di sekitar pagar, pasti mudah sekali makan tanaman di dalamnya. Ketahuilah bahwa tiap-tiap raja (pemilik) mempunyai batas-batas larangan. Dan batas larangan Allah SWT ialah segala apa yang diharamkan-Nya". (H.R. Bukhari dan Muslim).

f. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 195:

وَ أَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوْا إِنَّ الله يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ (195) البقرة


Artinya:

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Al-Baqarah, 2:195.


g. Firman Allah SWT dalam surat at- Tahrim ayat 6:

يَآأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَيَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ(6) التحريم
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. At- Tahrim, 66:6.

2. Jika ada hal-hal yang mengharuskan kaum wanita menempuh perjalanan jauh seperti mencari nafkah untuk membiayai biaya hidup orang tuanya yang sudah renta atau anak-anaknya yang masih kecil, sedangkan perjalanannya aman, maka hal itu diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat ’Adi ibn Hatim RA.:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الفَاقَةِ ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيْلِ فَقَالَ يَا عَدِيٌّ هَلْ رَأَيْتَ اْلحَيْرَةَ قُلْتُ لَمْ أَرَاهَا وَقَدْ أَنْبَئْتُ عَنْهَا قَالَ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةًٌ كَرَّتَيْنِ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ اْلحَيْرَةِ حَتىَّ تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ ( رواه البخاري

Artinya:
"Dari sahabat 'Adi ibnu Hatim RA. beliau berkata; Suatu ketika kami bersama Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki mengadukan tentang kemiskinannya, kemudian datang lagi seorang laki-laki lain mengadukan gangguan tentang terjadinya perampokan dalam perjalanan,Maka Nabi bersabda: 'Hai 'Adiy, apakah kau telah melihat kampong Hiroh?' Saya jawab: 'Belum melihatnya, tetapi saya telah mendengar ceritanya'. Nabi bersabda; 'Wahai 'Adi, kalau kamu hidup lebih lama lagi (panjang usia), nanti kamu akan melihat seorang wanita berjalan sendirian sampai dia thawaf di Ka'bah tanpa ada yang ditakutinya kecuali Allah'.'Adiy berkata: Maka saya telah melihat perempuan-perempuan itu berangkat dari Hiroh sampai dia thawaf di Ka'bah tanpa ada yang ditakutinya kecualiAllah". (H.R. Al-Bukhari)
Demikian juga pendapat para ulama sebagaimana dikutib dalam kitab "Yasalunaka 'an ad-Din" menyatakan:
"Sesudah ini kita mendapati jumhur ulama hampir sepakat bahwa kaum wanita itu boleh membuka muka dan tangannya.Tetapi di sana ada perselisihan pendapat di antara para fuqaha tentang dua mata kaki dan telapak kaki. Demikian juga mereka berkata bahwa wanita itu boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan untuk penghidupannya dengan ketentuan bahwa pekerjaan ini tidak boleh bertentangan dengan pemeliharaan kesucian dan kehormatannya. Dan agama Islam tidak menghalangi kaum wanita mencari nafkah yang cocok dengan dirinya dengan ketentuan bahwa pekerjaan atau usaha tersebut tidak mengganggu kemuliaan atau norma-norma yang telah diperintahkan oleh agama Islam. Dengan demikian akan terpeliharalah hubungan antara kaum pria dengan kaum wanita sebagaimana yang telah kami isyaratkan di atas".



Badan yang mengisu fatwa : Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta